MEMBANGUN rumah, ada tahap-tahapnya. Kita tidak mungkin memasang atap kalau tembok belum berdiri. Tapi kita juga tidak bisa mendirikan tembok kalau fondasinya belum kuat. Apa fondasi untuk sebuah "rumah bangsa"? Tak lain adalah undang-undang dasar.
Kita telah memiliki UUD 1945, yang sepanjang kemerdekaan hingga saat ini—kecuali pada 1951-1959—telah dipakai sebagai fondasi bangsa. Tapi, karena zaman bergerak dan pula UUD yang kita warisi saat ini memang dipersiapkan kemungkinannya untuk diubah, fondasi itu tidak kukuh lagi. Sesungguhnya sudah lama ia perlu direvisi, tetapi tidak ada keberanian dari wakil-wakil rakyat. Kini, momentum itu ada, setelah selama 32 tahun kekuasaan begitu membelenggu perbedaan pendapat, sehingga UUD 1945 hampir bagaikan kitab suci. Jangankan hendak diubah, dipersoalkan sedikit saja, kekuasaan senantiasa menghadangnya.
Para wakil rakyat yang bersidang sejak Jumat pekan lalu pun tak ada yang keberatan dengan pengubahan UUD 1945, sepanjang hal itu tidak menyangkut pembukaannya. Tetapi, seberapa besar pengubahan itu? Pasal-pasal apa saja yang diamandemen? Tersirat ada perbedaan di sini, di kalangan pimpinan partai politik. Perbedaan ini kemudian membawa pada risiko bagaimana mengatur agenda Sidang Umum MPR. Sebagian, misalnya dari PDI Perjuangan (PDIP), ingin agar amandemen itu dilakukan bertahap saja, karena memang akan membutuhkan waktu panjang. Yang penting sekarang ini mengamandemen pasal yang mengatur kedudukan dan wewenang presiden. Setelah itu, mengadakan pemilihan presiden. Amandemen selanjutnya diserahkan ke Badan Pekerja MPR dan jika telah selesai MPR bisa dipanggil bersidang kembali.
Alasan mendasar yang disampaikan PDIP adalah agar MPR bisa memilih presiden dan wakil presiden secepat-cepatnya. PDIP semula mengajukan jadwal 13 Oktober untuk pemilihan presiden. Situasi negara sudah amat kritis dan membutuhkan kepastian, dan itu hanya bisa diatasi dengan terbentuknya pemerintahan yang didukung rakyat. Begitu alasan PDIP.
Partai-partai politik lain bukannya tak mengakui adanya situasi kritis itu. Namun, mereka ingin agar keterburu-buruan tidaklah harus dengan tergesa-gesa—lalu ada hal yang dilewatkan. Mereka ingin agar amandamen UUD 1945 itu dituntaskan. Jika kesepakatan mengamandemen sudah ada, pekerjaan itu tak akan membutuhkan waktu berbulan-bulan, cukup dua minggu. Dengan begitu, akhir Oktober ini, presiden dan wakilnya sudah terpilih.
Sebetulnya, selisih waktu itu hanya terpaut dua minggu. Dan ketika tawar-menawar terjadi, disepakati jalan tengah, presiden sudah terpilih pada 20 Oktober. Disepakati pula satu hal yang tadinya dikira krusial, yaitu mengenai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Kalau toh GBHN itu tak bisa disusun secara lengkap, cukup pokok-pokoknya saja. Inilah yang menjadi pegangan presiden mendatang, sambil menunggu Badan Pekerja MPR merampungkan GBHN yang komplet.
Dengan disepakatinya beberapa agenda ini, sebetulnya curah perhatian para wakil rakyat—juga rakyat yang diwakilinya—tertuju kepada: siapakah presiden keempat di Republik ini? Setiap fraksi bisa mencalonkan seseorang untuk presiden dan wakil presiden. Bahkan, 70 anggota MPR (10 persen dari semua anggota MPR) bisa pula mengajukan calon presiden, tanpa terikat kepada fraksi-fraksinya. Jika melihat "kesepakatan" ini, calon presiden bisa tujuh atau lebih. Justru yang terjadi pada sidang tahap awal ini—entah kalau sidang tahap berikutnya 15 Oktober nanti—bursa calon presiden berkurang dengan disebut-sebutnya Abdurahman Wahid akan mengikuti saran beberapa ulama NU untuk "tidak bersedia dicalonkan".
Barangkali ada benarnya jika Gus Dur dan poros tengah tidak terlalu ngotot untuk jabatan presiden ini. Tempat yang lebih pas buat mereka sepertinya di luar pemerintahan, dengan menjadi oposisi yang kuat di parlemen. Duet Gus Dur dan Amien Rais tentulah akan memberi warna lain pada lembaga wakil rakyat ini, baik di MPR maupun di DPR. Fungsi lembaga itu sebagai kontrol terhadap pemerintahan akan bisa menunjukkan arah reformasi yang benar.
Lalu, siapa presiden dan wakil presidennya? Jika melihat kekuatan riil di masyarakat—rujukannya pada hasil pemilu—kandidat PDI Perjuangan harusnya diberi kesempatan memimpin bangsa ini selama lima tahun ke depan. Itu berarti Megawati Sukarnoputri, karena tak terdengar ada calon lainnya. Nah, apakah salah jika PDIP ini berkoalisi dengan Partai Golkar, dengan menempatkan orang Golkar sebagai wakil presiden? Tentu bukan Habibie di tempat ini, tapi Akbar Tandjung. Megawati membawa semangat pembaruan. Akbar Tandjung membawa "pengalaman" sebagai orang yang lama ikut kekuasaan.
Namun, urusannya tidak gampang. Sebelum memilih presiden, cara memilih itu masih sebuah perdebatan. Karena kali ini pemilihan presiden "benar-benar pemilihan yang sebenarnya". Bukan seperti masa Orde Baru, memilih tetapi tak ada pilihan, karena calonnya hanya satu. Caranya bagaimana? Mengacungkan tangan secara terbuka atau memasukkan kertas suara secara tertutup?
Semuanya ada plus-minus. Budaya kita masih "sungkan-sungkan" memilih orang secara terbuka. Ada hubungan yang segera mengganjal di antara pemilih dan tokoh yang tidak dipilihnya itu. Apalagi, kalau calon presiden itu ditetapkan oleh fraksi yang merupakan kepanjangan partai. Tidak memilih calon yang diajukan fraksinya berarti membangkang. Padahal, tidak semua kebijakan partai sejalan dengan aspirasi masyarakat yang diwakili anggota MPR itu. Akibatnya bisa runyam, partai bisa saja me-recall "pembangkang" itu.
Namun, kalau pemilihan secara tertutup, "politik main uang" bisa mempengaruhi suara. Seorang wakil rakyat bukan memilih calon yang diajukan partainya, bukan pula memihak aspirasi masyarakat yang diwakilinya, tapi memihak pada siapa ia dapat memperoleh uang. Kecurigaan akan hal itu sudah lama muncul. Maka, agar kecurigaan tak berkembang—apalagi kalau kecurangan itu benar terjadi—sebaiknya kali ini pemilihan presiden terbuka saja. Kalau perlu disiarkan semua stasiun televisi, agar 200 juta rakyat ikut dag- dig-dug….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini