KASUS Tanjungpriok dan peledakan Bank Central Asia (BCA) telah menjebloskan sejumlah orang ke balik terali. Yang terkena kasus Tanjungpriok, misalnya, Mawardi Noor, Abdul Qadir Jaelani, Usmani Al Hamidi, dan Syarifin Maloko. Yang paling berat hukumannya adalah Yayan Hendrayana dan Salim Qadar, yang masing-masing kena 20 tahun -- berarti mereka baru akan bebas pada tahun 2004, kecuali bila memperoleh remisi. Dari "kelompok BCA" ada H.M. Sanusi, Rachmat Basoeki, Tashrif Tuasikal, dan M. Jayadi. Selain mereka, ada nama-nama seperti H.R. Dharsono, A.M. Fatwa, dan Erlangga, yang dianggap ikut "mengipasi" suasana, hingga terjadi kasus BCA. Hampir semua mereka masih mendekam di penjara LP Cipinang, Jakarta Timur. Yang terpencil sendirian adalah A.M. Fatwa, yang harus melewatkan hari-harinya di LP Pledang, Bogor. Tuduhan yang dijatuhkan kepada bekas Kepala Subdit Pembinaan Masyarakat Pemda DKI ini tidak jauh berbeda dengan H.R. Dharsono, namun ia kena hukuman 18 tahun penjara. Fatwa dituduh menjadi pemrakarsa dan penyusun terbitnya "Lembaran Putih" yang isinya tentang peristiwa Tanjungpriok. Di samping mengadakan rapat di musala di samping rumahnya Jalan Kramat Pulogundul, Jakarta Pusat. Yang hadir di rapat itu, selain Fatwa selaku tuan rumah, adalah H.R. Dharsono, Rachmat Basoeki, Erlangga, Sarman Sugiato, Sofwan A.M,, H. Harianja, dan N.P. Siregar. Tampaknya Fatwa selama sekitar 6 tahun di penjara memegang ucapan Bung Hatta: penjara itu barang yang tidak disukai, tapi bukannya tanpa manfaat. Fatwa agaknya menganggap nasib yang kini menimpanya sebagai suatu cobaan. Memang, menurut hadis, cobaan itu bisa mengantar seseorang ke pengampunan dosa atau kemuliaan di sisi Tuhan. Kabarnya, Fatwa, yang kini memasuki usia 51 tahun, perlu diperiksa kesehatannya sekali sebulan karena positif mengidap penyakit liver. Satu-satunya tokoh yang telah bebas selain H.R. Dharsono adalah Erlangga. Mahasiswa tingkat terakhir Jurusan Hubungan Internasional Universitas Jayabaya ini dibebaskan 17 Agustus lalu. Ia bertindak selaku moderator dalam pertemuan di rumah Fatwa. Kini Erlangga ingin menyelesaikan studinya. Ia ditangkap satu minggu sebelum maju ujian sarjananya. Jika Jayabaya tidak mau menerimanya lagi, ia berminat sekolah di luar negeri. "Kalau masih mentok juga, saya mau jualan rokok saja atau jadi sopir taksi atau menulis artikel di koran kalau ada yang mau menerima. Sekadar untuk mencari makan," kata bapak satu anak ini. Tokoh kunci yang menyebabkan terbongkarnya peristiwa BCA ialah Muhamad Jayadi. Karena keteledorannya menyetel bom waktu, beberapa anggota tubuhnya cacat akibat ledakan bom yang dipasangnya. Ia juga kena hukuman 15 tahun penjara. Mahasiswa PTDI tingkat III kelahiran Pondok Ungu, Bekasi, ini ikut dalam penyerbuan ke kantor Polres Jakarta Utara yang dipimpim Amir Biki, yang lebih dikenal dengan peristiwa Priok. Karena luka-luka yang dialaminya, belum lama ini ia harus dirawat selama tiga minggu di RS Islam Jakarta, di Cempaka Putih. Dari pengakuan bekas komandan Resimen Mahasiswa PTDI ini muncul nama-nama di balik peristiwa BCA, di antaranya M. Tashrif Tuasikal, 54 tahun, yang ikut merencanakan peledakan BCA. Kabarnya, pria kekar dan berewokan kelahiran Ambon ini bekas anggota DI/TII yang masih terkena wajib lapor. Pada 1978 ia ditahan karena terlibat Gerakan 20 Maret bersama Abdul Qadir Djaelani dan Rachmat Basoeki. Atas peranannya dalam kasus BCA, Tashrif diganjar 17 tahun. Tokoh utama dalam peristiwa peledakan BCA sebenarnya adalah Rachmat Basoeki Soeropranoto, 47 tahun. Jebolan mahasiswa tingkat III Fakultas Ekonomi UI dengan kaca mata minus 4 ini mengaku bukan seorang Islam yang fanatik. Ia menentang dominasi ekonomi Cina, yang dianggapnya bukan sikap rasialistis. Pandangan itu ternyata terus dipegangnya. Maka, tatkala sepekan setelah peristiwa Priok, Tashrif datang menemuinya dan memberi tahu adanya rencana peledakan beberapa proyek pemerintah, tanpa berpikir panjang ia mengusulkan mengebom kantor BCA. "Pengeboman itu mewakili hati nurani kami generasi muda untuk menyetop dominasi ekonomi Cina," ujarnya dalam suatu wawancara lima tahun silam. Akibatnya, hukuman selama 17 tahun harus diterimanya. Tokoh yang dianggap ada di belakang kegiatan Rachmat Basoeki adalah Menteri Perindustrian Tekstil dan Kerajinan Rakyat 1966-1968, H.M. Sanusi. Ia dituduh bersekutu bersama Rachmat Basoeki dan Tashrif merencanakan dan membiayai peledakan BCA. Yang sangat memberatkan Sanusi adalah kesaksian Tashrif dalam berita acara pemeriksaan (BAP), yang mengaku menerima sejumlah detonator dan uang Rp 500.000 dari Sanusi melalui Rachmat Basoeki. Tashrif kemudian menarik pengakuannya itu di depan sidang, dengan alasan dibuat di bawah tekanan. Namun, hakim memutuskan 19 tahun penjara bagi pemilik sebuah usaha konsultan dan pemborong ini. Ia kemudian disidangkan lagi karena dituduh ikut merencanakan, menyingkirkan, dan membunuh Presiden Soeharto, serta mendirikan Negara Islam Indonesia. Tuduhan itu kemudian tak terbukti, walau kemudian ia dianggap terbukti terlibat kasus peledakan Candi Borobudur. Untuk itu, ia dikenai 20 tahun penjara. Sehingga ia harus menjalani tambahan hukuman setahun dari 19 tahun, menjadi 20 tahun. Dalam usianya menjelang 70 tahun, kini kesehatannya sudah jauh menurun. Beberapa organ tubuhnya melemah, seperti jantung, liver, mata, telinga, dan tenggorokan. Itu sebabnya, dalam beberapa minggu terakhir ini, setiap Senin ia terlihat di RS Islam Jakarta untuk berobat jalan. Rudy Novrianto dan Nunik Iswardhani (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini