DI SETIAP masa nampaknya selalu ada saat yang tak mudah untuk
berbicara,tapi tidak gampang untuk diam. Kita tidak tahu pasti
bagaimana persisnya kata-kata akan diberi harga, dan apakah
sebuah isyarat akan sampai. Di luar pintu, pada saat seperti
ini, hanya ada mendung, atau hujan, atau kebisuan, mungkin
ketidak-acuhan. Semuanya teka-teki.
Toh setidaknya kita masih membutuhkan pembicaraan dengan diri
sendiri. Kita tidak hanya bertindak. Setiap tindakan memerlukan
penghalalan. Pada saat kita minta orang lain untuk diam
sekalipun, sebenarnya jauh di dalam hati kita ingin agar orang
lain itu kemudian membenarkan tindakan kita. Kapasitas kita
untuk mengalahkan ingin kita sertai dengan kapasitas kita untuk
meyakinkan.
Memang, itu tak selamanya bisa terjadi. Tapi adalah wajar bila
kita, dengan tindakan kita, ingin dinilai "berhasil" dan
serentak itu kita ingin dinilai sebagai "orang baik." Pendeknya,
orang lain di luar kita adalah sesuatu yang tak terelakkan, juga
sesuatu yang kita butuhkan.
Mungkin itulah sebabnya, ada semacam hukum dalam setiap
kekuasaan: betapapun hebatnya kekuasaan itu, ia masih tetap
membutuhkan orang lain yang bebas. Sang raja yang sendirian di
planit kecil dalam cerita Le Petit Prince karya Antoine de St.
Exupery yang termashur itu akhirnya toh meminta seorang manusia
lain untuk hadir, sebagai rakyatnya. Ia memang tak bisa bertahta
hanya bagi langit yang bungkam.
Ketika Republik ini didirikan, ia pun tidak dimaksudkan untuk
hanya berupa hutan, laut dan pulau-pulau tropis yang membisu.
Tertib, tenteram, aman dan makmur memang suatu cita-cita. Tapi
sebuah negeri harus selalu siap dengan kenyataan-kenyataan.
Bahkan kenyataan-kenyataan yang terkadang nampak semrawut itu
barangkali mengandung hikmah.
1 Juni 1945, ketika pidato pertama tentang Pancasila diucapkan,
Bung Karno berkata tentang hikmah itu: "Tidak ada satu negara
boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di
dalamnya. Jangan dikira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan
kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah
subhanahuwata'ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam
pergaulan kita seharihari, kita selalu bergosok, supaya keluar
dari padanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia
yang sebaik-baiknya."
Lalu Bung Karno pun menawarkan "prinsip ke-3" dalam Pancasila,
yakni musyawa rah.
Memang tidak mudah menafsirkan "musyawarah" itu dalam praktek.
Dalam mengelola konflik dan perbedaan, kita sering berada dalam
dilema. Selalu ada risiko yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Seluruh sejarah kita sejak 1945 barangkali menggambarkan ikhtiar
untuk mencari cara yang terbaik untuk itu--dan kita tak jarang
terbentur pada kepahitan.
Partai Komunis Indonesia misalnya menawarkan "kediktaturan
proletariat." Kartosuwirjo menggerakkan orang untuk suatu
"Negara Islam" Sampai sejauh ini ada sesuatu dalam tubuh
Indonesia yang berhasil menolak kedua-duanya.
Orang boleh memperdebatkan, apa sebenarnya sumber daya tolak
"sesuatu" itu. Yang jelas: ia bukan semata-mata senjata.
Barangkali ia adalah suatu kenyataan yang sederhana saja.
Kenyataan itu, yang tumbuh dari keaneka-ragaman Indonesia yang
menyebabkan Pancasila lahir, menuding: tidak ada suatu kekuatan
pun bisa memonopoli Indonesia.
Inti dari ikhtiar demokrasi adalah itu. Tentu saja ikhtiar itu
sewaktu-waktu bisa seperti kandas. Namun ia tak bisa kandas
tanpa jejak. Dalam Padang yang becek oleh salju, ketika Jerman
memusnahkan musuh-musuhnya, orang pun masih bisa tegak, dan
menulis: "if or lot is complete annih ilation, let us not
behave in sucha way that it seems justice."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini