Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Waka Komisi II DPR Berharap Negara Bantu Dana Kampanye Parpol, Ini Kata Pakar Politik Unpad

Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin berpendapat, untuk mereformasi pemilu, sanksi untuk politik uang bukan lagi pidana, tetapi diskualifik

11 Desember 2024 | 10.27 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat 15 November 2024. ANTARA/HO-KWP

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin berharap negara dapat lebih banyak membantu dana kampanye pada pemilihan umum dan keuangan partai politik. Dia menuturkan itu merupakan salah satu upaya menjadikan parpol sebagai organ publik. Dengan demikian, tidak ada lagi parpol milik perseorangan atau identik dengan perusahaan swasta tertentu.

Dengan pembiayaan yang berasal dari negara, Zulfikar mengatakan parpol dapat menjadi organ publik yang benar-benar dibiayai oleh publik.

“Karena kita ingin menempatkan, bahwa ke depan, partai itu benar-benar organ publik, maka publik harus ikut membiayai lebih banyak,” kata Zulfikar dalam webinar bertajuk ‘Agenda Reformasi Sistem Pemilu di Indonesia’ dipantau dari Jakarta, Senin, 9 Desember 2024.

Dalam rangka mereformasi pemilu, Zulfikar juga berpendapat sanksi untuk politik uang bukan lagi pidana, melainkan diskualifikasi. Apabila seorang peserta pemilu terbukti melakukan politik uang, maka calon tersebut sebaiknya langsung didiskualifikasi.

“Jangan lagi ini menjadi ranah pidana, tetapi ranah etik. Siapa pun dia, satu saja (terbukti), langsung didiskualifikasi calon itu,” ucapnya.

Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo menyoroti politik berbiaya tinggi di Indonesia yang rentan memicu korupsi dalam kaitannya dengan pemilihan langsung di Tanah Air saat uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 18 November lalu.

Sebab, kata dia, peserta pemilu membutuhkan biaya tinggi untuk dapat ikut berkontestasi. Maka, ketika terpilih, terkadang menghalalkan segala cara untuk mengembalikan kembali biaya yang telah mereka keluarkan.

Berdasarkan data KPK pada 2004 hingga 2023, sebanyak 161 bupati/wali kota, 24 gubernur, serta 344 anggota DPR/DPRD terjerat kasus korupsi. Hasil kajian KPK juga menyebutkan, untuk menjadi bupati atau wali kota, dibutuhkan biaya setidak-tidaknya Rp 50-100 miliar. Biaya politik tinggi juga dikeluarkan para calon anggota legislatif untuk ikut pemilu.

Pakar sebut harus ada transparansi bila dana kampanye dibantu negara

Menanggapi pernyataan Zulfikar Arse, pakar Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Yusa Djuyandi, memandang perlu transparansi bila dana kampanye pemilu dibantu oleh negara. 

“Memang sebaiknya dana kampanye dibantu oleh negara, tetapi setiap caleg atau pasangan calon harus transparan kalau ada sumbangan dana dari publik atau donatur,” kata Yusa saat dihubungi dari Jakarta, Selasa, 10 Desember 2024.

Dia mengingatkan perlunya transparansi karena mempertimbangkan selama ini masih terdapat beberapa caleg atau paslon yang belum transparan dalam melaporkan keuangan dana kampanyenya. Selain itu, kata dia, perlunya peserta pemilu didiskualifikasi apabila memakai politik uang, terutama bila dana kampanye dibantu oleh negara.

“Sebaiknya, kalau terbukti menggunakan politik uang, ada diskualifikasi karena itu merusak demokrasi dan mengancam kebijakan yang berbasis pada good governance (tata pemerintahan yang baik),” ujarnya.

ANTARA

Pilihan editor: Momen Cagub Malut Terpilih Sherly Tjoanda Belajar kepada Khofifah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus