Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kenangan ahli ekonomi

Wall street, 24 okt 1929, saat yang sampai kini dikenang ahli sejarah ekonomi. awal periode zaman maleise atau depresi. pasar modal di new york, pusat kapitalisme as diserbu orang untuk menjual saham.

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WALL Street, 24 Oktober 1929, adalah saat yang sampai kini dikenang ahli sejarah ekonomi. Hari itu orang panik. Pasar modal di New York, pusat kapitalisme Amerika itu, bagaikan diseruduk air terjun Niagara: orang-orang menyerbu menJual saham mereka. Di dalam gedung Stock Excellange itu kegaduhan bukan main. Di luarnya orang juga pada bergerombol, ingin tahu apa yang tengah terjadi. Mungkin kapitalisme sedang runtuh, mungkin juga orang sedang berkelahi untuk tidak tertipu para broker saham dari perusahaan-perusahaan yang patgulipat. Yang jelas, sejenis putus asa berkecamuk. Tak heran bila orang setengah berharap setengah ngeri waktu menyaksikan ada seorang laki-laki muncul di pucuk sebuah gedung tinggi. Dia mau bunuh diri, bisik terdengar di kerumunan itu. Ternyata lelaki itu cuma tukang yang mau memperbaiki talang. Tapi bunuh diri memang bukan kemustahilan di hari seperti itu. Lelucon terdengar sadis: jika tuan beli saham Goldman Sachs - perusahaan yang beroperasi menanam modal di perusahaan lain - tuan akan dapat bonus sebuah revolver. Kalau ada orang mau sewa kamar hotel, resepsionis akan bertanya, "Buat tidur atau buat loncat ke luar jendela?" Sejarah perekonomian tak henti-hentinya menganalisa apa sebenarnya yang terjadi di tahun 1929 itu - awal dari periode yang kemudian termasyhur dengan sebutan "Zaman Maleise" atau Depresi. Sebab tak banyak orang yang menyangka bahwa Amerika Serikat, raja perekonomian dunia itu, akan ambyar begitu saja di akhir sebuah dasawarsa yang penuh warna. Memasuki 1929, memang tak ada tanda buruk di dataran ekonomi. Hampir seluruh tenaga kerja dapat lowongan. Penghasilan per jam meningkat lebih 100% dari beberapa belas tahun sebelumnya, sementara harga barang hanya merayap pelan naiknya. Di saat itulah dikampanyekan cara bagaimana menjadi kaya - yakni dengan membeli saham di pasar modal. Dan Presiden Hoover berpidato, bahwa "kita akan segera menyaksikan, Insya Allah, hari ketika kemiskinan hapus dari bangsa ini". Namun ternyata optimisme bisa terlampau mudah. Dalam waktu empat tahun setelah hari yang mengejutkan itu, di tahun 1933 GNP Amerika merosot hampir 100%. Pengangguran berlipat delapan kali. Di negara bagian Kentucky para buruh tambang menelan jelai yang biasanya buat ternak. Di Virginia Barat, orang mulai merampok untuk tidak kelaparan. Di California, seorang anak mati, tak dapat makan. Tapi mestikah segala harapan dikubur? Jawabannya diperoleh di masa lalu. "Dunia telah jadi tua dan telah kehilangan semangatnya yang dulu... gunung-gunung telah dikuras dan lebih sedikit pualam yang dihasilkan, tambang telah kering dan kurang pula emas serta peraknya". Kata-kata itu bukan dari para perumus makalah yang disebut Batas-batas Pertumbuhan di tahun 70-an, melainkan dari seorang alim 1.700 tahun yang lalu. Dengan kata lain, tiap kali orang cemas, tapi tiap kali manusia bisa membangun kembali hidupnya. Sejarah telah mencatat itu - meskipun sejarah juga mencatat, bahwa dalam membangun kembali hidup, menghadapi berjubelnya masalah, tak ada pemecahan yang permanen, tak ada solusi yang tuntas. Di tengah Depresi muncul John Maynard Keynes. Ia dianggap ahli ekonomi yang bisa mengatur kapitalisme hingga kembali sehat. John Kenneth Galbraith, seorang yang pernah dituduh sebagai Putra Mahkota Keynesisme di Harvard (dan bangga karena itu), toh kemudian menulis: "Abad Keynes ada buat suatu masa, tapi tidak untuk sepanjang masa". Barangkali karena Galbraith teramat pandai bicara dan pandai mencemooh. Barangkali karena dia sangat terdidik, dan seperti dikatakannya dalam The Age of Uncertainty, orang yang terdidik percaya bahwa "lebih aman untuk tidak merenungkan kembali prestasinya". Tapi ia toh benar ketika mengatakan bahwa kehidupan sosial adalah suatu proses yang terus-menerus. "Begitu satu soal terpecahkan, soal-soal lain muncul, sering datangnya dari pemecahan yang terdahulu itu sendiri. Kebiasaan kita ialah untuk meminta solusi. Tapi pemecahan yang terbagus hanya akan bersifat sementara..." Tak ada zaman yang sempurna, memang. Tapi bila karena itu kita bisa memaafkan suatu keadaan, kita juga harus bisa memperoleh alternatif lain di samping cara yang sudah ada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus