KABAR dari Timor Timur makin seram saja. Setelah Dili terbakar habis dan sekitar 200 ribu orang mengungsi ke luar wilayah "panas" itu, belakangan beredar isu bahwa terjadi pembunuhan massal oleh milisi dan tentara Indonesia di Negeri Loro Sa'e.
Cerita pembantaian itu membangunkan bulu kuduk. Kata si empunya cerita, di Dili, sejumlah pria bersenjata menembaki pengungsi di daerah pelabuhan. Katanya, ada yang menyerang pengungsi di gedung sekolah dan gereja. Lalu, ada laporan yang mengatakan bahwa penduduk wilayah Becora, yang dikenal sebagai kantong kelompok prokemerdekaan, mati dibantai oleh pria bersenjata. Kata sahibul cerita itu, di Suai ada sekitar seratus orang, termasuk empat pendeta Katolik, tewas diberondong peluru. Di Same diisukan juga ada seratus orang penduduk mati dan di Atsabe ada 20 orang dibantai.
Jumlah yang mati, menurut cerita-cerita tersebut, sampai lebih dari 10 ribu orang. Akibatnya, Dewan Keamanan PBB sampai mengadakan rapat darurat di New York untuk membahasnya pekan lalu. Dan Vatikan, yang membawahkan keuskupan di Timor Timur, menuntut tindakan keras oleh lembaga dunia tersebut. "Di Timor Timur sedang terjadi pembasmian manusia. Dan para gerejawan Katolik ikut menjadi korban," kata Menteri Luar Negeri Vatikan, Uskup Besar Jean Louis Tauran, kepada harian New York Times.
Tapi apakah semua pembantaian itu benar-benar terjadi? Minggu lalu, dua koran asing memuat artikel menarik. Guardian, pada 24 September, menurunkan tulisan berjudul No Evidence so Far of Mass Killings. Meski ditemukan kasus pembunuhan yang bisa dikonfirmasikan, investigasi yang dilakukan reporter Guardian di Tim-Tim—mewawancarai lebih dari seratus orang selama tiga hari—ternyata tak menemukan bukti adanya eksekusi massal.
Cerita seorang sukarelawan Australia—disiarkan televisi di sana—yang mengaku melihat mayat ditumpuk sampai ke langit-langit sel penjara di "Markas Polda" di Tim-Tim, misalnya, tak dapat dibuktikan. Reporter The Guardian yang mengunjungi markas di Dili sesaat setelah dikosongkan TNI hanya melihat sel yang dikotori makanan dan sampah busuk. Tak kelihatan bekas upaya membersihkan sel dari bekas darah yang kata sukarelawan itu "mengalir membasahi tembok."
The Guardian juga mewawancarai Romo Francisco dari Diosis Dili mengenai isi laporan yang telah membuat Vatikan naik pitam. Menurut Romo, tidak benar ada seratus orang pendeta dan biarawati yang mati dibantai milisi pro-Jakarta. Jumlah pendeta tewas yang bisa dikonfirmasikan adalah empat orang—tiga orang di di Suai dan satu orang di Dili.
Sementara itu, The Washington Post juga tidak menemukan bukti pembunuhan massal di kediaman Uskup Carlos Belo di Dili seperti yang dilaporkan sebuah lembaga bernama Yayasan Hak Asasi Manusia dan Keadilan. Setelah dicek, rumah Uskup Belo sudah hangus terbakar. Namun, sejak referendum diadakan, menurut empat biarawati yang masih tinggal di halaman rumah tersebut, hanya satu orang yang dibunuh milisi prointegrasi di sana.
Rupanya, berita model begini biasanya dikutip dari pengungsi yang telah meninggalkan Dili atau dilaporkan oleh sejumlah lembaga swasta yang bekerja di Dili sebelum referendum dilakukan di sana. Beberapa laporan yang sempat dibaca TEMPO memang menyebutkan terjadinya pembunuhan itu, meskipun laporan itu jelas menyebutkan bahwa laporannya tergolong "belum dikonfirmasikan" kebenarannya. Artinya, kebenarannya juga tak bisa dijamin.
Menurut sebagian laporan itu, tidak adanya bukti (dan saksi mata) bisa karena mayat-mayat korban telah dibakar atau dibuang ke laut untuk memusnahkan jejak—tudingan yang sulit dibuktikan. Seorang pendeta dari Konferensi Waligereja Indonesia juga mengeluhkan sulitnya melakukan pengecekan karena sikap aparat yang tidak kooperatif.
Itu sebabnya, menurut utusan Portugal di Jakarta, Ana Gomes, penyidikan jangan cuma terfokus pada yang mati. "Lagi pula saat ini mustahil kita bisa tahu berapa orang yang terbunuh di sana," katanya. Yang mesti dipersoalkan, menurut dia, adalah pelanggaran HAM yang terjadi oleh milisi prointegrasi dan tentara. Komisi HAM PBB di Jenewa agaknya berpikiran serupa. Itu sebabnya, tak peduli dengan keberatan Indonesia, tim penyidik internasional akhirnya akan mendarat di Timor Timur minggu ini.
Sejauh ini, seperti dikutip Guardian dari PBB, di Dili memang ada 15 orang tewas di sekitar pelaksanaan referendum dan tiga orang di luar Dili. Dilaporkan juga, 30 ribu orang masih mengungsi di gunung-gunung. Pembunuhan massal? Tak satu pun saksi mata yang melihatnya. Begitu juga "pembakaran massal" mayat korban, seperti diberitakan "radio dengkul" tadi.
Namun, tentulah kekerasan dan jatuhnya korban tewas di Tim-Tim harus diusut—oleh lembaga kredibel dan dengan data yang akurat.
Wendi Ruky
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini