Undang-undang dan peraturan menteri tentang buruh ada yang kontradiktif. Hak mogok diakui, tapi rencana mogok harus diberitahukan kepada P4D. UJANG (bukan nama sebenarnya), pemuda kerempeng berusia 23 tahun, baru saja kena musibah. Ia bersama 39 temannya dirumahkan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Ujang merasa keputusan perusahaan itu aneh. Soalnya, selama jadi karyawan ia merasa tak melakukan sesuatu yang merugikan perusahaan. Kok dirumahkan? "Mungkin saya dicurigai mau bikin SP," katanya mendugaduga. Pabrik aki kondang itu, yang terletak di Cisalak, Bogor, kata Ujang, memang alergi terhadap SP (istilah yang dipakainya untuk SPSI). Kini, setelah dirumahkan, Ujang jadi yakin, SPSI di tingkat pabrik diperlukan untuk melindungi pekerja. "Tanpa SPSI, orang kebingungan harus mencari bantuan ke mana," tambahnya. Sejak dirumahkan tiga pekan lalu, Ujang memang masih mendapat tunjangan dari pabrik Rp 500 -- separuh dari upah ketika masih bekerja. Jumlah itu ternyata tak cukup membuat kompor di kamar kontrakannya yang berukuran 2 x 2,5 meter itu mengepul. "Kini saya makan nebeng sana nebeng sini," ujarnya, sambil membuka dompetnya yang hanya berisi tiga lembar uang seratus rupiah. Kini perkara Ujang lagi digarap P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah) Bogor. Ia berharap P4D memenangkannya. "Tapi saya tahu, itu sulit," tuturnya lesu. Target memperoleh pesangon 4 x Rp 25 ribu (gajinya sebulan) pun tak diyakini bisa tembus. Betapapun kecilnya penghasilan sebagai buruh pabrik, PHK tetap saja jadi ancaman yang menakutkan mereka. Apalagi, seperti kata Aris Merdeka Sirait dari Yayasan Saluran Informasi Sosial dan Bimbingan Hukum -- LSM yang bergerak di kalangan buruh -- majikan tidak sulit memberhentikan buruhnya, kapan pun. "Karena P4D, P4P, bahkan SPSI, selalu berpihak ke pengusaha," ujarnya lagi. Masalah perburuhan di tanah air kita memang cukup rumit. Sedikitnya ada sepuluh undang-undang dan enam peraturan menteri (permen) sering jadi gunjingan para pengamat perburuhan. " Soalnya, dari sederet aturan itu ada yang kontradiktif," kata Djokopitojo, ahli hukum perburuhan dari Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI). Ia memberi contoh pada soal prosedur PHK seperti dialami Ujang. Tata cara PHK itu, kata Djoko lebih lanjut, termuat dalam UU No. 12/1964 dan Permen 04/1986, yang dibuat pada masa Menteri Tenaga Kerja (kini Menko Polkam) Sudomo. Tapi kedua aturan itu tidak klop. Pada UU No. 12 disebutkan, seorang buruh tidak bisa diberhentikan tanpa persetujuan P4D atau P4P (Pusat). Selama belum ada persetujuan instansi itu, buruh harus tetap dipekerjakan. Jadi, kendati ada majikan sebal betul terhadap seorang atau sekelompok buruh, ia tak begitu saja gampang merumahkan mereka. Hampir seperempat abad kemudian datang Permen 04, yang merevisi UU No. 12 tersebut. Menurut Permen 04, majikan bisa merumahkan buruh sewaktu-waktu tanpa menunggu keputusan P4D atau P4P. Permen 04 jelas-jelas menguntungkan majikan. Apabila ada buruh yang dianggap bersalah, atau dinilai kurang produktif, majikan bisa langsung merumahkan mereka. Syaratnya, seperti disebut dalam peraturan itu, majikan harus membayar buruh bersangkutan paling kurang 50% dari upah selama enam bulan. Kalau pekerja memperkarakannya, baru sidang digelar di P4D atau P4P. Lewat batas masa santunan enam bulan, kendati perkara masih belum rampung, majikan bebas dari tanggungan. Selama menunggu penyelesaian P4D, buruh semacam Ujang sudah merasa seperti divonis PHK. Mereka tahu, peluang untuk memenangkan sengketa sangat tipis. Sementara itu, mau mencari tempat kerja baru juga tak mudah. Ijazah mereka kebanyakan SMP, dan keahlian pun terbatas. Peraturan mengenai buruh yang tumpang tindih itu, menurut Direktur LBH Jakarta Nursyahbani Katjasungkana, membuat posisi buruh lemah. Toh, untuk mendirikan SPSI di tingkat pabrik juga tak gampang sekalipun dalam Pasal 11 UU No. 4/1969 disebutkan setiap pekerja berhak mendirikan dan jadi anggota perserikatan tenaga kerja. Undang-Undang No. 4 juga mengamanatkan agar pembentukan perserikatan tenaga kerja itu dilakukan secara demokratis. Landasan lain bagi pembentukan serikat pekerja, menurut Nursyahbani, adalah UU No. 18/1956, yang merupakan hasil ratifikasi dari Konvensi No. 98 Organisasi Buruh Internasional (ILO). Dalam UU No. 18 itu disebutkan, buruh punya kebebasan masuk organisasi serikat pekerja, dan pengusaha tak boleh campur tangan pada pembentukan dan pengurusan serikat pekerja. Namun, kedua UU itu seperti lumpuh jika berhadapan dengan Permen No. 1109/ 1986. Peraturan menteri yang dikeluarkan lima tahun lalu itu memuat ketentuan agar pengusaha terlibat dalam pembentukan serikat pekerja. Dalam Permen No. 1109, antara lain disebutkan, "Buruh harus berkonsultasi dengan pengusaha untuk memilih kepengurusan di serikat pekerja." Selain itu, kata Nursyahbani, Permen No. 1109 minta agar calon pimpinan buruh tersebut harus mengikuti penataran-penataran, yang kurikulum, peserta, dan penatarnya dipilih oleh manajemen pabrik. "Itu meniadakan hak buruh untuk berserikat secara bebas dan demokratis," tambahnya. Bisa saja buruh-buruh tersebut mengegolkan calon pimpinan serikat pekerja lewat pemilihan terbuka. "Tapi kalau kepengurusannya tak direstui majikan, unit serikat pekerja itu tak diakui SPSI Cabang, yang menjadi induknya," kata Sirait. Maka, menurut aktivis perburuhan itu, dalam pembentukan unit SPSI tersebut pun kekuatan manajemen lebih "berbunyi". Maka, dalam menyelesaikan perselisihan dengan manajemen pabrik, posisi yang relatif lebih lemah itu membuat para pekerja melirik ke jurus pamungkas yang cukup sakti: mogok kerja. Cara ini memang efektif untuk menekan manajemen industri. Lihat saja, ketika sekitar 20 teknisi sebuah industri pakaian jadi di Cilodong, Bogor, mogok selama sepekan, pabrik tersebut langsung lumpuh. Ratusan buruh tak bisa bekerja karena tak ada mesin yang menyala. Akhirnya, pengelola pabrik menyerah terhadap tuntutan para teknisi itu: gaji pemrotes dinaikkan 7%. Namun, dasar hukum pemogokan itu lemah. Meski UU No. 22/1957 menyebutkan hak mogok kaum pekerja diakui, ada ketentuan dalam undang-undang tersebut, bahwa pihak pekerja harus memberitahukan rencana pemogokan secara tertulis kepada P4D selambat-lambatnya tujuh hari sebelum dilaksanakan. Jika ketentuan dilanggar, aksi mereka digolongkan pemogokan liar. Senjata pamungkas bagi pemogokan liar ternyata sudah pula disiapkan: Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342/MEN/86, yang ditandatangani Sudomo. Di situ termuat petunjuk mengatasinya: manajemen diamanatkan mengadakan koordinasi dengan pemda, polres, dan kodim, guna menghindari tindakan fisik oleh pemrotes. Aturan main inilah yang berjasa meredam pemogokan di sebuah pabrik tekstil di Ciluar, Bogor, awal bulan lalu. Aksi yang menuntut perbaikan kesejahteraan tersebut diakhiri dengan "menginapkan" 20 pimpinan pekerja di kantor polisi selama delapan hari. "Meski mereka diperlakukan secara baik, pengalaman itu membuat mental mereka ambruk," kata Sirait, yang menjadi pembela buruh-buruh tersebut. Setelah mogok selama tiga hari, sebagian tuntutan mereka langsung dipenuhi manajemen pabrik. Sesudah itu? "Mereka yang dianggap biang kerok, cepat atau lambat, pasti kena PHK," tambah Sirait, prihatin. Putut Trihusodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini