Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Ikhtiar demokrasi

Dalam tubuh indonesia ada sumber daya tolak terhadap tawaran "kediktaturan proletariat" dan "negara islam". sumber daya tolak itu bukan senjata melainkan demokrasi.

28 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI SETIAP masa nampaknya selalu ada saat yang tak mudah untuk berbicara,tapi tidak gampang untuk diam. Kita tidak tahu pasti bagaimana persisnya kata-kata akan diberi harga, dan apakah sebuah isyarat akan sampai. Di luar pintu, pada saat seperti ini, hanya ada mendung, atau hujan, atau kebisuan, mungkin ketidak-acuhan. Semuanya teka-teki. Toh setidaknya kita masih membutuhkan pembicaraan dengan diri sendiri. Kita tidak hanya bertindak. Setiap tindakan memerlukan penghalalan. Pada saat kita minta orang lain untuk diam sekalipun, sebenarnya jauh di dalam hati kita ingin agar orang lain itu kemudian membenarkan tindakan kita. Kapasitas kita untuk mengalahkan ingin kita sertai dengan kapasitas kita untuk meyakinkan. Memang, itu tak selamanya bisa terjadi. Tapi adalah wajar bila kita, dengan tindakan kita, ingin dinilai "berhasil" dan serentak itu kita ingin dinilai sebagai "orang baik." Pendeknya, orang lain di luar kita adalah sesuatu yang tak terelakkan, juga sesuatu yang kita butuhkan. Mungkin itulah sebabnya, ada semacam hukum dalam setiap kekuasaan: betapapun hebatnya kekuasaan itu, ia masih tetap membutuhkan orang lain yang bebas. Sang raja yang sendirian di planit kecil dalam cerita Le Petit Prince karya Antoine de St. Exupery yang termashur itu akhirnya toh meminta seorang manusia lain untuk hadir, sebagai rakyatnya. Ia memang tak bisa bertahta hanya bagi langit yang bungkam. Ketika Republik ini didirikan, ia pun tidak dimaksudkan untuk hanya berupa hutan, laut dan pulau-pulau tropis yang membisu. Tertib, tenteram, aman dan makmur memang suatu cita-cita. Tapi sebuah negeri harus selalu siap dengan kenyataan-kenyataan. Bahkan kenyataan-kenyataan yang terkadang nampak semrawut itu barangkali mengandung hikmah. 1 Juni 1945, ketika pidato pertama tentang Pancasila diucapkan, Bung Karno berkata tentang hikmah itu: "Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan dikira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwata'ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita seharihari, kita selalu bergosok, supaya keluar dari padanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya." Lalu Bung Karno pun menawarkan "prinsip ke-3" dalam Pancasila, yakni musyawa rah. Memang tidak mudah menafsirkan "musyawarah" itu dalam praktek. Dalam mengelola konflik dan perbedaan, kita sering berada dalam dilema. Selalu ada risiko yang tidak terbayangkan sebelumnya. Seluruh sejarah kita sejak 1945 barangkali menggambarkan ikhtiar untuk mencari cara yang terbaik untuk itu--dan kita tak jarang terbentur pada kepahitan. Partai Komunis Indonesia misalnya menawarkan "kediktaturan proletariat." Kartosuwirjo menggerakkan orang untuk suatu "Negara Islam" Sampai sejauh ini ada sesuatu dalam tubuh Indonesia yang berhasil menolak kedua-duanya. Orang boleh memperdebatkan, apa sebenarnya sumber daya tolak "sesuatu" itu. Yang jelas: ia bukan semata-mata senjata. Barangkali ia adalah suatu kenyataan yang sederhana saja. Kenyataan itu, yang tumbuh dari keaneka-ragaman Indonesia yang menyebabkan Pancasila lahir, menuding: tidak ada suatu kekuatan pun bisa memonopoli Indonesia. Inti dari ikhtiar demokrasi adalah itu. Tentu saja ikhtiar itu sewaktu-waktu bisa seperti kandas. Namun ia tak bisa kandas tanpa jejak. Dalam Padang yang becek oleh salju, ketika Jerman memusnahkan musuh-musuhnya, orang pun masih bisa tegak, dan menulis: "if or lot is complete annih ilation, let us not behave in sucha way that it seems justice."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus