Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tidak Ada Lagi Jam Malam

Kerusuhan rasial anti Cina di Jawa Tengah sudah tenang, menurut sudomo kerusuhan di dalangi suatu pihak yang bertujuan melancarkan revolusi, kerugian yang diderita akibat kerusuhan tersebut besar sekali. (nas)

13 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA tempelan bertuliskan "Milik Pribumi" masih terlihat di beberapa tempat di Semarang, namun secara keseluruhan situasi kota yang paling parah dilanda kerusuhan anti-Cina bulan lalu itu sudah pulih kembali. Jam malam sudah dicabut sejak Sabtu lalu. Toko-toko, baik milik pri maupun nonpri sudah buka. Sirkus yang bermain di samping Simpang Lima telah dibuka kembali sejak Jumat lalu. Begitu juga kota-kota lainnya. Jam malam di Pekalongan juga diakhiri Sabtu lalu. Pabrik-pabrik, dan juga bioskop, sudah memulai jadwalnya yang biasa. Seperti juga Sala, di kota ini berkat larangan Pemda, corat-coret serta tempelan "pri" dan "nonpri" sudah tidak tampak. Sekitar 150 pelajar yang ditahan telah dilepaskan seluruhnya. Kudus dan sekitarnya agak lambat. Jam malam di kota ini baru dicabut Senin lalu. Jalan-jalan sudah ramai lagi seperti tidak pernah terjadi kerusuhan. Toko-toko di sekitar Simpang Tujuh telah dibuka kembali walau barangnya tidak lagi melimpah ke trotoar sebagaimana sebelum kerusuhan. Pasaran kaca, tripleks dan Jard board cukup ramai. Kesempatan kerja bertambah, terutama buat tukang dan penjaga malam. Di Yogyakarta, yang tak tersentuh oleh huru-hara rasial itu, kehidupan terus berjalan seperti biasa. Penjagaan keamanan yang sebelumny? cukup ketat sudah dilonggarkan. Namun beberapa toko sampai Senin lalu masih juga belum membuka etalasenya. King Kong Yang masih hangat hanyalah pembicaraan masyarakat di seputar kerusuhan itu. Penjelasan Pangkopkamtib Sudomo yang mengatakan kerusuhan itu merupakan bagian dari rencana politik untuk mencetuskan revolusi cukup membuat kaget. Banyak yang bertanya: mengapa massa begitu gampang dibangkitkan dan dibakar sentimennya? Pertanyaan itu memang beralasan. Sekalipun aksi itu terorganisir, seperti diungkapkan Sudomo, kecepatan penyebarannya mengagetkan. Diawali di Sala, dalam waktu satu minggu kerusuhan itu telah membakar banyak kota lain, bahkan nyaris merembet ke Jawa Timur walau hanya sempat "mampir" di Ngawi, Madiun dan Jombang. Hal itu agakberbeda misalnya, dengan Peristiwa 10 Mei 1963 di Jawa Barat yang merembet agak pelan. Pada peristiwa ini, insiden pertama terjadi pada Maret 1963 di Cirebon. Kemudian menjalar ke kota-kota lainnya di Ja-Bar, Ja-Tim dan berakhir di Yogyakarta pada 21 - 22 Mei 1963. Kerugian akibat kerusuhan di Ja-Teng itu walau belum diungkapkan, ,jelas amat besar. Tidak hanya kerulan material saja. Luka hati dan retaknya hubungan antara "pri" dan "nonpri" tampaknya memerlukan waktu yang lama untuk bisa bertaut kembali. Yang menderita paling parah akihat krusuhan itu agaknya Semarang. Sekitar 15 pabrik besar kecil di kota ini rusak atau terbakar. Kerugian terbesar diderita PT Arta Electronics yang konon l,ernilai sekitar Rp 1,2 milyar dan PT Standart Battery yang rugi sekitar Rp 600 juta. Terbakarnya banyak pabrik dan ratusan kendaraan bermotor, terutama bis dan truk, jelas mempengaruhi roda perekonomian. Tidak semua perusahaan yang rusak bisa segera membangun kembali usahanya hingga rupanya untuk sementara banyak buruh yang menganggur. Melihat ini semua, di masa depan yang lebih perlu diperhatikan adalah: bagaimana membuat kondisi masyarakat sedemikian rupa hingga hasutan dan sentimen anti rasial tidak gampang disundut. Dengan lain kata, mencegah dan memadamkan percikan api yang timbul. Masyarakat Sala, terutama kaum mudanya, pada peristiwa November lalu itu kabarnya gampang dibangkitkan sentimennya karena diingatkan oleh beberapa insiden antar pri dan nonpri yang terjadi sebelumnya. Antara lain pemukulan dan penabrakan dengan sepeda motor terhadap seorang pemuda asal Irian Jaya, oleh pemuda nonpri pada awal 1979. Kemudian juga di tahun 1979, penganiayaan seorang sopir kolt bernama Tarno alias Teko oleh seorang oknum nonpri. Akibatnya oknum bernama You Liang ini diadili di Pengadilan Negeri Sala yang pada 15 Oktober lalu memvonis hukuman penjara 20 bulan. Buntut peristiwa penganiayaan Tarno adalah terbunuhnya ayah You Liang yang dikenal dengan nama King Kong. "Kebetulan Kicak larinya ke toko Orlane, yang konon pemiliknya punya hubungan keluarga dengan keluarga King Kong," kata seorang pengusaha Sala. Disebutnya juga kasus arisan call di Sala yang menyebabkan kurang kompaknya sikap para pejabat Sala, hingga banyak orang menuding mereka membeking sementara oknum Cina. Sikap sebagian masyarakat Sala itu mungkin tercermin dalam memorandum HIMPI Surakarta 26 November 1980. Memorandum para pengusaha muda itu antara lain menyebutkan: kejadian di Sala yang diawali 20 November itu pada hakekatnya tersirat rasa kurang puas atas keadaan golongan pri dibanding nonpri, khususnya dalam hal pemerataan pendapatan dan perekonomian. HIPMI juga mengharapkan pemerintah meninjau kembali kebijaksanaannya dalam pemberian fasilitas pada golongan nonpri, terutama pengketatan dan bila perlu penyetopan pemberian kredit, baik yang tengah berjalan maupun yang akan datang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus