Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kali ini bukan OPM

Timbul masalah perbatasan antara Indonesia dan papua nugini, Indonesia dituduh membangun jalan raya yang melintasi wilayah PNG. (nas)

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMBALI timbul masalah perbatasan antara Dubes RI dan Papua Nugini, namun penyebabnya kali ini bukan POM (Organisasi Papua Merdeka). Senin pekan lalu RI di PNG Imam Soepomo dipanggil Deplu PNG di Port Moresby. Sekjen Deplu PNG Paulias Matane memberi tahu Soepomo bahwa jalan raya yang dibangun Indonesia di utara Merauke, telah melintasi wilayah PNG. Menurut Matane, pelanggaran perbatasan itu terbukti dari foto udara yang dibuat Badan Pemetaan Nasional PNG dengan helikopter pada 31 Maret-4 April lalu. Dubes Soepomo diminta menghubungi Jakarta untuk meminta penjelasan. Pemberitahuan lisan itu kemudian disusul dengan suatu nota diplomatik. Pemerintah PNG meminta pihak Indonesia untuk sementara menghentikan pembangunan jalan tersebut dan menutup dua titik tempat pelanggaran terjadi sampai persoalan ini dlbereskan. Menurut sumber TEMPO di Port Moresby, pembangunan jalan raya yang dimulai 2 tahun lalu itu melintasi wilayah PNG di dua titik, masing-masing sepanjang 3,5 km sekitar 60 km sebelah utara Merauke ke arah Tanah Merah. Di dua titik ini, terletak di antara Sungai Wanggeo dan Sungai Bensbach sebelah utara Sotar, jalan raya ini "memasuki" wilayah PNG sejauh 0,5 km dan 1,5 km. Tanggapan berbagai pihak di PNG mengenai masalah Ini pada umumnya keras. Perry Zeiti, anggota parlemen mewakili South Fly - daerah tempat 'pelanggaran' terjadi - menyatakan "sangat prihatin, dan mendesak pemerintah agar menanggapinya secara serlus." Beberapa media massa PNG mendesak pemerintahnya untuk melancarkan protes keras kepada RI. Salah satu koran malahan menganggap pelintasan tersebut bukan kesalahan tak disengaja pihak kontraktor jalan, tapi "awal dari suatu rencana untuk menyerbu PNG". Sikap pemerintah PNG sendiri tampak sangat hati-hati. Menlu Rabbie Namaliu pada pers pekan lalu menyatakan, jika tidak ada penyelesaian di tingkat diplomatik, baru masalah ini akan dibawa ke tingkat politik dengan rekannya Menlu Mochtar Kusumaatmadja. Wakil PM Paias Wingto sekalipun menyatakan gusar terhadap kasus tersebut menambahkan: terlalu pagi untuk langsung menyalahkan pemerintah Indonesia. "Saya tahu jalan itu dibangun di daerah yang sangat terpencil. Adalah sangat sulit untuk mengetahui apakah Anda berada di sisi perbatasan yang benar karena tanda perbatasan jarang kelihatan," ujarnya. Pekan lalu Panglima Angkatan Darat PNG Brigjen Gago Mamai mengungkapkan pada pers, suatu patroli berkekuatan 35 orang tentara telah dikirim ke daerah itu untuk memeriksa pembangunan jalan tersebut. Sumber TEMPO di KBRI Port Moresby membantah kesan seolah-olah telah terjadi "insiden perbatasan" antara RI dan PNG. "Memang telah terjadi masalah yang bersumber pada persoalan teknis, yakni pemetaan dan pengukuran medan, namun diharapkan masalah ini dapat segera diselesaikan dengan kerja sama tim teknis kedua pihak," kata sumber itu. Sumber tersebut juga menjelaskan, pemerintah Indonesia memang tengah membangun jalan yang menghubungkan Merauke Bupul-Tanah Merah sepanjang 250 km yang merupakan bagian dari jalan Trans Irian dan direncanakan akan selesai dalam 2l/2 tahun. Berita ini telah dimuat juga dalam Indonesian Newsletter terbitan 1981, dan diedarkan pada semua instansi, termasuk pers, di Port Moresby. Menurut data statistik 1980/81, Irian Jaya memiliki jalan provinsi sepanjang 1.072 km (hanya 177 km yang diaspal) dan 1.840 jalan kabupaten (501 km aspal). Dalam Pelita III Maluku dan Ir-Ja memperoleh jatah pembangunan jalan kabupaten sepanjang 1.300 km. Merauke, kabupaten yang terluas di Ir-Ja, pada 1982/83 memperoleh dana Inpres prasarana jalan Rp 373 milyar. Pembangunan ini diharapkan akan leblh membuka daerah tersebut terutama untuk mengembangkannya sebagai daerah transmigrasi. Menanggapi tuduhan pelanggaran itu, Menlu Mochtar Kusumaatmadja pekan lalu menyatakan pemerintah RI kini tengah menyelidlkinya. Kemungkinan terjadinya pelanggaran, menurut Mochtar, bisa saja terjadi karena sepanjang 850 km perbatasan yang berhutan lebat itu hanya ada 14 tanda. Untuk mengetahui benar tidaknya tuduhan ini perlu diadakan pemeriksaan di lapangan. Sebelum kasus ini, masalah perbatasan yang timbul seluruhnya berkisar pada gerombolan OPM yang selalu lari melintasi perbatasan menuju PNG setiap kali dikejar pasukan Indonesia. Sikap pemerintah PNG di bawah PM Michael Somare terhadap OPM tegas. Menlu Namaliu pekan lalu kembali menegaskan "PNG tidak mengakui OPM dan tidak mengizinkan mereka mempergunakan wilayah PNG untuk melakukan gerakan separatis. Semua perbedaan antara Indonesia dan PNG harus diselesaikan dengan cara diplomatik." Menilik itu banyak yang berharap masalah ini akan bisa diselesaikan dalam pertemuan komite perbatasan kedua negara (Joint Border Committee) di Merauke 19-21 April ini. Sebelumnya suatu tim dipimpin Ketua Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Mayjen Pranoto Asmoro akhir pekan lalu tiba di Jayapura untuk menyelidiki tuduhan pelanggaran tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus