DI mata seorang Gandhi, pada dasarnya manusia itu baik. Maka,
dia tidak percaya bahwa "korupsi dan penyelewengan disebabkan
oleh mental yang buruk." Yang berbicara itu bukanlah tokoh
sqadeshi Mahatma Gandhi, tapi kepala Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jumat pekan lalu, setelah
bertemu Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah. Pertemuan yang juga
dihadiri Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan, dan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara - tokoh-tokoh yang di bawah
koordinasi wakil presiden bertugas mengawasi keuangan dan
pembangunan negara.
"Saya beranggapan, kurangnya sistem pengendalian manajemenlah
penyebab primer munculnya penyelewengan," kata Gandhi kepada
TEMPO. Gongnya boleh diharapkan segera muncul, berupa instruksi
presiden tentang "sistem pengendalian manajemen" itu.
Agaknya langkah ini merupakan kelanjutan pidato Presiden pada
Sidang Paripurna DPR-RI, 16 Agustus lalu. Presiden waktu itu
antara lain mengatakan perlunya "pemantapan pemerintahan yang
bersih dilakukan, dengan kerangka sistem dan langkah yang
terpadu, baik pencegahan maupun penindakannya." Ini berarti,
sistem pengawasan yang sudah berlangsung dianggap kurang
efektif.
Selama Ini kebijaksanaan pengawasan terbagi-bagi menurut
departemen masing-masing," kata Gandhi, yang sebelumnya menjabat
direktur jenderal pengawasan keuangan negara itu. Hal itu
dianggap memudahkan penyelewengan, karena "sulit untuk
mengadakan koordinasi pengawasan yang terpencar-pencar itu."
Tapi itu tidak berarti, misalnya, para inspektur jenderal
departemen tak lagi dipercaya. Sistem baru nanti, menurut Gandhi
yang berdahi lebar dan berkaca mata itu "melibatkan semua
pihak." Caranya, akan ada keharusan bagi atasan untuk membaca
semua laporan dari bawahan. "Bukan sekadar membaca, tapi atasan
harus memberikan penilaian pula," kata alumnus Fakultas Ekonomi
UI ini. Itu agaknya untuk memudahkan aparat pengawasan mencari
siapa yang harus bertanggung jawab seandainya terjadi
penyelewengan.
Dan laporan pun tekanannya akan diubah. Selama ini, laporan
sebuah proyek anu dari suatu departemen, misalnya, tekanannya
hanyalah pada pengeluaran dan pemakaian keuangan. "Padahal,
kegiatan proyek tentulah bukan soal keuangan melulu, tapi ada
juga operasionalnya," ujar Gandhi. "Selama ini yang operasional
itu banyak diloloskan begitu aja." Jadi, dengan sistem
pengendalian manajemen nanti, harus dilaporkan pula "apa yang
telah dihasilkan dari pengeluaran." Keharusan ini memang bisa
memperkecil permainan soal pengadaan barang, misalnya seperti
yang terjadi di tubuh Departemen Sosial belum lama ini. Tanpa
menentukan kualitas barang yang harus diperolch, rekanan bisa
saja mengadakan sembarang barang dengan mutu yang lebih rendah.
Keuntungan sudah jelas mengalir ke pihak rekanan dan pejabat
yang mengurus barang itu.
Toh Gandhi, yang sebelum ditunjuk memimpin BPKP - lembaga baru
yang dibentuk Presiden akhir Mei yang lalu - sudah berpengalaman
sebagai pengawas keuangan di Departemen Keuangan, cukup tahu
diri. Pria lima puluhan tahun ini, yang rambutnya sudah memutih
di sana-sini, belum berani memastikan bahwa sistem tersebut
memang mujarab. Tapi dengan suara mantap, ia berkata: "Sistem
baru ini paling tidak bisa mencegah kebocoran dan pemborosan
secara brutal."
Dan pagi-pagi Gandhi sudah tahu kesulitan yang akan dihadapi.
"Pertama, ketidakseragaman struktur organisasi lembaga-lembaga
yang harus kami tangani," katanya. Yang kedua, di BPKP yang
direncanakan memiliki tujuh deputi, yang akan merupakan lembaga
non departemental terbesar kedua sesudah Bappenas, "apakah nanti
cukup tersedia tenaga." Itu sebabnya direncanakan di lembaga
baru ini diadakan pula pusat pendidikan dan latihan.
Wewenang BPKP memang besar. Disebutkan dalam keputusan presiden
tentang pembentukan lembaga ini bahwa kepala BPKP berwenang
melakukan pemeriksaan secara detil. Ia punya hak "memasuki semua
kantor, bengkel, gudang, bangunan, tempat-tempat penimbunan, dan
sebagainya." Ia pun berwenang "melihat semua register, buku
perhitungan, surat-surat bukti, notulen rapat, dan sejenisnya."
Soal sanksi bagi yang terbukti menyeleweng "harus keras dan
tegas," kata Gandhi yang istrinya menjadi ketua Ikatan Sarjana
Hukum Wanita Indonesia.
Adakah sistem pengendalian manajemen akan mengundang perubahan
struktural dalam lembaga pemerintah? Jawaban datang dari Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara, Dr. Saleh Afiff. "Tidak,"
katanya, "karena mekanisme yang baru bertujuan mengaktifkan
struktur yang sudah ada " Diingatkan oleh Afiff, sesungguhnya
tujuan sistem pengendalian manajemen bukanlah tindakan represif,
tapi preventif.
Dengan kata lain, Saleh Afiff menjelaskan bahwa fungsi inspektur
jenderal, misalnya, akan tetap besar. Sebab, yang pertama-tama
harus dilakukan BPKP ialah "mempersiapkan perumusan
kebijaksanaan pengawasan keuangan dan pengawasan pembangunan."
Bukan langsung mengusut korupsi yang disinyalir ada di suatu
tempat seperti, misalnya, yang dilakukan pihak Opstib.
Agaknya ini boleh ditafsirkan bahwa politik pemerintah dalam
mencegah penyelewengan memang lebih taktis dan lebih matang.
Yang hendak dilakukan ialah menciptakan sistem yang bersih, yang
bisa menutup lubang-lubang kebocoran, dan membuat para
penyeleweng mati kutu dengan sendirinya. Optimistis, mungkin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini