Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Zizi Jadi Wisudawan Termuda di ITB, Sempat Alami Impostor Syndrome

Zizi menjadi wisudawan termuda di ITB.

29 November 2023 | 13.10 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Zivanka Nafisa Wongkaren. Dok: ITB.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wisuda pertama Institut Teknologi Bandung atau ITB yang digelar pada Oktober lalu menyisakan cerita menarik. Salah satu wisudawan, Zivanka Nafisa Wongkaren, dinobatkan menjadi wisudawan termuda dalam helatan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zivanka atau akrab disapa Zizi merupakan wisudawan termuda dengan usia 19 tahun 1 bulan. Zizi berhasil menamatkan pendidikan sarjananya pada program studi Internasional Teknik Mesin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rupanya dia telah menjalani program akselarasi di setiap jenjang pendidikan yang ditempuh. Tak heran, Zizi berhasil menamatkan pendidikan SD hanya selama 5 tahun. Sementara itu, untuk bangku SMP dan SMA, dia tamatkan dalam waktu hanya 2 tahun.

Selain karena memiliki kecerdasan akademik yang tinggi dan berhasil masuk akselarasi, Zizi juga mempunyai minat terhadap kerajinan origami dan menyusun mainan lego. Hal inilah yang menjadi sebuah dorongan baginya untuk makin berkreasi dan berinovasi.

Seiring dengan berjalannya waktu, Zizi mengaku ingin semakin menyelami dunia robotika dan mekatronika. Zizi mengatakan bisa mengkonstruksi robot-robot sendiri yang cukup unik sesuai imajinasinya. “Berbekal ilmu tersebut, aku membayangkan akan bisa membuat barang apapun yang ada di benakku. Tentunya pada usia 14 tahun, prospek pekerjaan bukanlah pertimbangan utama bagi aku. Namun, akhirnya aku menjatuhkan pilihan untuk menekuni Teknik Mesin karena bidang ini memberikan wawasan bermanfaat tentang sistem mekanika,” terang Zizi dilansir dari situs ITB pada Rabu, 29 November 2023.

Menurut Zizi, ada banyak sekali jalur yang bisa dipilih ketika kuliah. Meskipun mengambil Teknik Mesin, dia terdorong untuk memiliki kecakapan interdisipliner seperti mekatronika, kontrol, programming, dan AI.

Bicara soal tugas akhir, Zizi mengerjakan tugasnya dari kolaborasi antara Laboratorium Dinamika FTMD ITB dengan Pusat Riset Mekatronika Cerdas LIPI BRIN. Ia melakukan riset terkait implementasi Deep Reinforcement Learning (DRL) dalam parkir lurus mundur yang diajukan untuk kendaraan otonom.

“Selama riset ini berlangsung, aku belajar banyak hal tentang dunia AI dan reinforcement learning dalam berbagai teknis. Tugas utama aku melakukan kajian dari riset-riset terdahulu mengenai DRL dan mencoba memodifikasi dan mengimplementasikannya. Metode tersebut diterapkan ke dalam lingkungan virtual yang dipakai untuk simulasi parkir dengan ketentuan khusus,” ujarnya.

Zizi menyebut tugas akhir (TA) sebagai representasi dari jerih payah dan kualitas seorang mahasiswa. “Dosen-dosen pembimbing telah menganggap kami sebagai kolega yang berpengetahuan dan profesional,” ungkapnya.

Sempat Alami Impostor Syndrome

Meski begitu, Zizi juga kerap merasa tidak percaya diri sekaligus kagum dengan kepandaian teman-teman sekelasnya atau yang disebut impostor syndrome. Awalnya ia juga sempat terkejut dengan dinamika perkuliahan di ITB menurutnya dirasa cukup berat.

Namun, semenjak semester 5, ia mulai terbiasa dengan beban kuliah dan dapat mengatur aktivitasnya. Dia juga akhirnya belajar untuk fokus membandingkan diri sendiri dengan dirinya di masa lalu alih-alih dengan orang lain.

“Aku orang yang cukup kompetitif. Pikiran yang aku tanamkan adalah, jika temanku bisa, aku juga harus bisa. Aku mau mencurahkan tenaga dan pikiran untuk menjadi peneliti. Saat menerima materi, aku mengenyahkan pikiran jika mata kuliah yang dipelajari susah. Aku ubah mindset-nya jika teori di mata kuliah itu bisa diimplementasikan saat aku membuat robot,” katanya.

Catatan gemilang di bidang akademik tak menyurutkan Zizi untuk mencari pengalaman di luar kelas. Ia pernah mengikuti Unit Robotika ITB, Society of Renewable Energy ITB, Unit Hoki ITB, dan Himpunan Mahasiswa Mesin ITB.

Ke depan, Zizi ingin meneruskan pendidikan ke jenjang S2 sembari melamar pekerjaan. Tak lupa, dia juga menunjukkan keseriusannya menjadi peneliti. “Aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan belajar dan riset. Sepertinya aku sudah ketagihan dan tidak bisa hidup tanpa dua hal itu,” katanya sambil bergurau.

Dia pun berpesan agar para mahasiswa dapat semakin mengembangkan bakat serta kreativitasnya, tak hanya dalam prestasi akademik, namun dalam bidang lainnya juga.

“Jadilah mahasiswa yang kreatif dalam memilih keahlian dan jangan takut untuk membedakan diri dengan yang lain,” pesannya.

Devy Ernis

Devy Ernis

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, kini staf redaksi di Desk Nasional majalah Tempo. Memimpin proyek edisi khusus perempuan berjudul "Momen Eureka! Perempuan Penemu" yang meraih penghargaan Piala Presiden 2019 dan bagian dari tim penulis artikel "Hanya Api Semata Api" yang memenangi Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Alumni Sastra Indonesia Universitas Padjajaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus