Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bebasnya

Bebas dari inherab nirbaya jakarta ditahan sejak 14 september 1976. ia ditahan dengan tuduhan subversi menginginkan jabatan kepala negara dengan melakukan "perebutan kekuasaan secara spiritual". (nas)

1 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAWITO Kartowibowo, 51 tahun, kembali lelono broto (berkelana sembari prihatin), setelah "bertapa" selama tujuh tahun di inrehab Nirbaya, Jakarta Timur. Selasa petang pekan lalu diam-diam ia keluar dari rumah tahanan itu, hingga para wartawan yang menunggunya sejak pagi kecele. Agaknya, Sawito tak ingin lagi namanya jadi pergunjingan. Mestinya ia sudah bebas seminggu sebelumnya. Sampai Senin sore lalu ia masih sulit ditemui. Rumahnya yang besar dengan pekarangan luas penuh pepohonan di Jalan Tampomas, kawasan elite di Bogor, sudah dijual. Untung, ia masih bisa menumpang tidur di rumah seorang kakaknya di Salemba Tengah VI, Jakarta, atau di rumah saudaranya yang lain di Ragunan, Pasar Minggu. "Bapak punya banyak teman. Kalau mau istirahat atau nunut tidur saja ya menclok sana menclok sini. Pokoknya, di mana saja Bapak bisa tidur," kata Alparin, mahasiswi tingkat III Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan Untag, anak angkat Sawito. Bersama Baron, adik lelakinya yang juga anak angkat Sawito, Alparin dulu sering bezoek ke Nirbaya. Setiap kali bertemu dengan kedua anak angkatnya, Sawito senantiasa berpesan agar mereka tekun belajar. Sebaliknya, ia tak pernah bersedia mengungkapkan persoalan pribadinya, terutama di hadapan anak angkatnya. Di kalangan kawan-kawannya, Sawito memperkenalkan diri sebagai "capres" alias calon presiden. Nama Sawito mendadak mencuat (1976) ketika ia ditangkap dengan tuduhan subversi. Pernah dinobatkan oleh Albert van Gennep - orang Belanda kelahiran Yogya - sebagai "Ratu Adil", Sawito menginginkan jabatan kepala negara dengan melakukan "perebutan kekuasaan secara spiritual". Ia menyusun 4 naskah: Menuju Keselamatan Umum, Mundur untuk Maju Lebih Sempurna, Pernyataan, dan Pemberian Maaf bagi Almarhum Bung Karno. Yang paling seram: Mundur untuk Maju Lebih Sempurna, yang berisi desakan agar Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada Bung Hatta. Dalam hubungan itu pula Sawito menyusun naskah Surat Pelimpahan, sebuah konsep "timbang terima" tugas dan wewenang presiden kepada Bung Hatta. Konon dalam angan-angannya, beberapa bulan setelah Bung Hatta menjadi presiden, Sawitolah yang bakal tampil menggantikannya. Karena "gerakan" itulah, ia ditangkap dan ditahan sejak 14 September 1976. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian memutuskan hukuman 8 tahun penjara (1978), tapi pada tingkat banding Sawito mendapat keringanan setahun. Dalam salah satu sidang, Mr. R. Sudjono, bekas duta besar RI di Swedia yang menjadi salah seorang saksi, mengungkapkan bahwa ia pernah melihat cahaya terang menyinari kepala Sawito yang sedang bersemadi di sebuah gunung. Bersama beberapa orang lainnya, Sudjono pernah ikut berkelana dari gunung ke gunung, dari satu tempat "keramat" ke makam yang lain. Pengalaman spritual itu lantas disusun oleh Sudjono dalam buku berjudul Mission Impossible. Di rumah Sudjono pula - di Desa Pelalangan, Ciawi - Sawito dinobatkan sebagai "Ratu Adil". Sampai minggu lalu Sudjono masih percaya bahwa Sawito adalah "utusan Tuhan untuk menyelamatkan rakyat Indonesia". Tapi karena Sawito terlalu pongah memamerkan ke-aku-annya, kata Sudjono, lenyaplah "wahyu' kepemimpinan itu. "Saya sudah tidak berhubungan lagi dengannya. Dan dia juga tidak akan berani kemari," katanya. Sebelum ditahan, Sawito meyakinkan dalam penampilan. Ia ramah dan mahir memancing simpati. Perawakannya gagah, tinggi badannya 168 cm. Cambangnya lebat. Orang ini luwes tapi juga bersemangat. Cuma kadang-kadang memang rada eksentrik. Pernah mengantungi SIM-B2, kini Sawito sibuk mengurus SIM dan KTP. Dengan bekal surat itulah ia ingin mencari nafkah. "Ia kini jadi lebih langsing," kata Alparin tertawa. Tentu bukan karena harus mendekam selama 7 tahun, tapi terutama lantaran istrinya, yang cantik, minta cerai - sementara Sawito masih "bertapa" di Nirbaya. Nuning Nugrahaningsih yang dikawininya pada 25 September 1966 itu kini menikah dengan Satoto, bekas suami Masnun, penyanyi keroncong terkenal. Mereka tinggal di kawasan Kreten, di pinggir sebelah barat Kota Solo. Nuning, sarjana sospol UGM itu, kini mengajar di UNS, Solo. Meskipun usianya sudah 42 tahun, Nuning yang bertubuh sedang dan berkulit kuning ini masih menampakkan garis-garis kecantikan. Kepada ayah Nuning-lah, Raden Mas Pandji Trisirah, dulu Sawito belajar mendalami kebatinan. Nuning sendiri kini menganggap semuanya telah berlalu. Katanya lewat seorang familinya: "Saya memulai hidup baru."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus