Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan bahwa pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, Kemayoran, sudah sesuai standar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami lihat seluruh sistem sudah berjalan sesuai SOP,” kata Yurianto dalam konferensi pers yang disiarkan di akun Youtube BNPB, Sabtu, 23 Mei 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yurianto mengaku baru saja meninjau kondisi rumah sakit tersebut. Ia melihat ada beberapa kekhasan terkait manajemen di RS Darurat Covid-19 tersebut. Salah satunya adalah zonasi kekarantinaan.
Seluruh fasilitas rumah sakit yang berada di dalam kompleks Wisma Atlet adalah daerah karantina. Sehingga, orang tidak bisa bebas keluar masuk.
“Betul-betul diberlakukan zonasi kekarantinaan di mana seluurh daerah yang berada di pagar kompleks adalah daerah kuning, sangat dibatasi,” ujarnya.
Di dalam zona kuning pun, kata Yurianto, masih terbagi lagi ke dalam beberapa zona. Misalnya, Tower 1 dikhususkan untuk administrasi, seperti dukungan logistik, donasi, dan bantuan.
Tower 2 dikhususkan manajemen dukungan layanan kesehatan bagi pasien. Tower tersebut masih termasuk zona kuning karena mengerjakan administrasi perumahsakitan.
Manajemen sumber daya manusia di RS Darurat ini juga memiliki karakteristik berbeda dari rumah sakit biasa, yaitu ada sosialisasi dan pelatihan agar memahami prosedur pengamanan diri. Sebab, SDM yang dikerahkan adalah para relawan gabungan dari jajaran pemerintah, perguruan tinggi, pihak swasta, dan relawan murni.
Relawan yang sudah menjalani tugasnya selama 1 atau 2 bulan akan diperiksa kesehatannya, termasuk tes swab dan hasilnya harus diyakinkan negatif. Mereka akan dipastikan aman untuk kembali bersama keluarganya. “Ini yang mejadi standar ketat dalam kaitan manajemen SDM,” ujar Yurianto.
Yang cukup menonjol dari RS Darurat Wisma Atlet juga adanya dukungan psikologi untuk pasien. Ia menemukan, para pasien di RS tersebut umumnya merupakan pasien mandiri. Mereka tidak diinfus atau dipasang oksigen, sehingga bebas bergerak, namun dibatasi hanya di lantai tempat perawatan.
Secara spesifik, kata Yurianto, hal tersebut dapat menimbulkan masalah psikologi. Apalagi pasien tidak boleh ditengok keluarga. Mereka juga cemas untuk bertemu keluarga dan berlebaran. Yurianto pun bersyukur masalah ini dapat tertangani berkat bantuan organisasi profesi yang turun tangan. “Karena itu, kami lihat semua sudah berjalan sesuai SOP.”