MESTINYA Yap Yun Hap sudah bisa tidur tenang di alam baka. Tapi penyidikan kasus penembakannya dalam insiden Semanggi berdarah seri kedua, Jumat dua pekan lalu, itu seperti mengusik sang pahlawan. Lebih dari sepekan setelah ia meregang nyawa, pengusutan kasus kematian mahasiswa Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia itu masih terseok-seok.
Titik terang ke arah ditemukannya siapa penembak Yun Hap serta dua korban lainnya—Fadli, 23 tahun, dan seorang pengamen bernama Jumadi, 13 tahun—bukan tidak ada. Dari proyektil peluru yang ditemukan dalam tubuh Yun Hap, tampaknya ia tidak dihabisi dengan senapan berburu. "Peluru itu biasa digunakan oleh anggota TNI atau kepolisian dan termasuk jenis peluru khusus," kata Djaja Suryaatmadja, dokter yang mengautopsi Yun Hap. Artinya, besar kemungkinan pemuda berusia 22 tahun itu dihabisi aparat.
Sejumlah saksi mata menguatkan dugaan ini. Menurut mereka, penembakan itu terjadi sekitar pukul 20.45-20.50 WIB, Jumat dua pekan lalu. Saat itu, sekitar 300 mahasiswa sedang berkumpul dengan warga masyarakat di sekitar Universitas Atmajaya, Jakarta, menyusul bentrok antara mahasiswa dan aparat disulut aksi demo menentang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya. Tiba-tiba dari arah fly over Casablanca, delapan truk berisi aparat keamanan menderu. Massa lalu panik dan berhamburan. Sebagian lari ke arah Bendunganhilir, Gedung Bank Danamon, Jalan Garnisun, dan Kampus Atmajaya. Rentetan suara tembakan terdengar deras. Malang bagi Yun Hap, yang ketika itu sedang makan nasi bungkus sumbangan masyarakat. Sebutir timah panas menembus punggungnya, mematahkan satu tulang iga kiri, menyerempet tulang belikat, tulang leher, kerongkongan, sampai akhirnya menancap di otot kanan sebelah depan. Diperkirakan Yun Hap roboh oleh peluru yang dimuntahkan aparat yang berada dalam truk pertama sampai ke empat—dari sederetan delapan truk misterius tadi.
Dari kesatuan manakah mereka? Tak jelas betul. Polisi geleng kepala, begitu pula tentara. Ada yang menduga, konvoi truk itu tak lain pasukan pemukul Komando Strategis Angkatan Darat atau Kostrad. Versi lain menduga bahwa mereka adalah tentara dari Pasukan Pengendali Rusuh Massa atau PPRM—gabungan Angkatan Darat, polisi, marinir, dan Pasukan Khas Angkatan Udara. Tapi, saat dikonfirmasi, baik polisi maupun TNI belum bisa memberikan kepastian. Gelap.
Untuk menyingkap kasus ini, aparat memang tak tinggal diam. Kepolisian Daerah Metro Jaya membentuk Tim Penyidik yang diketuai Wakil Kepala Brigjen Polisi Sutanto. Tim ini terdiri dari lima subtim, yakni subtim olah TKP (tempat kejadian perkara), subtim lidik, subtim konsultan hukum, subtim sidik, dan subtim pengumpulan data dan keterangan. Total jenderal, jumlah polisi yang dikerahkan sekitar 110 orang.
Semula tampaknya ada upaya mengaburkan kasus ini. Dalam jumpa pers, Kepala Polda Metro Jaya Mayjen Pol. Nugroho Djajoesman menyebut: ada sebuah minibus Kijang yang melintas di antara konvoi truk aparat tadi. Dari Kijang itulah tembakan berasal. Tapi pernyataan prematur ini belakangan ternyata disanggah aparat kepolisian. "Masalah Kijang yang lewat, itu fiktif," kata sumber TEMPO, seorang perwira tinggi di Markas Besar Kepolisian RI.
Tim lain juga bergerak cepat mengendus misteri ini. Ketuanya Hermawan "Kiki" Sulistyo, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang kebetulan berada di lokasi kejadian saat Yun Hap terkapar. Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) ini mengaku punya sejumlah bukti dan juga beberapa orang saksi. Mereka sudah melihat barang bukti berupa proyektil, yang kini disimpan di bagian forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Masalahnya, polisi belum mau bergerak lebih jauh, termasuk memeriksa barang bukti berupa proyektil tadi. Mereka menunggu tim Kiki bergabung dengan tim Polda. "Saya belum mau mengambil barang bukti. Kami ingin menerimanya bersama dengan TPFI," kata Kapolda Nugroho Djajoesman. Menurut Noegroho, hanya dengan mengajak pihak lain, hasil investigasi mereka bisa dipercaya masyarakat.
Tapi, Kiki dan kawan-kawan sudah telanjur tidak percaya. Ia meragukan tim polisi bisa bekerja independen dan transparan. Salah-salah, kalau setuju bergabung, hasil investigasinya bersama aparat "dipelintir" oleh polisi. Akibatnya, nama baiknya bersama sejumlah anggota tim dari UI bisa melorot. Apalagi kasus ini menyangkut nama tentara—sebuah institusi yang masih jadi "momok" polisi. "Kasus Agus Isrok (anak KSAD Jenderal Subagyo yang terlibat penjualan narkotik—Red) saja sampai sekarang tidak jelas penyelesaiannya," kata Kiki.
Sebaliknya, jika harus menyelidiki kasus tanpa menyertakan TPFI, polisi merasa kerepotan. Menurut sumber TEMPO dalam tim Polda, sampai lima hari setelah tim dibentuk, mereka belum bisa melakukan apa-apa. Alasannya, gerak langkah mereka di lapangan tidak leluasa. Masyarakat sekitar lokasi penembakan di sekitar Kampus Atmajaya yang akan dijadikan saksi memandang polisi dengan tatapan curiga. Artinya, kehadiran TPFI bisa menjadi jembatan bagi polisi untuk memeriksa saksi-saksi.
Kekhawatiran bahwa kasus ini bisa "diedit" sesungguhnya bukan tanpa indikasi. Sehari setelah Yun Hap tewas, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen Sudrajat, buka suara. Ia mengatakan bahwa penembakan sadis itu dilakukan oleh prajurit TNI yang stres. Ia juga bilang sudah tahu pasti asal kesatuan pelaku penembakan dan senjata yang digunakan. Proses hukum juga harus dilakukan. "Bukan pemimpin kesatuannya yang dihukum, tapi orangnya langsung," kata Sudrajat kepada wartawan.
Tapi, beberapa hari berselang, Sudrajat malah meralat pengakuannya. "Itu kan hanya kemungkinan. Bisa benar, bisa juga salah." katanya kepada Andari Karina Anom dari TEMPO. Ada skenario lain untuk membelokkan kasus ini? Mungkinkah tentara cuci tangan? "Bukan mustahil itu bakal terjadi," seorang anggota tim polisi menjawab lugas. Pada saat-saat akhir penelusuran kasus, biasanya tentara ikut bertindak. "Itulah, kami ini kan hanya pelaksana. Tidak bisa berbuat apa-apa," kata sumber di kepolisian, setelah mengetahui gelagat penghindaran ini.
Boleh jadi Kapuspen Sudrajat memang ingin meralat ucapannya tanpa maksud apa pun. Namun, berubah-ubahnya sikap aparat ini sangat mudah memancing kecurigaan. Harap maklum, ini bukan kasus misterius pertama. Penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, Tragedi Semanggi I, juga kerusuhan Mei 1998 adalah setumpuk peristiwa berdarah yang tidak jelas penyelesaiannya.
Walhasil, penyelesaian kasus Semanggi II adalah taruhan besar buat polisi. Bisakah pasukan baju cokelat ini terlepas dari intervensi induknya yang bernama TNI? "Saya perintahkan supaya diusut. Tapi, tempat kejadiannya sampai kini belum ditemukan," kata Panglima TNI Jenderal Wiranto kepada TEMPO. Jika persoalan mendasar ini saja belum dipastikan, bisa jadi kasusnya kembali membentur tembok. Buntu.
Arif Zulkifli, Dwi Wiyana, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini