Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Perpustakaan bagi si buta

Di jakarta dan bandung telah ada perpustakaan bagi tunanetra, meski fasilitasnya minim. kesulitan terutama pada huruf braille, yang mahal ongkos cetaknya. buku-buku biasa terpaksa direkam/disalin dulu. (pdk)

17 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI orang normal, anak-anak itu dengan gampang menuju rak-rak buku yang ada. Memilih buku yang dibutuhkan, kemudian mendatangi meja penjaga perpustakaan untuk mencatatkan judul yang hendak dipinjam. Ruangan 10 x 4 meter itu, di Sekolah Luar Biasa (SLB) A Cilandak, Jakarta, sepintas memang mirip perpustakaan lazim. Orang baru bisa terkejut ketika melihat mata para penyunjung -- meskipun cara mereka berjalan, misalnya, memang sudah berbeda. Tentu saja bukunya pun lain. Walaupun sampul buku warna-warni, dan tercantum pula judul buku dengan huruf Latin (di samping huruf Braille), semua halaman dalam putih belaka. Tak ada gambar huruf maupun gambar biasa, kecuali tonjolan kecil-kecil. Kata Ny. Sumartilah, salah seorang pengasuh SLB, setengah bergurau "Tentu saja buku komik tak ada di sini." Dari ruang itulah anak-anak SLB A (khusus buta) Cilandak mengharap tambahan pengetahuan di luar kelas. Apa boleh buat. Media film, slide atau buku-buku biasa memang tak berbicara kepada mereka. Hanya, jenis buku ternyata terbatas sekali. "Kami kekurangan buku bacaan. Lebih banyak Al Quran, disumbangkan dari Departemen Agama," kata Ny. Sumartilah, yang mulai mengajar di SLB SD dan SMP itu sejak 1967. Tidak berarti tak ada perhatian mlsyarakat. Masalahnya: buku-buku yang mereka sumbangkan adalah buku-buku biasa -- berhuruf dan bergambar. Bagaimana anak-anak tunanetra bisa membaca? Tapi mengharap sumbangan buku berhuruf Braille agaknya memang susah, meski di Bandung sudah ada percetakan Braille. Para penyumbang sendiri mungkin ada yang belum pernah melihat huruf itu. Untunglah pihak sekolah itu tak tinggal mengeluh. Mereka lantas menyalin buku-buku yang dipandang bermanfaat dengan huruf istimewa itu -- menggunakan mesin tulis Braille juga, tentu. Juga ada beberapa yang lantas direkam ke dalam kaset -- untuk didengarkan. Dalam soal menyalin ke dalam huruf Braille inilah ada sumbangan besar dari Kelompok Sukarela Penyalin Braille. Kelompok ini terdiri dari ibu-ibu. Hanya saja mereka memang belum sangat menguasai tulisan Braille. Karena itu setiap sumbangan buku dari kelompok ini dikoreksi dulu oleh Mulyadi, guru Bahasa Indonesia di situ -- yang juga tunanetra. Di Wisma Tan Miyat, bersebelahan dengan SLB itu, lembaga pendidikan tunanetra bagi yang telah tak pantas masuk SLB Cilandak, ada pula perpustakaan Braille. Tapi koleksi bukunya bahkan kalau tak salah lebih sedikit. "Kini anak-anak Tan Miyat mulai segan ke perpustakaan, karena bukunya itu-itu juga," kata Ny. S. Yochana, salah seorang pengasuh. Kecilnya jumlah koleksi -- selain tak tercatatnya jumlah buku dengan baik, seperti juga di SLB -- bisa dilihat dari mudahnya anak-anak itu mencari dan mengambil buku sendiri, tanpa diperlukannya kartu katalog. Sitti Nurbaya Tapi jangan khawatir. Di Bandung ada perpustakaan Braille yang agak lebih lengkap. Terletak dalam kompleks Panti Asuhan Tunanetra Wiyata Guna. Maklum perpustakaan ini tak berdiri sendiri -- dengan badan penerbitnya merupakan bagian dari Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI), yang ketika berdiri --1961 -- bernama Lembaga Penerbit dan Perpustakaan Braille Indonesia. Balai ini di bawah Departemen Sosial. Perpustakaan itu terutama dipakai anak-anak Panti Asuhan Tunanetra Wiyata Guna, selain peminjam luar. Dan sebagaimana di perpustakaan biasa sering pula peminjam tak mengembalikan buku. "Memang tak ada sanksi bagi yang tak mengembalikan buku," tutur Freddy Mangkupatih, Kepala Bagian Perpustakaan. Koleksi buku di sini sekitar 2.5 buah. Ada sebuah katalog yang memuat daftar judul. Lewat katalog itulah para peminjam memilih buku, dan petugasnyalah yang mengambilkan. Kecuali buku pengetahuan, juga beberapa novel Indonesia telah dibraillekan Sitti Nurba ya karangan Marah Rusli, Tenggelamnya Kapal van der Wijck Hamka, Salah Asuhan Abdul Muis. Yang juga sangat banyak dipinjam adalah majalah Gema Braille, yang terbit sejak berdirinya percetakan Braille pula -- 1959 -- dan beroplah 2.500 eksemplar. Ini majalah bulanan. "Tapi sering ngaret," kata H. Aan Suhana, tunanetra yang menjadi pimpinan redaksinya. Biaya mencetak majalah Braille memang jauh lebih mahal. Untuk 2.500 eksemplar itu saja mencapai sekitar Rp 1 juta." Itu tak termasuk honorarium penulis. Karena penulis dibayar gratis." Dan memang sumbangan tulisan dari tunanetra sendiri jarang -- kebanyakan artikelnya kutipan majalah biasa. Isinya gado-gado. "Karena peminatnya dari anak-anak sampai orang tua, kami sulit menentukan rubrik yang paling mereka gemari," kata Suhana lagi. Ada kritik dari Sugiono, tunanetra siswa SPG: "Seharusnya ada rubrik musik dan sahabat pena. Tunanetra rata-rata senang musik, lho."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus