SAWITO Kartowibowo, 51 tahun, kembali lelono broto (berkelana
sembari prihatin), setelah "bertapa" selama tujuh tahun di
inrehab Nirbaya, Jakarta Timur. Selasa petang pekan lalu
diam-diam ia keluar dari rumah tahanan itu, hingga para wartawan
yang menunggunya sejak pagi kecele. Agaknya, Sawito tak ingin
lagi namanya jadi pergunjingan. Mestinya ia sudah bebas seminggu
sebelumnya.
Sampai Senin sore lalu ia masih sulit ditemui. Rumahnya yang
besar dengan pekarangan luas penuh pepohonan di Jalan Tampomas,
kawasan elite di Bogor, sudah dijual. Untung, ia masih bisa
menumpang tidur di rumah seorang kakaknya di Salemba Tengah VI,
Jakarta, atau di rumah saudaranya yang lain di Ragunan, Pasar
Minggu.
"Bapak punya banyak teman. Kalau mau istirahat atau nunut tidur
saja ya menclok sana menclok sini. Pokoknya, di mana saja Bapak
bisa tidur," kata Alparin, mahasiswi tingkat III Fakultas
Ketatanegaraan dan Ketataniagaan Untag, anak angkat Sawito.
Bersama Baron, adik lelakinya yang juga anak angkat Sawito,
Alparin dulu sering bezoek ke Nirbaya.
Setiap kali bertemu dengan kedua anak angkatnya, Sawito
senantiasa berpesan agar mereka tekun belajar. Sebaliknya, ia
tak pernah bersedia mengungkapkan persoalan pribadinya, terutama
di hadapan anak angkatnya.
Di kalangan kawan-kawannya, Sawito memperkenalkan diri sebagai
"capres" alias calon presiden. Nama Sawito mendadak mencuat
(1976) ketika ia ditangkap dengan tuduhan subversi. Pernah
dinobatkan oleh Albert van Gennep - orang Belanda kelahiran
Yogya - sebagai "Ratu Adil", Sawito menginginkan jabatan kepala
negara dengan melakukan "perebutan kekuasaan secara spiritual".
Ia menyusun 4 naskah: Menuju Keselamatan Umum, Mundur untuk Maju
Lebih Sempurna, Pernyataan, dan Pemberian Maaf bagi Almarhum
Bung Karno. Yang paling seram: Mundur untuk Maju Lebih Sempurna,
yang berisi desakan agar Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaan
kepada Bung Hatta.
Dalam hubungan itu pula Sawito menyusun naskah Surat Pelimpahan,
sebuah konsep "timbang terima" tugas dan wewenang presiden
kepada Bung Hatta. Konon dalam angan-angannya, beberapa bulan
setelah Bung Hatta menjadi presiden, Sawitolah yang bakal tampil
menggantikannya. Karena "gerakan" itulah, ia ditangkap dan
ditahan sejak 14 September 1976.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian memutuskan hukuman 8
tahun penjara (1978), tapi pada tingkat banding Sawito mendapat
keringanan setahun. Dalam salah satu sidang, Mr. R. Sudjono,
bekas duta besar RI di Swedia yang menjadi salah seorang saksi,
mengungkapkan bahwa ia pernah melihat cahaya terang menyinari
kepala Sawito yang sedang bersemadi di sebuah gunung.
Bersama beberapa orang lainnya, Sudjono pernah ikut berkelana
dari gunung ke gunung, dari satu tempat "keramat" ke makam yang
lain. Pengalaman spritual itu lantas disusun oleh Sudjono dalam
buku berjudul Mission Impossible. Di rumah Sudjono pula - di
Desa Pelalangan, Ciawi - Sawito dinobatkan sebagai "Ratu Adil".
Sampai minggu lalu Sudjono masih percaya bahwa Sawito adalah
"utusan Tuhan untuk menyelamatkan rakyat Indonesia". Tapi karena
Sawito terlalu pongah memamerkan ke-aku-annya, kata Sudjono,
lenyaplah "wahyu' kepemimpinan itu. "Saya sudah tidak
berhubungan lagi dengannya. Dan dia juga tidak akan berani
kemari," katanya.
Sebelum ditahan, Sawito meyakinkan dalam penampilan. Ia ramah
dan mahir memancing simpati. Perawakannya gagah, tinggi badannya
168 cm. Cambangnya lebat. Orang ini luwes tapi juga
bersemangat. Cuma kadang-kadang memang rada eksentrik.
Pernah mengantungi SIM-B2, kini Sawito sibuk mengurus SIM dan
KTP. Dengan bekal surat itulah ia ingin mencari nafkah. "Ia kini
jadi lebih langsing," kata Alparin tertawa. Tentu bukan karena
harus mendekam selama 7 tahun, tapi terutama lantaran istrinya,
yang cantik, minta cerai - sementara Sawito masih "bertapa" di
Nirbaya.
Nuning Nugrahaningsih yang dikawininya pada 25 September 1966
itu kini menikah dengan Satoto, bekas suami Masnun, penyanyi
keroncong terkenal. Mereka tinggal di kawasan Kreten, di pinggir
sebelah barat Kota Solo.
Nuning, sarjana sospol UGM itu, kini mengajar di UNS, Solo.
Meskipun usianya sudah 42 tahun, Nuning yang bertubuh sedang dan
berkulit kuning ini masih menampakkan garis-garis kecantikan.
Kepada ayah Nuning-lah, Raden Mas Pandji Trisirah, dulu Sawito
belajar mendalami kebatinan. Nuning sendiri kini menganggap
semuanya telah berlalu. Katanya lewat seorang familinya: "Saya
memulai hidup baru."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini