HAMPIR dalam segala kesempatan berpidato, Gubernur Bengkulu drs.
H.A Chalik menyarankan agar meningkatkan pertanian dan
perkebunan. Tanamlah tanaman-tanaman keras. Cengkeh, kopi, lada
dan lain-lainnya", begitu ia berseru. Tentu saja ditujukan
kepada seluruh warga propinsi Bengkulu. Ternyata seruan tersebut
lebih banyak disimak dan dilaksanakan para pejabat. Termasuk
gubernur sendiri. Sebab kabarnya para pejabat tersebut seperti
walikota, para Bupati dan lainnya saling berlomba memiliki tanah
yang luas dan sekaligus menanaminya. Tentu saja bukan pejabat
itu sendiri yang berkebun. Sebab mereka mengupahkannya kapada
orang lain. Sedang warga biasa cukup dengan luas sekedarnya,
sesuai kemampuannya.
Meski begitu propinsi Bengkulu yang luasnya hampir 20 ribu Km2:
dengan penduduk cuma sekitar 589 ribu jiwa, masih memiliki tanah
kosong amat luas dan subur. Buat siapa? Tentunya buat para
transmigran. Tak kurang 100 ribu K di akhir Pelita II, nanti
direncanakan akan dihijrahkan ke tanah dan hutan kosong di sana
(TEMPO, 22 Mei 1976). Kantor Wilayah Transmigrasi Propinsi
Bengkulu mencatat telah 6071 jiwa (1421 KK) dihijrakan ke sana,
di masa sebelum Pelita. Kemudian 7.486 jiwa ( 1.599 KK) selama
Pelita I . Dan di masa Pelita yang sedang berjalan sekarang,
1.751 jiwa (417 KK) sudah diboyong pula.
Rp 8.000/Rumah
Tampaknya serba lancar. Tapi itu cuma dalam catatan Kantor
Wilayah Transtmgrasi. Dalam kenyataannya selain tersendat-sendat
juga selalu bersuasana tak enak. Hingga bikin orang enggan jadi
calon transmigran. Dalam masa 1975/1976 ini misalnya, 786 KK
lagi akan didatangkan ke Bengkulu. Sejumlah 500 KK akan
ditempatkan di Rimbo Kedui II, Kabupaten Bengkulu Selatan,
sisanya akan diboyong ke Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara.
Bagaimana kedua tempat tersebut? Tempat para transmigran itu
berada jauh di pedalaman, berpuluh kilometer dari jalan. Dan
untuk mencapai proyek, cuma bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Rimbo Kedui II terletak 55 Km dari kota Bengkulu. Sedang untuk
mencapai proyek' harus berjalan kaki sejauh 10 Km ke pedalaman.
Padahal tanah'kosong yang dekat pusat pemasaran produksi cukup
banyak.
Sementara itu rumah yang seharusnya sudah siap mereka tinggali,
belum separuhnya selesai. Menurut pejabat Kantor Transmigrasi di
sana, rumah-rumah untuk calon penghuni sebanyak itu seharusnya
dikerjakan oleh paling sedikit 4 pemborong agar cepat selesai.
Tapi konon Gubernur bertahan menunjuk hanya satu pemborong saja.
Dan perusahaan itu kemudian memborongkannya lagi kepada rakyat
setempat sampai kepada Pesirah-Pesirahnya (kepala kampung).
Kabarnya dengan uang Rp 8 ribu, rakyat yang jadi pemborong itu
harus bisa menyelesaikan 1 rumah. Dengan bahan-bahan yang harus
mereka cari atau beli sendiri, kecuali kapur untuk melabur
disediakan oleh perusahaan tadi. Terpaksalah rakyat menebang
kayu sendiri. Masuk akal bila cara ini amat lambat. Tapi tentu
saja dengan cara seperti itu perusahaan tadi bisa mengeruk
untung lebih banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini