KEMBALI timbul masalah perbatasan antara Dubes RI dan Papua
Nugini, namun penyebabnya kali ini bukan POM (Organisasi Papua
Merdeka). Senin pekan lalu RI di PNG Imam Soepomo dipanggil
Deplu PNG di Port Moresby. Sekjen Deplu PNG Paulias Matane
memberi tahu Soepomo bahwa jalan raya yang dibangun Indonesia di
utara Merauke, telah melintasi wilayah PNG.
Menurut Matane, pelanggaran perbatasan itu terbukti dari foto
udara yang dibuat Badan Pemetaan Nasional PNG dengan helikopter
pada 31 Maret-4 April lalu. Dubes Soepomo diminta menghubungi
Jakarta untuk meminta penjelasan. Pemberitahuan lisan itu
kemudian disusul dengan suatu nota diplomatik. Pemerintah PNG
meminta pihak Indonesia untuk sementara menghentikan pembangunan
jalan tersebut dan menutup dua titik tempat pelanggaran terjadi
sampai persoalan ini dlbereskan.
Menurut sumber TEMPO di Port Moresby, pembangunan jalan raya
yang dimulai 2 tahun lalu itu melintasi wilayah PNG di dua
titik, masing-masing sepanjang 3,5 km sekitar 60 km sebelah
utara Merauke ke arah Tanah Merah. Di dua titik ini, terletak di
antara Sungai Wanggeo dan Sungai Bensbach sebelah utara Sotar,
jalan raya ini "memasuki" wilayah PNG sejauh 0,5 km dan 1,5 km.
Tanggapan berbagai pihak di PNG mengenai masalah Ini pada
umumnya keras. Perry Zeiti, anggota parlemen mewakili South Fly
- daerah tempat 'pelanggaran' terjadi - menyatakan "sangat
prihatin, dan mendesak pemerintah agar menanggapinya secara
serlus." Beberapa media massa PNG mendesak pemerintahnya untuk
melancarkan protes keras kepada RI. Salah satu koran malahan
menganggap pelintasan tersebut bukan kesalahan tak disengaja
pihak kontraktor jalan, tapi "awal dari suatu rencana untuk
menyerbu PNG".
Sikap pemerintah PNG sendiri tampak sangat hati-hati. Menlu
Rabbie Namaliu pada pers pekan lalu menyatakan, jika tidak ada
penyelesaian di tingkat diplomatik, baru masalah ini akan dibawa
ke tingkat politik dengan rekannya Menlu Mochtar Kusumaatmadja.
Wakil PM Paias Wingto sekalipun menyatakan gusar terhadap kasus
tersebut menambahkan: terlalu pagi untuk langsung menyalahkan
pemerintah Indonesia. "Saya tahu jalan itu dibangun di daerah
yang sangat terpencil. Adalah sangat sulit untuk mengetahui
apakah Anda berada di sisi perbatasan yang benar karena tanda
perbatasan jarang kelihatan," ujarnya.
Pekan lalu Panglima Angkatan Darat PNG Brigjen Gago Mamai
mengungkapkan pada pers, suatu patroli berkekuatan 35 orang
tentara telah dikirim ke daerah itu untuk memeriksa pembangunan
jalan tersebut.
Sumber TEMPO di KBRI Port Moresby membantah kesan seolah-olah
telah terjadi "insiden perbatasan" antara RI dan PNG. "Memang
telah terjadi masalah yang bersumber pada persoalan teknis,
yakni pemetaan dan pengukuran medan, namun diharapkan masalah
ini dapat segera diselesaikan dengan kerja sama tim teknis kedua
pihak," kata sumber itu.
Sumber tersebut juga menjelaskan, pemerintah Indonesia memang
tengah membangun jalan yang menghubungkan Merauke Bupul-Tanah
Merah sepanjang 250 km yang merupakan bagian dari jalan Trans
Irian dan direncanakan akan selesai dalam 2l/2 tahun. Berita ini
telah dimuat juga dalam Indonesian Newsletter terbitan 1981, dan
diedarkan pada semua instansi, termasuk pers, di Port Moresby.
Menurut data statistik 1980/81, Irian Jaya memiliki jalan
provinsi sepanjang 1.072 km (hanya 177 km yang diaspal) dan
1.840 jalan kabupaten (501 km aspal). Dalam Pelita III Maluku
dan Ir-Ja memperoleh jatah pembangunan jalan kabupaten sepanjang
1.300 km. Merauke, kabupaten yang terluas di Ir-Ja, pada 1982/83
memperoleh dana Inpres prasarana jalan Rp 373 milyar.
Pembangunan ini diharapkan akan leblh membuka daerah tersebut
terutama untuk mengembangkannya sebagai daerah transmigrasi.
Menanggapi tuduhan pelanggaran itu, Menlu Mochtar Kusumaatmadja
pekan lalu menyatakan pemerintah RI kini tengah menyelidlkinya.
Kemungkinan terjadinya pelanggaran, menurut Mochtar, bisa saja
terjadi karena sepanjang 850 km perbatasan yang berhutan lebat
itu hanya ada 14 tanda. Untuk mengetahui benar tidaknya tuduhan
ini perlu diadakan pemeriksaan di lapangan.
Sebelum kasus ini, masalah perbatasan yang timbul seluruhnya
berkisar pada gerombolan OPM yang selalu lari melintasi
perbatasan menuju PNG setiap kali dikejar pasukan Indonesia.
Sikap pemerintah PNG di bawah PM Michael Somare terhadap OPM
tegas. Menlu Namaliu pekan lalu kembali menegaskan "PNG tidak
mengakui OPM dan tidak mengizinkan mereka mempergunakan wilayah
PNG untuk melakukan gerakan separatis. Semua perbedaan antara
Indonesia dan PNG harus diselesaikan dengan cara diplomatik."
Menilik itu banyak yang berharap masalah ini akan bisa
diselesaikan dalam pertemuan komite perbatasan kedua negara
(Joint Border Committee) di Merauke 19-21 April ini. Sebelumnya
suatu tim dipimpin Ketua Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional (Bakosurtanal) Mayjen Pranoto Asmoro akhir pekan lalu
tiba di Jayapura untuk menyelidiki tuduhan pelanggaran tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini