Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat supaya kasus politik uang dalam pemilihan umum atau pemilu ditangani langsung oleh kepolisian. Peneliti kepemiluan dan demokrasi ini menilai kebijakan itu dapat memungkinkan operasi tangkap tangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Titi menyampaikan ide itu saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi II DPR di gedung parlemen, Senayan, pada Rabu, 26 Februari 2025. “Penanganan langsung politik uang oleh polisi juga memungkinkan debirokratisasi penindakan,” kata dia kepada anggota dewan. Selama ini, penindakan politik uang merupakan tanggung jawab Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Titi, cara lain menghapus politik uang dalam kontestasi pemilu maupun pilkada adalah dengan mengesahkan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal atau Uang Tunai. Langkah ini, kata Titi, perlu diambil jika semua pihak ingin serius memotong mata rantai jual beli suara di Pemilu dan Pilkada.
Merujuk pengalaman beberapa kali pemilu dan pilkada ke belakang, termasuk pada 2024, Titi memperhatikan praktik politik uang dilakukan secara langsung. "Karena arena jual beli suara biasanya terjadi dengan politik uang yang bersifat tunai," kata dia.
Titi juga mengusulkan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) untuk terlibat dalam pengawasan dana kampanye. Kemudian, diharapkan juga adanya pengesahan UU Pembatasan Transaksi Uang Tunai. Usulan lainnya ialah penggunaan e-voting. Menurut dia, hal itu dapat membantu pemilih di luar negeri menggunakan hak pilihnya.
Keberadaan uang dalam bentuk dana kampanye menjadi salah satu elemen penting dalam pelaksanaan pilkada. Sebab dana inilah yang akan digunakan untuk menyokong berbagai kegiatan kampanye masing-masing pasangan calon.
Hasil penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) kandidat kepala daerah di 37 provinsi menunjukkan bahwa pemberi sumbangan didominasi oleh paslon, bukan pihak lain seperti pebisnis. Sebanyak 67 dari 103 paslon masih mengandalkan sumbangan dari dirinya sendiri.
Penelusuran yang ICW lakukan pada periode 18-21 November 2024 menunjukkan hanya terdapat 13 dari total 103 kandidat yang sumbangan kampanyenya didominasi oleh individu, sehingga laporan tersebut dinilai tidak jujur. Lebih buruk, para individu pemberi sumbangan tersebut tidak dapat diketahui identitasnya.
DPR tengah mengevaluasi pelaksanaan pemilu 2024. Legislator membuka peluang merevisi UU Pemilu dengan menyatukan undang-undang paket politik lainnya.