Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Tekad, di luar fasilitas

Kisah beberapa tuna netra yang berhasil mendapat gelar sarjana. buku dan bacaan merupakan problem bagi mereka. perpustakaan braille sangat membantu mereka.

17 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA bisa merasakan bagaimana sulitnya belajar tanpa perpustakaan Braille. Untunglah Drs. Soeharjadi. tunanetra lulusan IKIP Satya Wacana Salatiga (1975) yang kini mengajar di Wisma Tan Miyat, ketika masih kuliah dulu banyak temannya suka membacakan buku yang dibutuhkan. Itu memang sumbangan besar. "Tapi buku Braille," katanya, punya kelebihan. "Bisa dibaca dengan santai -- sambil tiduran, dan tanggung tak merusak mata" -- tentu saja. Mereka yang datang dari satu keluarga berkecukupan -- yang menaruh perhatian terhadap si tunanetra -- memang bisa beruntung. Misalnya Otje Soedioto, sarjana hukum lulusan Universitas Diponegoro 1979 (TEMPO, 24 November 1979). Ia bisa memiliki sekretaris pribadi yang setiap hari membacakan Kompas, Sinar Harapan dan TEMPO. Juga buku yang sedan diperlukan. Sedang untuk menyusun kripsi ia bisa melakukan riset di perpustakaan Braille di Negeri Belanda. Tapi itu karena ia mampu. Bagi orang biasa seperti M. Najamuddin, 32 tahun, yang buta di umur 18 tahun karena sakit panas, yang bisa dijadikan bekal hampir-hampir hanya tekad yang kuat -- seperti juga bagi teman-temannya yang berhasil lulus universitas. Waktu itu Najamuddin duduk di kelas terakhir Pendidikan Guru Agama Muhammadiyah Bagelen, Purworejo, Ja-Teng. Setelah jelas tak bisa melihat sama sekali, ia pergi ke Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis) Yogyakarta, untuk belajar Braille. Karena memang sudah pandai membaca dan menulis huruf Latin dan Arab, dalam waktu sebulan ia telah menguasai kedua jenis Braille. Ia kemudian berhasil lulus IAIN Sunan Kalijaga tahun lalu --dengan skripsi Masalah Integrasi Tunanetra dalam Mengikuti Pelajaran di Sekolah Menengah Agama di Yogyakarta. Sewaktu kuliah, ketika teman-temannya menolong membacakan buku teks, Najamuddjn mencatat dengan huru Braille. Kini, sebagai guru pelajaran Arab Braille dan Bahasa Arab di Madrasah Tsanawiyah Luar Biasa Yaketunis, terkadang ia harus membayar uang lelah bagi yang membacakan literatur yang dibutuhkan. Kecuali kalau istrinya yang membacakannya. "Kalau nasib saya sudah baik, saya ingin mempunyai pembantu yang khusus membacakan literatur bagi saya," kata bapak seorang anak (yang normal) ini. Cita-citanya sangat berharga: ingin menulis buku -- tentu saja lengkap dengan versi Braillenya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus