Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Duit Merah-Biru dari Perkutut Putih

Rumus penangkaran untuk anakan perkutut putih ditemukan. Pasar perkutut lokal jenis ini tak pernah surut.

26 Mei 2014 | 00.00 WIB

Duit Merah-Biru dari Perkutut Putih
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Wayahe wis lingsir wengi/Perkutute arso
muni/Neng plangkringan/.
Anggunge memanas ati/ hur ketekung...,
kung..., kung.../ Hur ketekung..., kung..., kung...

Sejak zaman baheula, burung perkutut dikenal dengan anggung alias kicaunya yang merdu. Tak aneh jika seniman Keraton Yogyakarta, Nyi Tjondrolukito (1920-1997), tertarik menciptakan lagu Jineman Kutut Manggung, yang melegenda. Hur ketekung..., kung..., kung....

Selain karena kicauannya, perkutut banyak diburu karena bulunya tak melulu kombinasi cokelat dan abu-abu. Di kalangan penggemar burung yang bernama Latin Geopelia striata ini tersedia pilihan warna bulu putih, krem, perak, dan hitam. Laiknya kelangenan atau kegemaran tampil beda, harga perkutut ini lebih tinggi dibanding yang jenis biasa. Itu sebabnya banyak orang tertarik menangkarkan perkutut agar didapat anakan atau piyik perkutut putih, krem, dan sebagainya.

Semangat itu pula yang dimiliki Bagya, warga Sambirobyong, Kecamatan Geneng, Ngawi. Saat ini pria kelahiran 8 Desember 1972 itu memiliki 600 pasang indukan perkutut dengan berbagai warna. Saban bulan, dari indukan itu, setidaknya ia bisa menjual 150 piyik. Rinciannya, 100 ekor dengan bulu cokelat keabu-abuan dan krem serta 50 ekor berbulu putih. Harga jual piyik perkutut putih Rp 250 ribu per ekor, sedangkan piyik warna lain Rp 50 ribu. Ratusan piyik itu dipelihara Bagya dalam kandang di sisi selatan rumahnya.

Dari penangkarannya, bapak dua anak itu sempat pula mendapatkan 5-10 piyik perkutut keperakan dengan harga jual lebih joss, yakni Rp 500 ribu per ekor. Namun, dua bulan lalu, 64 indukan perkutut silver dan putih dia jual kepada tengkulak asal Surabaya dengan harga Rp 150 juta per ekor. Alasannya, Bagya butuh duit untuk membeli tanah. Toh, tanpa piyikan silver, dalam sebulan ia tetap bisa mengantongi duit puluhan juta.

"Awalnya, pada 1997, saya hanya memiliki dua pasang indukan," kata Bagya saat ditemui Tempo di rumahnya, Senin pekan lalu. Burung dengan bulu keabu-abuan dan putih itu dibeli dari temannya di Desa Tempuran, Kecamatan Paron, Ngawi. Usianya sekitar dua bulan. Harga per pasang kala itu Rp 450 ribu.

Bermodal dua pasang indukan, Bagya melakukan perkawinan silang agar didapat banyak anakan perkutut putih. Berselang delapan bulan kemudian, indukan betina bertelur untuk pertama kalinya. Setelah dierami, keluarlah anakan dengan bulu cokelat kehitaman.

Bagya sumringah melihat perkututnya telah memiliki keturunan. Ia semakin percaya diri melakukan penangkaran agar didapat perkutut putih. Usahanya tak sia-sia. Pada generasi ketiga, keempat, dan keenam muncul perkutut putih. Jumlah indukannya pun terus berkembang, dari semula hanya dua pasang menjadi 15, 80, hingga 600 pasang.

Dengan jumlah indukan yang semakin banyak, warna bulu piyik yang dihasilkan juga beragam, nano-nano! Itu tadi, selain putih dan cokelat keabu-abuan, muncul piyik berbulu krem dan silver. Setelah sekian kali otak-atik pasangan perkutut, Bagya kian memahami teknik menangkarkan burung agar memiliki warna bulu yang diinginkan.

Berdasarkan percobaan yang dia lakukan secara otodidak, anakan perkutut putih lebih sering muncul dari perkawinan antara indukan jantan putih dan betina keperakan. Bila persilangan pejantan silver dengan betina putih, harapan memperoleh piyik putih sekitar 70 persen. "Asal pejantannya generasi ketiga dari indukan silver yang menghasilkan anak putih, anaknya akan keluar putih," kata Bagya.

Sulit dimungkiri, untuk bisa menghasilkan piyik putih, ia memang harus memahami riwayat keturunan burung yang ditangkarkan. Meski begitu, proses kawin silang yang dilakukan tidak selalu membuahkan hasil yang sesuai dengan harapan.

Seperti biduk rumah tangga manusia, indukan yang sudah berulang kali menghasilkan telur dan anakan dari perkawinannya, pasangan ini kerap tak cocok jua. Cirinya Bagya sudah hafal betul, yakni pasangan ini sering berantem di sangkar. Kalau sudah begini, jalan satu-satunya, perkutut itu harus ditalak atawa dipisahkan.

Untuk menghasilkan kualitas perkutut yang bagus, Bagya selalu memberikan makanan dan multivitamin terpilih. Bahan makanan yang dia racik sendiri terdiri atas milet putih, milet merah, biji-bijian juwawut, ketan hitam, beras merah, lalu dicampur dengan air kencur. Multivitamin seperti B kompleks tak ketinggalan.

Soal pemasaran piyik, Bagya tak perlu repot. Tengkulak dari Ngawi, Madiun, Yogyakarta, Banjarmasin, dan daerah lain siap menerima piyiknya. Jika jaraknya dekat, seperti Ngawi dan Madiun, Bagya akan mengantarnya sendiri dengan sepeda motor. Untuk pengiriman ke luar kota atau luar pulau, ia memanfaatkan jaringan pengepul lokal sehingga bisa dikirimkan bareng. Ada kalanya pembeli dari jauh datang sendiri ke rumah Bagya.

Dari usaha yang digelutinya, ekonomi Bagya terbilang mapan. Selain dia bisa membeli berpetak-petak tanah, rumahnya dibangun mentereng. "Untuk membangun rumah ini, saya habis setengah miliar," katanya.

Duit dari penangkaran piyiknya lebih banyak ditabung untuk mempersiapkan pendidikan dua putrinya, Clarita Cindy Pitaloka dan Melda Desita Sari. Kini Cindy masih duduk di kelas II SMP, sedangkan Desita masih kelas III SD. Bagya mengaku belum ingin membeli mobil karena merasa belum membutuhkan.

Gurihnya menangkarkan perkutut putih juga dinikmati Jarot Setiyono, juga warga Dusun Sambirobyong. Pria 28 tahun ini getol menyilangkan beragam perkutut dengan warna bulu udan mas, yaitu krem atau cokelat muda, silver, dan putih. Dalam sebulan, piyik yang dihasilkan bisa mencapai 100 ekor. Piyik itu didapat dari hasil persilangan 100 pasang indukan milikinya.

"Menangkarkan burung perkutut lebih menguntungkan," kata Jarot, yang selama delapan tahun sebelumnya menggeluti burung murai. Lantaran pangsa pasar murai dinilai kurang menjanjikan, 14 pasang indukan murai dia jual dua bulan lalu. Selain digunakan untuk memperbaiki kandang perkutut, uangnya dibelikan tanah agar area penangkaran perkututnya lebih luas. Meski ada 15 warga Geneng yang menangkarkan perkutut putih, Jarot tak khawatir usahanya redup. "Pasar masih terbuka luas, permintaan tengkulak belum bisa kami penuhi," kata lajang ini.

Kenapa perkutut putih, juga warna lain yang bukan cokelat keabu-abuan, begitu diminati? "Warnanya berbeda dengan yang biasa. Pokoknya lainlah," kata Subrojo, salah satu penggemar. Kini pria 38 tahun ini memiliki empat ekor perkutut putih, dua pasang silver, dan seekor berbulu krem.

Warga Carikan, Bendo, Magetan, ini mengaku menyukai perkutut putih sejak lima tahun lalu. Salah satu penangkar yang menjadi tujuannya, ya, Bagya di Ngawi itu. Meski menyukai perkutut putih, krem, atau silver, toh jika ada yang berminat ia rela melepasnya. Lumayan, dari harga beli seekor piyik Rp 250 ribu, ia bisa mengambil untung selembar atau dua lembar uang merah (Rp 100 ribu) atau beberapa uang biru (Rp 50 ribu).

Sikap Ahmed Cahyanto, penggemar perkutut putih asal Mantren, Karangrejo, Magetan, sami mawon. Meski menyukai perkututnya, jika ada yang berminat membeli, ya, dilepas. Mosok, menolak rezeki, sih? Menimbang bahwa pangsa pasar perkutut non-putih masih besar, pria 29 tahun ini pun terjun dan menekuni penangkaran perkutut.

"Itung-itung ikut melestarikan perkutut lokal," kata Ahmed. Anggung perkutut putih memang tidak semerdu perkutut Bangkok, tapi perkutut jenis ini menang dari warna bulunya. Menurut dia, suara perkutut putih standar saja, tapi tetap menghibur. Hur ketekung..., kung..., kung.... Hur ketekung..., kung..., kung....

Dwi Wiyana, Nofika Dian Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus