Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tinggal Soal Prosedur

Golkar, pdi & abri, mencalonkan kembali soeharto sebagai presiden. ppp mengusulkan suatu pembaharuan dalam prosedur pemilihan presiden, anggota dpr-mpr merasa kurang bebas menyatakan pendapat sendiri. (nas)

28 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIAP hari nampak makin pasti saja dalam Sidang Umum MPR Maret nanti, Presiden Soeharto akan dipilih sekali lagi. Sebenarnya sudah sejak masa kampanye tanun lalu hal ini sudah bisa diperhitungkam Golkar sudah pagi-pagi mencalonkan Soeharto dan Sri Sultan sekali lagi--dan setiap pengamat politik waktu itu pun sudah bisa mewarnai bahwa Golkar akan memang dan pencalonannya akan gol. Yang lain dari itu cuma ilusi--atau sekedar main-main, atau latihan kecil-kecilan untuk menguji demokrasi. Termasuk dalam kategori belakangan ini adalah yang dilakukan dua pemuda tempo hari, Bambang Sulistomo dan Dipo Alam, untuk "mencalonkan" Ali Sadikin. Bukan lewat fraksi-fraksi dalam DPR-MPR, tapi buat kaos oblong dan spanduk yang dipasang sebentar di sebuah warung kecil di Jakarta. Kemudian, boleh dicatat "pencalonan" Darius Marpaung - setelah sebuah doa dan sebuah surat kawat ke MPR yang tentu saja tak berbalas. Sebab apa yang nampak di MPR makin memperjelas kokohnya pencalonan kembali Presiden Soeharto. Seperti dikatakan oleh Ketua DPR-MPR Adam Malik, "menurut perhitungan matematik Pak Harto sudah dapat dipastikan akan terpilih kembali." Begitu pastinya hal itu hingga memang mengherankan jika soal itu masih dipersoalkan. Lihat saja. "Perhitungan matematik" Adam Malik tak memerlukan komputer yang rumit. Colkar memegang suara mayoritas. Sementara itu tak boleh ketinggalan ialah suara ABRI: Presiden Soeharto didukung penuh oleh ABRI. Suatu kenyataan politik yang kiranya tak perlu diajarkan ialah bahwa suara ABRI tak munghin diabaikan. Dan AB Rl pasti tak mengajukan calon lain di samping Pak Harto. Sebab kalau begitu yang terjadi, sungguh buruk keadaan. ABRI harus kompak. Kalau tidk,"Republik bisa kacau," kata seorang perwira tinggi. Dari kalangan paltai politik memang belum terdengar suara yang pasti betul. Di bulan September 1977, DPP PDI yang waktu itu baru mulai menunjukkan tanda-tanda pecah mengatakan. bahwa partai belum memutuskan soal pencalonan Presiden untuk MPR mendatang. Tapi sudah dipastikan, bahwa PDI nanti akan mencalonkan kembali Jenderal Soeharto sebagai Presiden. "Hampir semua anggota DPP telah menyetujui pencalonan tersebut," kata drs. T.A.M. simatupang salah satu Ketua PDI. Bahkan ia mengajak semua kekuatan sosial "untuk mewujudkan penetapan kembali Soeharto sebagai suatu konsensus nasional." Pertanyaan tentang pencalonan ini kepada Simatupang memang ada sebabnya 18 September 1977, ditandatangani oleh Ketua Achmad Sukarmadidjaja dan Wakil Sekjen Djon Pakan, sebuah pernyataan dikeluarkan: PDI telah mencalonkan kembali Jenderal Soeharto sebagai calon-tunggal untuk jabatan Presiden RI masa tahun 1977 - 1983. Pernyataan itu memang menunjukkan tanda-tanda adanya DPP "tandingan", tapi kemudian PDI yang pecah toh dipersatukan kembali dan soal pencalonan Pak Harto toh ternyata bukan yang menimbulkan keretakan. Yang masih lebih remang-remang adalah sikap Partai Persatuan Pembangunan. Tapi suara untuk mencalonkan Jenderal Soeharto kembali bukannya tidak terdengar dari kalangan P-3, sementara sejauh ini belum ada nama calon yang lain yang mereka ajukan. Menurut sebuah dugaan pada waktu Sidang Umum Maret nanti Fraksi P-3 toh akhirnya akan muncul dengan Jenderal Soeharto juga sebagai calon. Selama ini fraksi tersebut hanya sedang mencoba melakukan taktik tawar-menawar untuk soal-soal yang bagi mereka lebih prinsipiil misalnya soal kepercayaan. Tapi seandainya pun P-3- tidak mencalonkan Jenderal Soeharto. hasilnya tidak akan berubah dari "matematika Adam Malik". Apalagi jika pemungutan suara dilakukan seperti yang kemungkinannya dibayangkan oleh Golkar, untuk menghindarkan soal-soal pokok Sidang Umum dari suasana "bertele-tele." Masalahnya ialah bahwa cara pemungutan suara tidak selamanya menarik dalam tradisi pengambilan keputusan di Indonesia. Ada kesan bahwa suatu kesepakatan yang bulat belum diperoleh. Menteri Dalam Negeri Amirmachmud misalnya, pekan lalu menyatakan bahwa ketentuan bagi seseorang untuk menjadi presiden ialah: selain dipilih oleh MPR yang merupakan syarat konstitusi. "ia juga harus didukung secara bulat oleh seluruh rakyat." Sebenarnya dari segi praktis dukungan bulat oleh seluruh rakyat tidak mutlak perlu. Kalau mutlak perlu, bisa berlarat-larat nanti soal pemilihan presiden. Perbedaan pendapat bagaimana pun bukan hal yang mustahil. Seperti kata Menteri Dalam Negeri sendiri: ada kelompok tertentu di masyarakat yang memaksakan pencalonan lain "Bahkan, katanya, "ada kelompok terlentu yang tidak menghendaki dicalonkannya kembali Soeharto sebagai presiden. Itu tidak berarti bahwa pencalonan lain adalah sebuah dosa besar terhadap konstitusi meskipun memang tidak nyaman terdengar di kuping. Seperti dikatakan Menteri Amirmachmud sendiri, ia tidak menutup kemungkinan demikiam "asal disalurkan melalui DPR dan MPR". Agaknya untuk menampung pencalonan lain itulah Fraksi P-3 mengusulkan suatu pembaharuan dalam prosedur pemilihan presiden. Masalah prosedur ini jadi bahan pekerjaan Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR. Ketika Panitia Ad Hoc menyerahkan hasil kerjanya kepada Ketua Badan Pekerja, H. Ahmad Lamo ada hal-hal yang belum selesai, karena belum ada kesepakatan. Sebuah sumber mengatakan balwa ada yang belum disepakati oleh P-3 dan PDI secara bersama-sama. Sebuah sumber lain mengatakan bahwa yang "lain" hanya suara P-3. H.M. Dahrif Nasution bekas Mayor AL yang kini jadi orang P-3 dan duduk sebagai Wakil Ketua dalam Panitia Ad Hoc III mengakui itu. Menurut Dahrif. fraksinya menghendaki agar pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan oleh 30 anggota. "Ini berbeda dengan pendapat fraksi lain yang beranggapan Tap MPR II/1973 masih dapat dipakai." Inti dari Tap MPR II/1973 itu ialah bahwa pencalonan Presiden dilakukan oleh Fraksi secara tertulis. Menurut Pasal 9 ketetapan itu alon Presiden diusulkan oleh Fraksi secara tertulis dan disampaikan kepada Pimpinan Majelis melalui Pimpinan-pimpinan Fraksi yang mencalonkan dengan persetujuan dari calon yang bersangkutan." Ketetapan seperti itu, bagi Cosmas Batubara dari Fraksi Golkar, sesuai dengan Undang-Undang Pemilu. Konsekwensi dari UU Pemilu, kata Cosmas ialah bahwa yang dipilih adalah tanda gambar, bukan orang sesuai dengan sistim pemilihan yang proporsionil, bukan sistim distrih. Karena itu Cosmas menyatakan "sulit" untuk menerima usul P-3. "Anggota sudah dilokalisir dalam fraksi-fraksi," kata Cosmas,"jadi fraksi adalah pengelompokan anggota yang menggambarkan konstelasi politik dalam masyarakat." Pendapat sedemikian memang bisa menjaga Fraksi-Fraksi dari perpecahan satu hal yang tentu akan merepotkan Golkar kalau tidak juga merepotkan PDI dan P-3 - sehingga gedung DPR-MPR bisa jadi ramai. Tapi nampaknya P-3 punya alasan juga. "Yang penting adalah diakuinya hak-hak anggota untuk menealollkan, itu saja," kata Dahrif Nasution. Memang bagi beberapa anggota DPR-MPR, juga dalam Fraksi Golkar. terkadang ada kekurang-bebasan bagi diri mereka untuk menyatakan pendapatnya sendiri. Terkadang sering Fraksi teramat membatasi kesempatan mereka. Namun dalam masalah pencalonan presiden nampaknya kodisi semacam itu perlu ditempuh. Paling tidak sampai masa Sidang Umum 1978 ini, ketika "situasi" dianggap belum mengijinkan untuk yang aneh-aneh. Tapi adakah usul P-3 sebenarnya dimaksudkan untuk memungkinkan pencalonan orang lain di samping Jenderal Soeharto? Orang ingat akan suasana genting yang meliputi Sidang Umum V MPRS. Sebelumnya, harmpir seluruh DPR Daerah dan partai-partai mengeluarkan resolusi agar MPRS segera bersidang untuk mengangkat Jenderal Soeharto jadi Prcsiden (penuh). Waktu itu Pak Harto baru memegang posisi Pj. Presiden. Dan pada tanggal 13 Pebruari 1968, DPR pun dengan aklamasi menerima mosi Achmad Sukarmawidjaja dkk. Di antara yang tercantum dalam mosi itu ialah agar MPRS mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Presiden penuh. Tapi dalam pelaksanaannya seperti ditulis bekas Ketua MPKS A.H. Nasution dalam bukunya. Dari Kup 1 oktober 1965 ke Silang Istimewa, "Sidang Umum V MPRS-pun hampir gagal dan mengalami banyak sas-sus." 7 Maret 1968 komisi politik macet. Ketuanya, Jenderal M. Yusuf minta bantua pribadi Nasution sebagai Ketua MPRS. Setelah berjam-jam bermusyawarah baru selesai. Pengangkatan Jenderal Soeharto menjadi Presiden hampir saja tertunda-tunda. Namun yang menarik ialah, menurut Nasution, bahwa sekitar sidang itu berjalan "desas-desus santer", bahwa fraksi-fraksi Islam akan merubah UUD'45 dengan Piagam Jakarta dan bahwa, ada yang hendak mencalonkan Nasution jadi presiden. Apakah kini sejarah berulang kembali dan fraksi-fraksi Islam yang kini sudah bergabung dalam P-3 memang punya calon lain Warsito Puspoyo SH, Ketua Komisi II (Dalam Negeri) DPR diri Fraksi Karya yang menolak usul P-3 tentang prosedur pemilihan presidennya pendapat yang penting: "Ketentuan pasal 9 Tap MPR No. 11 Tahun 1973 tidak menutup kemungkinan sesuatu Fraksi akan mengajukan lebih dari satu calon." Masalahnya ialah, bahwa nampaknya tidak ada calon lain yang sudah ditampilkan Cosmas mengritik hal ini. Ia menyatakan "tidak mengerti" kalau ada salah satu fraksi yang menyatakan bahwa calon presiden mereka belum ditentukan. "Calon Presiden dari tiap peserta pemilu lebih baik diperbincangkan selama kampanye pemilu," kata Cosmas. Cara ini dianggapnya lebih fair, karena seorang pemilih dapat sekaligus memilih orang (calon presiden) dan sekaligus programnya. Tentu saja Cosmas mencontohkan apa yang dilakukan Golkar. Selama dua kali masa jabatan ini Golkar mencalonkan Pak Harto dalam satu paket kampanye. Memilih Presiden, kata Cosmas pula, "tidak seperti memilih bupati." Persiapannya harus dilakukan jauh sebelumnya. Memilih Presiden juga tidak seperti memilih bupati karena masalahnya nenyangkut pelbagai soal besar nasional dan antara lain karena itu jadi masalah yang peka. Apalagi jika sudah menyangkut nama-nama - yang bagi tradisi politik Indonesia merupakan hal yang tidak biasa. Persaingan untuk kedudukan setinggi itu secara terbuka masih belum dianggap patut. Sementara itu, banyak rasa cemas akan terjadinya perpecahan nasional. Itu tidak berarti, bahwa apa yang kini belum biasa kelak kemudian hari tetap demikian. Waktu berubah. Generasi baru demi generasi baru lahir. Sikap mereka, terutama yang telah mengalami sendiri proses pemilihan di tempat mereka dididik tentu berbeda. Barangkaii perdebatan yang tidak ramai ke luar tentang soal prosedur di Panitia Ad Hoc merupakan pertanda bahwa perbedaan sikap itu ada juga gemanya, tanpa mengurangi kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan politik lain. Masalahnya tentu akan beres dalam Sidang Umum MPR Maret mendatang di mana Presiden Soeharto akan dipilih lagi. Setelah itu, mau tak mau siapa pun harus menengok ke masa depan - kalau perlu yang sejauhjauhnya. Duapuluh lima tahun lagi siapa tahu segala yang kini kita omongkan menjadi tak penting lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus