SEKITAR dua bulan setelah huru-hara rasial Ja-Teng (November
1980), Pangkostrad Mayjen Ismail dikirim ke Ja-Teng dengan
jabatan sebagai Pangdam VII/Diponegoro. Tugasnya: membenahi dan
mengkonsolidasikan akibat peristiwa SARA tersebut.
"Alahamdulillah, saya berhasil mengemban tugas itu," kata
Ismail.
Ia tidak lama menjabat sebagai Pangdam. Rakyat Ja-Teng melalui
DPRD memilih Letjen Ismail sebagai Gubernur menggantikan
Soepardjo Roestam, kini Mendagri. Senin lalu Ismail, 55 tahun,
dilantik sebagai Penjabat Gubernur Ja-Teng.
Ribuan mata hadirin yang memenuhi Gedung Olah Raga Semarang yang
gerah dan panas, hari itu menatap Mendagn Soepardjo Roestam yang
empat kali naik turun mimbar mengucapkan sambutan atau laporan
pertanggungjawaban sebagai Gubernur Ja-Teng atau sebagai
Mendagri, "Pesan saya: Bismillah, saya percayakan kepada Ismail
untuk memimpin Jawa Tengah," kata Soepardjo Roestam pada TEMPO
seusai pelantikan. Ia mengharap penggantinya itu bisa meneruskan
apa yang telah dikerjakannya selama ini. Ja-Teng, menurut
Soepardjo, dihimpit oleh raksasa Ja-Bar dan Ja-Tim yang besar
sekali potensinya. Soal terbesar buat Ja-Teng adalah ledakan
penduduk. "Karena itu masalahnya adalah bagaimana dengan situasi
dan kondisi itu, provinsi ini bisa membangun," kata Soepardjo.
Luas wilayah Ja-Teng hanya 34.602 km2 (1,78% luas Indonesia)
tapi dihuni 25 juta penduduk (17,20% penduduk Indonesia). Karena
itu provinsi ini juga dikenal sebagai "penghasil" transmigran
terbesar di Indonesia. Sekitar 80% penduduknya tinggal di 4.680
desa. Maka Ismail bertekad: "Kalau mau membangun mulailah dari
desa, baru kemudian ke kota."
Ismail menguasai bahasa Belanda, Jerman dan Inggris. Ia dikenal
menyukai bermacam olahraga: tenis, bilyar, berenang, golf, voli
dan pencak silat. Tentang olahraga terakhir ini, jenderal
berbintang tiga yang seharinya mengisap 3 bungkus rokok ini
berkomentar, "Saya berkiblat pada bumi sendiri, bukan
ajinomoto".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini