Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Vaname, Si Putih dari Situbondo

Balai Budi Daya Air Payau Situbondo memproduksi benih udang vaname, yang lebih unggul daripada spesies di negeri asalnya. Menghidupkan lagi petambak yang gulung tikar.

26 Mei 2014 | 00.00 WIB

Vaname, Si Putih dari Situbondo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

PUKUL tiga sore adalah saat penting bagi Sandy Afrianto, 24 tahun. Inilah waktu yang paling pas untuk mengawinkan induk udang vaname usia enam bulan. Dari lima kolam yang dihuni udang betina, diambilnya 45 ekor untuk dipindahkan ke lima kolam di depannya yang berisi 400-an pejantan.

Empat jam kemudian, Sandy memeriksa udang betina itu satu per satu. Bila terjadi pembuahan, si betina dipindahkan ke bak peneluran. "Biasanya 80 persen pembuahan berhasil," kata karyawan unit maturasi ini di instalasi pembenihan udang Balai Budi Daya Air Payau Situbondo, Selasa pekan lalu.

Instalasi pembenihan udang ini berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, berpusat di Desa Gelung, Kecamatan Panarukan, Situbondo. Tempat yang luasnya 7,2 hektare itu khusus memproduksi induk dan benih unggul, Vaname Nusantara 1 (VN-1). Pusat budi daya bibit ini didirikan untuk mendongkrak produksi udang nasional yang terpuruk sejak awal 2000.

Kepala Sub-Bagian Tata Usaha Balai Budi Daya Air Payau Situbondo, Made Yodriksa, mengatakan vaname (Lithopenaeus vannamei) berasal dari pantai barat Amerika Latin. Udang putih ini dibudidayakan intensif di Hawaii, Amerika Serikat. Indonesia mengenal varietas baru ini pada 2000-an.

Sebelumnya, petambak mengembangkan udang windu, yang hidup di perairan Indonesia. Budi daya windu marak sejak 1980-an dan mencapai puncaknya pada awal 1990-an. Namun 60 persen dari 410 ribu hektare tambak tradisional udang windu terpuruk pada 1997 karena terkena SEMBV (systemic ectodermal and mesodermal baculovirus), yang memicu penyakit bintik putih. "Sebagian besar petambak gulung tikar," kata Made, Senin pekan lalu.

Setelah itu, vaname selundupan masuk pada 1999-2000. Setahun kemudian, pemerintah mengizinkan impor vaname dari Hawaii dan Amerika Latin. Rekayasa pun dilakukan agar tak tergantung impor. Tugas itu dipikul BBAP sejak 2003 dengan melibatkan Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Brawijaya. Menurut pengarah budi daya udang Muhammad Affandi, vaname memiliki beberapa keunggulan dibanding windu, seperti lebih cepat panen dan lebih tahan penyakit.

Riset berjalan enam tahun dengan hasil 240 ribu ekor induk udang VN-1. Menurut Gemi Tri Astuti, 40 tahun, koordinator instalasi pembenihan udang di Desa Gelung, vaname Nusantara tidak dihasilkan sekali jadi. Beberapa kali persilangan dilakukan untuk mendapatkan kualitas benih yang lebih baik.

Menurut Gemi, harga induk VN-1 produksi BBAP cukup murah dibanding impor, yang bisa mencapai Rp 1-2 juta per pasang. Dengan begitu, VN-1 menjadi alternatif yang bisa dijangkau oleh petambak bermodal kecil. "Induk impor hanya bisa diakses petambak besar dan rawan monopoli," kata alumnus Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor ini.

Awalnya tak mudah meyakinkan perusahaan agar beralih ke VN-1. Pada 2009, indukan yang terserap masih di bawah 30 ribu ekor. Budi daya VN-1 mulai menjadi primadona sejak 2012, setelah tambak vaname di Thailand, Malaysia, dan Vietnam diserang sindrom kematian dini, sehingga produksi vaname dunia anjlok.

Udang vaname Indonesia, yang aman dari penyakit itu, naik daun. Vaname ukuran 50 (isi 50 ekor dalam 1 kilogram) dihargai Rp 70-100 ribu per kilogram, dari sebelumnya sekitar Rp 50 ribu. Harga ini menguntungkan petambak. Biaya produksi vaname Rp 40 ribu per kilogram. Petambak bisa menghasilkan 15-20 ton per hektare.

Kini permintaan induk VN-1 meningkat hingga 50 ribu setahun. Induk VN-1 terserap hampir ke semua kota di Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Aceh, Medan, Lampung, Makassar, Palu, dan Gorontalo. Tambak udang yang terbengkalai setelah budi daya windu kini aktif kembali. VN-1 diserap tambak tradisional dan semi-intensif. Sayangnya, BBAP tak bisa memenuhi seluruh permintaan indukan yang total kebutuhannya mencapai 2,7 juta karena kapasitas instalasi yang terbatas. Karena itu impor vaname tetap tinggi.

Pada 2015, BBAP akan merilis VN-2, yang berasal dari VN-1 generasi ketiga. VN-2 lebih unggul, lebih tahan penyakit, cepat besar, dan adaptif terhadap perubahan lingkungan. "Penelitiannya sudah 75 persen," kata Gemi.

Edi Susanto, pemilik PT Bathcery Jaya Ujung Indah, yang berpusat di Makassar, tertarik pada VN-1 setelah mendapat bantuan 400 pasang induk dari Kementerian Kelautan pada 2008. Karena kualitasnya bagus dan murah, sejak 2011 dia membeli langsung seribu indukan dari BBAP Rp 25 juta. "Kalau beli impor, bisa habis Rp 1 miliar lebih," kata Edi.

Dari indukan itu, Edi menghasilkan 2 juta benur per hari, yang diserap petambak Maluku dan Gorontalo Rp 30-32 per ekor. VN-1, kata dia, menghidupkan usaha petambak yang sebelumnya gulung tikar.

Para petambak kecil tradisional dan semi-intensif kini bergairah kembali. Nur Mukit, 32 tahun, petambak Desa Wringinputih, Banyuwangi, membudidayakan VN-1 sejak 2010 dengan modal Rp 40 juta. Dalam satu siklus dia membeli 100 ribu benur yang ditebarnya di satu kolam semi-intensif. Pada hari ke-60, ia memanen udang dengan ukuran 70 sebanyak 1 ton. Vaname dijualnya ke tengkulak Rp 50 ribu per kilogram. "Dikurangi biaya produksi, saya bisa untung Rp 10 juta," kata Mukit.

Mukit membudidayakan windu pada 2002. Namun, karena pertumbuhan yang lama, dia beralih ke vaname. Mulanya dia menggunakan vaname impor yang dibeli dari Lampung Rp 70 per ekor. Sejak ada VN-1, benih dibeli dari perusahaan di Banyuwangi. Langkah Mukit ditiru petambak lain di desanya. Kini di kampungnya ada sembilan petambak VN-1 dengan 16 kolam.

Anang Kurniawan, penyelia PT Panca Mitra Multi Perdana, perusahaan pembekuan udang di Situbondo, mengatakan pasar ekspor vaname cukup besar. PT Panca mengekspor vaname 5.000-6.000 ribu ton per bulan ke Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Perusahaannya mendapatkan vaname dari hampir semua petambak di Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Bali.

Vaname yang diekspor berukuran 40, harganya Rp 88 ribu dari pemasok. Di Amerika, PT Panca menjualnya Rp 110-120 ribu per kilogram. Menurut Anang, krisis udang di Thailand dan Vietnam sangat menguntungkan Indonesia. Sebelum kedua negara itu terpuruk, perusahaannya hanya mengekspor kurang dari 4.000 ton per bulan. "Thailand sekarang mengambil udang dari kami."

Menurut Anang, petambak udang bergairah kembali dalam setahun terakhir. Rival berat Indonesia kini hanya India. Saat India panen raya seperti Mei ini, pasar Eropa beralih ke negara itu karena harganya lebih murah. "Kalau India sepi, harga udang bisa meroket lebih dari Rp 150 ribu per kilogram."

Direktur Jenderal Budi Daya Perikanan Slamet Subijakto mengatakan target vaname Indonesia tahun ini 511 ribu ton, meningkat dari 480 ribu ton pada 2013. Untuk mencapai target itu dibutuhkan induk 2,6 juta.

Slamet mengakui 85 persen induk vaname Indonesia masih impor dan sisanya dihasilkan BBAP dan induk lokal. Kementerian akan memperbesar kapasitas pembenihan di BBAP Situbondo serta membangun pusat pembesaran naupli di daerah lain. "Kami tak ingin terus-menerus bergantung pada impor."

Selain memproduksi benih sendiri, sejak 2012 pemerintah telah merevitalisasi 130 ribu tambak di Pulau Jawa yang sebelumnya menganggur, dengan anggaran sekitar Rp 99 miliar. Kementerian Pekerjaan Umum diikutsertakan dalam proyek ini untuk memperbaiki saluran air dan fasilitas lainnya.

Endri Kurniawati, Ika Ningtyas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus