BEBERAPA tempelan bertuliskan "Milik Pribumi" masih
terlihat di beberapa tempat di Semarang, namun secara
keseluruhan situasi kota yang paling parah dilanda kerusuhan
anti-Cina bulan lalu itu sudah pulih kembali. Jam malam sudah
dicabut sejak Sabtu lalu. Toko-toko, baik milik pri maupun
nonpri sudah buka. Sirkus yang bermain di samping Simpang Lima
telah dibuka kembali sejak Jumat lalu.
Begitu juga kota-kota lainnya. Jam malam di Pekalongan juga
diakhiri Sabtu lalu. Pabrik-pabrik, dan juga bioskop, sudah
memulai jadwalnya yang biasa. Seperti juga Sala, di kota ini
berkat larangan Pemda, corat-coret serta tempelan "pri" dan
"nonpri" sudah tidak tampak. Sekitar 150 pelajar yang ditahan
telah dilepaskan seluruhnya.
Kudus dan sekitarnya agak lambat. Jam malam di kota ini
baru dicabut Senin lalu. Jalan-jalan sudah ramai lagi seperti
tidak pernah terjadi kerusuhan. Toko-toko di sekitar Simpang
Tujuh telah dibuka kembali walau barangnya tidak lagi melimpah
ke trotoar sebagaimana sebelum kerusuhan. Pasaran kaca, tripleks
dan Jard board cukup ramai. Kesempatan kerja bertambah, terutama
buat tukang dan penjaga malam.
Di Yogyakarta, yang tak tersentuh oleh huru-hara rasial
itu, kehidupan terus berjalan seperti biasa. Penjagaan keamanan
yang sebelumny? cukup ketat sudah dilonggarkan. Namun beberapa
toko sampai Senin lalu masih juga belum membuka etalasenya.
King Kong
Yang masih hangat hanyalah pembicaraan masyarakat di
seputar kerusuhan itu. Penjelasan Pangkopkamtib Sudomo yang
mengatakan kerusuhan itu merupakan bagian dari rencana politik
untuk mencetuskan revolusi cukup membuat kaget. Banyak yang
bertanya: mengapa massa begitu gampang dibangkitkan dan dibakar
sentimennya?
Pertanyaan itu memang beralasan. Sekalipun aksi itu
terorganisir, seperti diungkapkan Sudomo, kecepatan
penyebarannya mengagetkan. Diawali di Sala, dalam waktu satu
minggu kerusuhan itu telah membakar banyak kota lain, bahkan
nyaris merembet ke Jawa Timur walau hanya sempat "mampir" di
Ngawi, Madiun dan Jombang. Hal itu agakberbeda misalnya, dengan
Peristiwa 10 Mei 1963 di Jawa Barat yang merembet agak pelan.
Pada peristiwa ini, insiden pertama terjadi pada Maret 1963 di
Cirebon. Kemudian menjalar ke kota-kota lainnya di Ja-Bar,
Ja-Tim dan berakhir di Yogyakarta pada 21 - 22 Mei 1963.
Kerugian akibat kerusuhan di Ja-Teng itu walau belum
diungkapkan, ,jelas amat besar. Tidak hanya kerulan material
saja. Luka hati dan retaknya hubungan antara "pri" dan "nonpri"
tampaknya memerlukan waktu yang lama untuk bisa bertaut kembali.
Yang menderita paling parah akihat krusuhan itu agaknya
Semarang. Sekitar 15 pabrik besar kecil di kota ini rusak atau
terbakar. Kerugian terbesar diderita PT Arta Electronics yang
konon l,ernilai sekitar Rp 1,2 milyar dan PT Standart Battery
yang rugi sekitar Rp 600 juta.
Terbakarnya banyak pabrik dan ratusan kendaraan bermotor,
terutama bis dan truk, jelas mempengaruhi roda perekonomian.
Tidak semua perusahaan yang rusak bisa segera membangun kembali
usahanya hingga rupanya untuk sementara banyak buruh yang
menganggur.
Melihat ini semua, di masa depan yang lebih perlu
diperhatikan adalah: bagaimana membuat kondisi masyarakat
sedemikian rupa hingga hasutan dan sentimen anti rasial tidak
gampang disundut. Dengan lain kata, mencegah dan memadamkan
percikan api yang timbul.
Masyarakat Sala, terutama kaum mudanya, pada peristiwa
November lalu itu kabarnya gampang dibangkitkan sentimennya
karena diingatkan oleh beberapa insiden antar pri dan nonpri
yang terjadi sebelumnya.
Antara lain pemukulan dan penabrakan dengan sepeda motor
terhadap seorang pemuda asal Irian Jaya, oleh pemuda nonpri pada
awal 1979. Kemudian juga di tahun 1979, penganiayaan seorang
sopir kolt bernama Tarno alias Teko oleh seorang oknum nonpri.
Akibatnya oknum bernama You Liang ini diadili di Pengadilan
Negeri Sala yang pada 15 Oktober lalu memvonis hukuman penjara
20 bulan.
Buntut peristiwa penganiayaan Tarno adalah terbunuhnya ayah
You Liang yang dikenal dengan nama King Kong. "Kebetulan Kicak
larinya ke toko Orlane, yang konon pemiliknya punya hubungan
keluarga dengan keluarga King Kong," kata seorang pengusaha
Sala. Disebutnya juga kasus arisan call di Sala yang menyebabkan
kurang kompaknya sikap para pejabat Sala, hingga banyak orang
menuding mereka membeking sementara oknum Cina.
Sikap sebagian masyarakat Sala itu mungkin tercermin dalam
memorandum HIMPI Surakarta 26 November 1980. Memorandum para
pengusaha muda itu antara lain menyebutkan: kejadian di Sala
yang diawali 20 November itu pada hakekatnya tersirat rasa
kurang puas atas keadaan golongan pri dibanding nonpri,
khususnya dalam hal pemerataan pendapatan dan perekonomian.
HIPMI juga mengharapkan pemerintah meninjau kembali
kebijaksanaannya dalam pemberian fasilitas pada golongan nonpri,
terutama pengketatan dan bila perlu penyetopan pemberian kredit,
baik yang tengah berjalan maupun yang akan datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini