MEREKA sudah kembali. Enam narapidana bekas mahasiswa ITB yang sempat mendekam di Nusakambangan akhirnya, Selasa malam pekan lalu, dipulangkan kembali ke Bandung. "Mereka sehat-sehat, hanya saja lelah karena menempuh perjalanan yang jauh," kata seorang dokter yang memeriksa kesehatan keenam orang yang terlibat Peristiwa 5 Agustus 1989 itu, di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin. Memang, keenam narapidana tadi, dengan menumpang mobil tahanan, baru saja kembali dari Pulau Nusakambangan, yang jaraknya hampir 200 km dari Bandung. Itu pun belum termasuk perjalanan dengan perahu melintas selat Segara Anakan yang memisahkan daratan Kota Cilacap dengan tempat yang banyak diasosiasikan sebagai penjara buat narapidana kelas kakap itu -- seperti penyelundup, pembunuh atau koruptor yang mendapat hukuman penjara belasan tahun. Adalah Marsono, kepala rumah tahanan Kebonwaru di Bandung, yang secara diamdiam menginstruksikan agar keenam bekas mahasiswa ITB itu dipindahkan ke Nusakambangan. Semuanya berlangsung serba mendadak. "Kami diborgol dengan paksa dan diseret seenaknya," cerita Amarsyah, salah seorang dari enam narapidana yang sempat dikirim ke Nusakambangan itu. Ketika itu ia hanya bercelana jeans dan badannya cuma dibungkus kaus tipis. Ia mengaku tak dibolehkan mengambil jaket, "tapi malah didorong petugas ke dalam mobil," katanya lagi. Pihak keluarga dari keenam narapidana itu tak diberi tahu soal kepindahan ini. Dan Marsono punya dalih untuk tak memberi tahu pihak keluarga. "Tak ada ketentuan yang mewajibkan kami memberi tahu rencana itu," tuturnya. Lalu, soal pemindahan mereka ke Nusakambangan? "Saya hanya menjalankan tugas," kata Marsono, kalem. Tugas siapa? Itulah soalnya. Tampaknya, Marsono lupa bahwa ia ternyata sudah menyalahi tugasnya sebagai kepala rumah tahanan Kebonwaru. Padahal, seperti kata Dirjen Pemasyarakatan Baharuddin Lopa, perpindahan narapidana antarprovinsi harus diusulkan oleh Kepala Kanwil Departemen Kehakiman kepada Menteri Kehakiman atau Dirjen Pemasyarakatan. Artinya Marsono harus melaporkan rencana ini kepada atasannya: Kohar Sayuti, Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Kehakiman Ja-Bar. Dan Kohar kemudian mengajukan usul rencana ini ke Jakarta. Itu pun tak otomatis narapidana bisa dipindahkan. Tapi harus menunggu lampu hijau dari Menteri Kehakiman atau Dirjen Pemasyarakatan. Sudah bisa ditebak, Kohar tak tahu-menahu soal "hijrahnya" Amarsyah dan kawan-kawannya itu dari Kebonwaru. "Ide pemindahan itu datangnya bukan dari saya," ujar Kohar. Walaupun begitu, ia mengakui bahwa Marsono sering mengeluh kepadanya soal kelakuan bekas mahasiswa ITB tadi di dalam penjara. Keenam narapidana tadi, menurut Kohar, sering membuat keonaran di penjara, sehingga menimbulkan kebencian para tahanan lainnya. Sementara itu, Kepala LP Nusakambangan Achmad Ilihambali menerima surat pelimpahan narapidana asal Bandung itu dari Hari Marsoedi, Koordinator Pemasyarakatan Kanwil Departemen Kehakiman Ja-Bar. Entahlah, apakah tindakan Hari Marsoedi itu diinformasikan juga kepada atasannya, Kohar. Kabar pemindahan keenam narapidana bekas mahasiswa ITB itu kemudian sempat mencuat jadi pemberitaan pers. Banyak yang mempertanyakan tindakan sewenang-wenang itu. Untung, Menteri Kehakiman Ismail Saleh dan Dirjen Pemasyarakatan cukup tanggap. Mereka langsung memerintahkan anak buahnya agar memulangkan para narapidana tadi kembali ke Bandung. "Ini keteledoran," Lopa menegaskan. Ternyata, Marsono tak sendirian. Di Yogyakarta, M. Hatta Boerhanan, Kepala LP Wirogunan, kompak mengikuti jejak rekannya dari Bandung itu. Ia juga memindahkan dua narapidananya -- Bambang Isti Nugroho dan Bambang Subono -- ke Nusakambangan, Sabtu dua pekan lalu. Kedua Bambang tadi masing-masing divonis 8 dan 7 tahun penjara karena terbukti telah menyebarkan ajaran komunisme dan melakukan diskusi-diskusi tanpa izin. "Saya merasa dilangkahi," kata Soedjarno, Kepala Kanwil Departemen Kehakiman Yogyakarta. Selasa siang pekan lalu Soedjarno mengaku mendapat telepon dari Menteri Ismail, yang marah melihat ulah anak buahnya itu. "Kenapa bisa begini?" kata Menteri Ismail, seperti yang ditirukan Soedjarno. Dan Rabu dini hari pekan lalu, tentu setelah Menteri Ismail marah, kedua narapidana tadi akhirnya kembali ke LP Wirogunan Yogyakarta. Para narapidana dari Bandung dan Yogya itu, menurut Lopa, tak layak untuk "diasingkan" ke Nusakambangan. Tempat itu hanya khusus buat narapidana yang perlu pembinaan khusus dan mendapat hukuman 5 tahun penjara ke atas. Contohnya residivis. Sedangkan keenam narapidana asal Bandung dan kedua Bambang dari Yogya itu, kata Lopa, tak termasuk dalam kriteria tadi. Lagi pula mereka masih tergolong usia muda. Bahkan Bambang Subono masih terdaftar sebagai mahasiswa tingkat akhir Jurusan Sosiologi UGM. "Kalau mereka di Nusakambangan, bagaimana mereka bisa belajar," kata Lopa. Dan ia tak lupa mengingatkan bahwa LP bukanlah tempat untuk melakukan balas dendam. "Tapi merupakan wadah pendidikan," ujarnya. Akankah ada tindakan terhadap mereka yang nekat memindahkan narapidana itu? "Ya, kita lihatlah. Untuk yang melakukan kesalahan akan diatur sesuai dengan mekanisme yang ada," janji Lopa. Ahmed K. Soeriawidjaja, Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini