Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tembakan untuk buya

Menghadapi muktamar agustus mendatang, banyak tokoh nu yang melirik jabatan ketua umum PPP. NU kembali berpolitik praktis?

16 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEKAD sejumlah tokoh Nahdlatul Ulama (NU) tampaknya sudah bulat. Mereka, baik yang aktif di PPP maupun yang sudah di luar partai bintang itu, ingin merebut kursi ketua umum di muktamar PPP, Agustus mendatang. Pokoknya, "Kalau PPP mau unggul, ya, harus dipimpin oleh NU," kata Kiai Shohib Bisri, pengasuh pesantren Denanyar, Jombang, rais syuriah NU Jawa Timur, kepada Ivan Haris dari TEMPO, Kamis lalu. Untuk itu, kata seorang politikus senior PPP asal NU, direncanakan pertemuan orang NU di PPP dengan pengurus PB NU di sebuah hotel di Jakarta, pekan ini. "Kami melakukan konsolidasi, mempersiapkan langkah yang perlu untuk muktamar PPP mendatang," kata tokoh yang kini masih aktif di PB NU itu. Katanya, ini sebagai tindak lanjut pertemuan informal yang pernah dilakukan saat berlangsung Munas Rabithah Al-Maahid Al Islamiyah (RMI) di Kebon Jeruk, Jakarta, Februari lalu. Waktu itu, kabarnya, sudah terbentuk majelis pemenangan muktamar yang dipimpin Kiai Syansuri Badawi, tokoh tua NU yang aktif di PPP. Maka, pertemuan tadi akan membahas bakal calon Ketua Umum PPP. Untuk itu, disebut-sebut nama Hamzah Haz, orang NU yang kini menjadi salah seorang ketua DPP PPP. Lalu, muncul pula nama Yusuf Hasyim, rais syuriah NU yang pernah menjadi anggota FPP DPR. Matori Abdul Djalil, Sekjen PPP yang dikenal akrab dengan Ketua Umum NU K.H. Abdurrahman Wahid, tentu merupakan salah satu nama favorit. Bila ucapan tokoh itu benar, ini merupakan langkah baru NU. Tapi Chalid Mawardi, Ketua bidang Politik PB NU, mengaku tak tahu-menahu rencana pertemuan tersebut. "Kalau ada pertemuan dengan orang-orang NU yang kini duduk di PPP, ya, mestinya saya diberi tahu, dong," katanya. "Tapi mungkin pertemuan itu pribadi-pribadi 'kali, ya...?" tambahnya sambil tertawa. Boleh jadi, pertemuan itu cuma isu. Tapi keinginan para tokoh kaum nahdliyyin itu untuk memegang PPP sulit disembunyikan. Sejumlah kiai dan politikus asal NU sudah menyatakan sikap secara transparan. Sebutlah Kiai Munasir, salah seorang rais syuriah NU. Pada acara ulang tahun PPP di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, dua pekan lalu, Munasir mengatakan sudah saatnya PPP dipimpin tokoh populer. Selain menyebut sejumlah nama yang sudah disebut di atas, ia juga mengunggulkan Ketua PB NU Abdurrahman Wahid, dan Ketua PPP Jawa Timur Sulaiman Fadeli. "Ya, rumah warga NU itu sebenarnya kan di PPP," katanya kepada Zed Abidien dari TEMPO. Menurut dia, sudah saatnya NU kembali membesarkan PPP. Syaratnya, pemimpin puncak PPP dipegang orang NU. Maka, kepemimpinan Ismail Hasan Metareum -- orang Muslimin Indonesia (MI) yang kini Ketua Umum PPP -- mereka tembak: kelewat lembut, teduh, dan tenang-tenang saja. Buya, panggilan akrab ketua umum itu, diduga masih merupakan calon kuat untuk menjadi Ketua Umum PPP dalam muktamar nanti. Mereka memperbandingkan Buya dengan Megawati di PDI dan Harmoko di Golkar, yang mereka anggap lebih bergelora. "Kepemimpinan Ismail Hasan Metareum itu merugikan PPP," kata Yusuf Hasyim. Belum cukup dengan tembakan, beberapa tokoh NU malah sempat berbicara terbuka, bahwa untuk menggulingkan Ismail Hasan Metareum, mereka akan bekerja sama dengan J. Naro. Tentu sejumlah tokoh NU lainnya berang. Soalnya, Naro, Ketua Umum PPP yang ditumbangkan Buya, di masa jayanya terkenal sebagai tukang gusur orang NU dari PPP. Pada kepemimpinannya yang terakhir, jabatan menentukan di PPP -- seperti ketua umum dan sekjen -- berada di tangan orang MI. Akhirnya, lewat Muktamar Situbondo, NU menyatakan kembali ke khitah, dan juga menyatakan diri keluar dari PPP. Baru setelah Naro digantikan Buya, Sekjen PPP dipegang Matori Abdul Djalil yang NU. Ia menggantikan Mardinsyah yang MI. Namun, kubu Buya tak tinggal diam. Belakangan, mereka melakukan penggalangan ke daerah-daerah. Dari catatan Muhsin Bafadhal, Ketua PPP NTB, sudah 80% atau 230 cabang di daerah- daerah -- dari sekitar 300 cabang yang ada -- mendukung Buya. Berbagai kunjungan Buya ke daerah tampaknya menjadi ajang kampanye. Di Yogyakarta, bahkan Buya sempat diarak pendukungnya dengan pawai kendaraan. Seakan menangkis "serangan" kelompok NU, Buya Ismail menegaskan bahwa keanggotan di PPP adalah perorangan. "Ini betul-betul prinsip. Kalau masih ada yang melihat pada unsur itu namanya set back," katanya. Ketika berdiri, 1973, PPP merupakan fusi dari NU, MI, Perti, dan Syarikat Islam (SI). Maka, kampanye orang-orang NU yang membawa-bawa nama NU itu dituduh Buya sebagai usaha ingin menjadikan PPP sebuah partai federasi. Yang tampaknya juga repot adalah Ketua Umum NU Abdurrahman Wahid. Soalnya, sejak terpilih dulu, ia selalu mengatakan NU sudah lepas dari politik praktis, dan ingin mengurusi kemaslahatan umat saja, seperti membangun Bank Perkreditan Rakyat. Tiba-tiba sekarang arah itu melenceng ke semangat berpolitik di PPP. Kepada TEMPO, Gus Dur, panggilan Ketua Forum Demokrasi itu, terpaksa kembali menggariskan: sesuai dengan khitah, NU tak berpolitik praktis. Maka, katanya pula, semua manuver politik yang bermaksud menguasai kepengurusan PPP itu di luar urusan PB NU. "Kalau Pak Yusuf Hasyim dan lainnya tak bisa membaca putusan muktamar tentang kembali ke khitah, ya, itu urusan mereka," katanya.Agus Basri, Ivan Haris, Zed Abidien, dan Bandelan Amaruddin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum