Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang terapis tunanetra yang bergabung dalam layanan Go-Massage, Sumadi bersyukur bisa menggunakan keterampilannya dengan bantuan teknologi. Pria asal Jepara, Jawa Tengah ini percaya kalau keterbatasan tidak boleh membatasi ruang gerak dan kemandiriannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Sumadi, penyandang disabilitas apapun tak seharusnya dikasihani, melainkan diberi kepercayaan agar bisa mandiri. "Terus terang, saya tidak suka melihat teman disabilitas yang ingin dikasihani. Karena sikap mereka yang seperti itu membuat orang jadi ragu," kata Sumadi yang menjadi terapis Go-Massage sejak 2015 ini. "Sebenarnya pekerjaan apapun bisa asalkan ada kemauan."
Melalui Go-Massage, Sumadi rata-rata menangani tiga pelanggan setiap hari. "Walaupun seorang tunanetra, bukan berarti saya tidak bisa melakukan hal yang berarti bagi orang terdekat. Bukan juga berarti saya tidak dapat bersosialisasi dengan banyak orang karena tunanetra bukan akhir dari segalanya," ucap ayah dari dua anak ini.
Pemijat tunanetra di layanan Go-Massage, Sumadi. (Dok. Go-Jek)
Dari jasa pijat, Sumadi mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk memiliki rumah di Cileungsi, Jawa Barat, dengan cara kredit. Penghasilannya selama bergabung di Go-Massage setelah dipotong untuk cicilan KPR itu, menurut dia, cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Pencapaian Sumadi saat ini adalah buah dari perjalanan panjang yang dia lewati sejak memutuskan mengadu nasib ke Jakarta pada 1990. Saat itu, Sumadi bertekad mencari rezeki sebagai tukang pijat di Ibu Kota. Sumadi kehilangan penglihatannya sejak berusia 10 tahun lantaran mengalami penurunan kualitas penglihatan atau low vision.
Berbekal semangat dan cita-cita, Sumadi belajar pijat di panti pijat Dinas Sosial DKI Jakarta. "Sejak saat itu saya mulai menekuni pijat memijat,” ujar Sumadi. Selain di Dinas Sosial DKI Jakarta, Sumadi juga belajar memijat dari Panti Sosial Bina Netra.
Pada awalnya jumlah pelanggan masih sedikit. Sebaliknya kebutuhan hidup di Jakarta terus berjalan, bahkan kian meningkat. Keberuntungan sempat menghampiri Sumadi ketika bertemu seorang pelanggan yang mengajaknya bergabung dengan sebuah panti pijat.
Sejak itu dia mulai mencari kontrakan di kawasan Pademangan, Jakarta Utara. Pria yang menikah pada tahun 1993 itu kemudian mampu mengembangkan usaha panti pijat secara swadaya. Panti pijat pertama miliknya dibuka di Tebet, Jakarta Selatan.
Panti pijat sekaligus kediaman Sumadi dan keluarganya itu kerap dikunjungi pelanggan setia. "Karena saya tinggal di kontrakan di dalam gang sempit, beberapa pelanggan lebih nyaman bila dipijat di rumah mereka," ucap Sumadi.
Sumadi berharap masyarakat bisa mengubah persepsi terhadap disabilitas. Dia ingin batasan antara disabilitas dan non-disabilitas dikikis menjadi kepercayaan, bukan keraguan. "Saya paham, belum semua bisa melihat kami sebagai orang yang mampu. Kami memang minoritas, tapi kami ada," ucap dia. "Semoga rasa kasihan itu tidak membatasi rezeki kami. Kalau ragu, silakan dicoba karena saya juga melewati banyak pelatihan."
Senada dengan Sumadi, ada Heru Widyanto, 39 tahun, yang juga terapis tunanetra di layanan Go-Massage sejak 2015. Dia bersyukur penghasilannya bisa digunakan untuk membayar kuliah anaknya yang baru saja lulus program D3.
"Alhamdulillah bisa menguliahkan anak. Dulu, jangankan buat kuliah, enggak bisa ke mana-mana. Sekarang bisa ajak jalan-jalan istri sama anak-anak ke mal," kata Heru diiringi tawa. Isteri Heru, Nanik mengatakan penghasilan suaminya saat ini lebih tinggi dibandingkan ketika hanya membuka jasa pijat di rumah.