DIAM-diam Menteri Tenaga Kerja Sudomo punya gagasan baru. Kamis
pekan lalu, seusai menemui Presiden Soeharto di Bina Graha, ia
mengumumkan: Pemerintah tidak akan menggunakan lagi istilah
"buruh". Istilah ini, menurut menteri TK itu, menimbulkan kesan
"penindasan", sehingga kalau terjadi persoalan mereka akan
menentang pengusaha maupun pemerintah.
Alasan lain: "Selain itu istilah buruh juga tidak ada dalam UUD
1945," kata Sudomo. Istilah pengganti yang akan dipakai adalah
"karyawan" atau "tenaga kerja". Istilah serikat buruh diganti
serikat pekerja sedang Hubungan Perburuhan Pancasila diubah
menjadi Hubungan Industrial. Federasi Buruh Seluruh Indonesia
(FBSI), kata Sudomo, dengan kesadaran sendiri telah menyatakan
bahwa dalam kongres mereka yang mendatang akan mengubah namanya.
Istilah buruh memang tidak terdapat dalam UUD 1945, seperti juga
banyak istilah lain seperti pemilihan umum, wartawan, seniman
atau karyawan. Dalam penjelasan UUD mengenai pasal 2 hanya
tercantum istilah "serikat sekerja" sebagai contoh badan yang
termasuk "golongan" yang ikut mempunyai wakil dalam MPR.
Menurut Prof. Dr. Amran Halim, kepala Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa (Pusat Bahasa) Departemen P8K, istilah
buruh lebih menggambarkan jenis kerja jasmaniah - dalam bahasa
asing disamakan dengan blue collar. Jenis kerja lain yang tidak
terlalu bersifat jasmani dikatakan sebagai pegawai (white
collar). Secara keseluruhan keduanya disebut karyawan atau
tenaga kerja.
Buat Amran Halim, pergantian itu bukan masalah. "Kalau istilah
buruh memang mau diubah, ya silakan. Bagi Pusat Bahasa yang
penting istilah baru itu tidak bertentangan dengan kaidah bahasa
Indonesia," katanya pekan lalu.
Namun gagasan Sudomo bisa jadi sullt terlaksana. "Istilah buruh
telah dikukuhkan dalam Sidang Umum MPR 1983 serta telah
dibakukan dalam GBHN," kata Wakil Sekjen FBSI Abdy S.
Kusumanegara yang juga anggota MPR dari F-PP. Hingga ia
berpendapat ide penghapusan istilah buruh dan serikat buruh itU
"inkonstitusional".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini