IA bisa merasakan bagaimana sulitnya belajar tanpa perpustakaan
Braille. Untunglah Drs. Soeharjadi. tunanetra lulusan IKIP Satya
Wacana Salatiga (1975) yang kini mengajar di Wisma Tan Miyat,
ketika masih kuliah dulu banyak temannya suka membacakan buku
yang dibutuhkan. Itu memang sumbangan besar. "Tapi buku
Braille," katanya, punya kelebihan. "Bisa dibaca dengan santai
-- sambil tiduran, dan tanggung tak merusak mata" -- tentu saja.
Mereka yang datang dari satu keluarga berkecukupan -- yang
menaruh perhatian terhadap si tunanetra -- memang bisa
beruntung. Misalnya Otje Soedioto, sarjana hukum lulusan
Universitas Diponegoro 1979 (TEMPO, 24 November 1979). Ia bisa
memiliki sekretaris pribadi yang setiap hari membacakan Kompas,
Sinar Harapan dan TEMPO. Juga buku yang sedan diperlukan.
Sedang untuk menyusun kripsi ia bisa melakukan riset di
perpustakaan Braille di Negeri Belanda.
Tapi itu karena ia mampu. Bagi orang biasa seperti M.
Najamuddin, 32 tahun, yang buta di umur 18 tahun karena sakit
panas, yang bisa dijadikan bekal hampir-hampir hanya tekad yang
kuat -- seperti juga bagi teman-temannya yang berhasil lulus
universitas.
Waktu itu Najamuddin duduk di kelas terakhir Pendidikan Guru
Agama Muhammadiyah Bagelen, Purworejo, Ja-Teng. Setelah jelas
tak bisa melihat sama sekali, ia pergi ke Yayasan Kesejahteraan
Tunanetra Islam (Yaketunis) Yogyakarta, untuk belajar Braille.
Karena memang sudah pandai membaca dan menulis huruf Latin dan
Arab, dalam waktu sebulan ia telah menguasai kedua jenis
Braille. Ia kemudian berhasil lulus IAIN Sunan Kalijaga tahun
lalu --dengan skripsi Masalah Integrasi Tunanetra dalam
Mengikuti Pelajaran di Sekolah Menengah Agama di Yogyakarta.
Sewaktu kuliah, ketika teman-temannya menolong membacakan buku
teks, Najamuddjn mencatat dengan huru Braille. Kini, sebagai
guru pelajaran Arab Braille dan Bahasa Arab di Madrasah
Tsanawiyah Luar Biasa Yaketunis, terkadang ia harus membayar
uang lelah bagi yang membacakan literatur yang dibutuhkan.
Kecuali kalau istrinya yang membacakannya. "Kalau nasib saya
sudah baik, saya ingin mempunyai pembantu yang khusus membacakan
literatur bagi saya," kata bapak seorang anak (yang normal) ini.
Cita-citanya sangat berharga: ingin menulis buku -- tentu saja
lengkap dengan versi Braillenya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini