Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tim Pengawas Intelijen DPR: Bisakah Independen Mengawasi Intelijen?

DPR melantik anggota tim pengawas intelijen. Bagaimana mereka independen jika koalisi mendukung pemerintah?

6 Desember 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ketua DPR Puan Maharani melantik anggota Tim Pengawas Intelijen DPR.

  • Konflik kepentingan menjadi bagian dari 14 masalah utama pengawasan intelijen oleh DPR

  • Tumpang tindih pengawasan intelijen oleh banyak negara namun tak ada laporan publiknya.

LAPORAN kerja setebal 67 halaman menjadi bagian dalam diskusi internal Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 3 Maret 2021. Laporan bertajuk "Menguak Kabut Pengawasan Intelijen di Indonesia (Kertas Kerja)-Pusat Penelitian Politik LIPI" berdasarkan riset sejak 2020 itu bertujuan memetakan masalah pengawasan intelijen di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diandra Megaputri Mengko, peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan setidaknya ada 55 problem pengawasan. Menurut dia, Dewan Perwakilan Rakyat bukan satu-satunya lembaga yang bisa mengawasi intelijen. "Undang-undang hanya bilang ada pengawas eksternal dari DPR dan pengawas internal dari kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Tapi, secara konsep, sebenarnya ada banyak pengawas,” ujarnya saat dihubungi Tempo pada Kamis, 5 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam undang-undang, sedikitnya ada tujuh pengawas intelijen, yakni presiden, DPR, pengadilan negeri, lembaga independen negara, internal, publik, dan internasional. Khusus untuk DPR, ada 14 masalah pengawasan terhadap intelijen. 

Pengawasan intelijen menjadi isu hangat di parlemen setelah Ketua DPR Puan Maharani melantik anggota Tim Pengawas Intelijen DPR pada Selasa, 3 Desember 2024. Anggota tim itu berjumlah 13 orang dan berada di bawah koordinasi Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. 

Ketua DPR Puan Maharani setelah melantik Tim Pengawas Intelijen yang dibentuk oleh DPR di Ruang Rapat Komisi I DPR, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 3 Desember 2024. Emedia.dpr.go.id 

Pembentukan tim itu merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Pasal 43 ayat 2 regulasi itu menyebutkan pengawasan eksternal penyelenggara intelijen negara dilakukan oleh komisi di DPR yang khusus menangani bidang intelijen, dalam hal ini Komisi I.

DPR sejatinya telah membentuk tim pengawas intelijen beranggotakan legislator Komisi I yang mewakili setiap fraksi. DPR menerbitkan Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2014 tentang Tim Pengawas Intelijen Negara di DPR yang mengatur susunan anggota dan tata kerjanya. Namun, dalam perjalanannya, tim pengawas intelijen DPR ini bukan tanpa hambatan. 

Berdasarkan temuan riset Tim Kajian Keamanan Nasional di Pusat Penelitian Politik BRIN, hambatan justru bersumber dari lingkup internal DPR. Diandra mengatakan 14 masalah utama pengawasan intelijen oleh DPR dikerucutkan dalam enam kluster, yakni kelemahan aktor pengawas, konflik kepentingan, kelemahan regulasi, problem transparansi, dan kompleksitas ancaman. 

Menurut Diandra, salah satu hambatan pengawasan adalah lemahnya kapasitas DPR, terutama Komisi I yang mengurusi informatika, keamanan dan pertahanan, serta intelijen. Legislator Komisi I belum memiliki pengetahuan yang berarti mengenai dunia intelijen dan obyek institusi yang mereka awasi. “Selain itu, para wakil rakyat tersebut mengidap inferiority complex ketika berhadapan dengan rekan kerja mereka dari badan intelijen,” kata Diandra, yang merupakan salah satu penulis penelitian tersebut. 

Rendah dirinya legislator juga terjadi karena mereka tidak memiliki latar belakang atau pendidikan di bidang keamanan dan intelijen. Integritas aktor pengawas yang lemah dalam menjaga informasi rahasia juga menyulitkan proses pengawasan. Diandra mengatakan faktor itulah yang memunculkan kekhawatiran laporan rahasia yang dikirim ke DPR malah dijadikan senjata menghancurkan lawan politiknya. “Respons DPR juga sering kali lambat dalam menanggapi pandangan dan keluhan masyarakat atas pelanggaran yang dilakukan pimpinan badan intelijen." 

Problem lain adalah kerancuan frasa dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara dan Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2014 tentang Tim Pengawas Intelijen Negara di DPR. Diandra menuturkan regulasi tersebut tidak menyebutkan kriteria yang jelas tentang definisi penyimpangan, penyelewengan, atau penyalahgunaan oleh aktor intelijen. ”Ketidakjelasan ini justru menjadi alasan DPR mengabaikan laporan masyarakat sipil mengenai dugaan pelanggaran intelijen,” ujarnya. 

Masalah lain dalam pengawasan intelijen oleh DPR adalah kecenderungan parlemen menggelar rapat secara tertutup dan parsial. Diandra menjelaskan, Komisi I DPR kerap menyetujui permintaan badan intelijen menggelar rapat secara tertutup. Alih-alih menguji kepatutan permintaan tersebut agar tidak menyalahi transparansi, DPR cenderung menurutinya agar semata-mata pembicaraan bisa dibahas tuntas. 

Ancaman intelijen eksternal yang makin kompleks dan canggih dari waktu ke waktu juga ditengarai makin menyulitkan DPR melakukan pengawasan. Diandra menyebutkan negara lain melaksanakan operasi intelijen dengan berbagai kedok, misalnya melalui perdagangan, pendidikan, dan riset. Pemerintah justru kesulitan menangkal upaya pelemahan keamanan nasional tersebut. Walhasil, kebijakan penanganan ancaman kerap meleset dan kontraproduktif. Dengan begitu, kata Diandra, kompleksitas ancaman tersebut menyulitkan DPR menilai secara obyektif derajat proporsionalitas penggunaan kekuatan intelijen dalam penanggulangan gangguan keamanan.

Politik Transaksional Presiden-DPR

Konflik kepentingan yang menjadi bagian dari 14 masalah pengawasan intelijen oleh DPR, menurut laporan itu, mengerucut pada politik internal DPR. Dinamika tersebut bermuara pada politik transaksional yang menghambat pengawasan terhadap intelijen. "Juga adanya relasi DPR-presiden yang bermuara pada politik transaksional, yang menghambat efektivitas pengawasan."

Laporan LIPI memaparkan jumlah problem pada setiap aktor pengawas. DPR memiliki 14 masalah. Sedangkan lembaga presiden mempunyai 10 problem, pengadilan negeri empat problem, lembaga independen negara tujuh problem, internal empat problem, publik 11 problem, dan internasional lima masalah. Problem konflik kepentingan di pengadilan adalah adanya pengaruh dan/atau intervensi elite politik terhadap sistem dan proses peradilan. 

Adapun di lembaga presiden, menurut laporan tersebut, ada dua masalah konflik kepentingan. Pertama, relasi politis antara presiden dan intelijen dengan model political appointment dalam pemilihan kepala BIN dalam Undang-Undang Intelijen Negara mendorong pengawasan yang dilakukan oleh presiden cenderung politis. "Kedua, tingginya kompetisi politik/oposisi menjadikan pengawasan intelijen oleh presiden tidak efektif karena presiden dapat memanipulasi badan intelijen untuk bertahan dari serangan oposisi."

Politik transaksional dalam relasi Presiden-DPR menghambat pengawasan terhadap intelijen mengkhawatirkan kepentingan publik. Peneliti Imparsial, Hussein Ahmad, mengatakan saat ini publik waswas karena hampir semua partai bergabung ke pemerintah. Dengan begitu, komposisi tim pengawas intelijen DPR otomatis juga diisi mayoritas anggota koalisi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. 

Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto memimpin sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, 24 Juni 2024. ANTARA/Hafidz Mubarak A.

“Ini menjadi tantangan bagaimana tim pengawas intelijen ini bisa memastikan tidak ada politisasi intelijen. Apalagi kita punya sejarah kelam Orde Baru, yang di dalamnya intelijen digunakan untuk mempertahankan kekuasaan,” ujarnya saat dihubungi Tempo, Kamis, 5 Desember 2024. 

Pegiat yang berfokus pada masalah hak asasi dan keamanan itu menyatakan publik selama ini belum bisa menilai apakah tim pengawas intelijen DPR efektif menjalankan pengawasan sejak dibentuk. Menurut dia, sampai saat ini tim pengawas ataupun Komisi I DPR tidak pernah merinci laporan kerja atau evaluasi pengawasan terhadap badan intelijen. “Ada hal-hal yang publik mesti ketahui, misalnya soal pelanggaran atau kesalahan manajemen atau penyalahgunaan anggaran,” ucapnya. 

Hussein menegaskan tim pengawas intelijen tidak perlu ragu membuka laporan hasil pengawasan ke publik yang berhubungan dengan intelijen. Apalagi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sudah mengatur informasi apa saja yang bisa dilihat publik dalam hal intelijen. 

Dia mencontohkan, ketika Presiden ketujuh Indonesia Joko Widodo mengatakan punya informasi intelijen ihwal arah gerakan partai politik. Padahal, menurut Hussein, intelijen tidak bisa digunakan untuk kepentingan praktis seperti itu. Ia mengatakan kasus semacam ini seharusnya dikritik oleh tim pengawas atau Komisi I DPR. “Harus ada garis demarkasi yang jelas dan tidak sekadar menerima informasi lalu selesai begitu saja."

Dalam kesempatan terpisah, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan tim pengawas intelijen DPR ini sebetulnya dibentuk untuk memastikan kerja intelijen masih dalam koridor demokrasi dan prinsip hak asasi manusia. 

Enam Masalah Tim Pengawas Intelijen 

Khairul mengatakan publik juga belum mengetahui apakah tim pengawas sudah bekerja efektif atau belum mengawasi intelijen. Menurut dia, tim pengawas intelijen semestinya membuat laporan tahunan dan rekomendasi kebijakan, termasuk laporan dugaan indikasi pelanggaran badan intelijen. “Ini perlu juga disusun laporannya atau semacam investigasi khusus atau audit," ujarnya saat dihubungi, Kamis, 5 Desember 2024. Khairul melanjutkan, tim pengawas ini juga bertanggung jawab terhadap upaya memberikan edukasi kepada publik.

Khairul Fahmi, pengamat militer dan co-founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS). Dok. Pribadi

Khairul membeberkan enam poin yang perlu menjadi perhatian tim pengawas intelijen DPR saat ini. Pertama, tim pengawas perlu memastikan kegiatan intelijen berjalan sesuai dengan hukum dan tidak melanggar HAM. Misalnya, kata dia, pengumpulan data dan operasi intelijen digunakan secara sah. Kedua, tim pengawas intelijen mengawasi penggunaan anggaran badan intelijen agar tidak terjadi kebocoran. Ketiga, tim pengawas memastikan koordinasi antarlembaga intelijen berjalan baik dan tidak ada tumpang-tindih. 

Keempat, dia melanjutkan, tim mengawasi potensi penyalahgunaan wewenang dan konflik kepentingan politik. Sebab, hal ini bisa merusak independensi lembaga intelijen negara. Tim pengawas juga mengawasi proses rekrutmen dan penempatan personel. 

Kelima, tim pengawas intelijen mengevaluasi kinerja badan intelijen negara, terutama dalam menghadapi ancaman nonkonvensional, seperti ancaman siber. Terakhir, kata Khairul, tim pengawas memastikan badan intelijen memiliki sistem keamanan mumpuni untuk melindungi data sensitif dan menghadapi ancaman siber. 

Menanggapi hal tersebut, Puan Maharani mengatakan tugas intelijen negara adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan informasi intelijen untuk memberikan peringatan dini. Menurut dia, tim pengawas bertugas mewakili publik agar lembaga-lembaga intelijen negara dapat bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

Adapun Sufmi Dasco Ahmad memastikan tugas pokok dan fungsi tim pengawas intelijen yang baru dibentuk DPR akan sesuai Undang-Undang Intelijen Negara. Wakil Ketua DPR ini menuturkan Tim Pengawas Intelijen DPR akan memastikan lembaga-lembaga intelijen negara bekerja sesuai tugasnya tanpa mengganggu independensi. "Hal yang kami jaga, tugas fungsi pokoknya intelijen tidak abuse of power atau melanggar undang-undang," tuturnya, Kamis, 5 Desember 2024.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 22 Agustus 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Wakil Ketua Tim Pengawas Intelijen DPR, Dave Laksono, mengatakan timnya akan mengatur program kerja agar fungsi pengawasan terhadap lembaga-lembaga intelijen negara tidak mengganggu independensi badan tersebut. Dave mengatakan program tersebut akan diatur untuk memastikan agar kinerja lembaga intelijen yang ada di semua matra dan aparat penegak hukum bekerja secara optimal. "Dan juga kerap berkomunikasi agar segala jenis ancaman dan potensi permasalahan negara dapat dengan cepat teratasi," ujarnya seperti dilansir Antara.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Eka Yudha Saputra

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus