Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Linköping - Hasil riset terbaru berusaha mengungkap mitos anjing adalah teman manusia yang terbaik. Apakah mitos itu benar? Itulah yang mendorong para peneliti dari Linköping University, Swedia, ingin mengetahui apa yang membuat anjing dan manusia bisa berinteraksi dengan baik. Mereka meneliti 60 ekor anjing dari ras golden retrievers.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tes pun diberikan kepada hewan bermoncong itu. Mereka diberi sekotak makanan. Untuk tes pertama, kotak itu gampang dibuka. Dengan satu sentuhan saja, kotak terbuka, dan nyam-nyam-nyam, si anjing pun menyantapnya. Tak ada yang istimewa, tentu saja. Barulah di tes kedua terjadi hal berbeda. Mereka kembali disodori kotak berisi makanan. Bedanya, kotak-kotak ini tertutup rapat dan tidak bisa dibuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nah, di sinilah fase yang penting dalam penelitian ini. Seperti di tes pertama, anjing itu langsung memburu kotak tersebut. Namun mereka tak bisa membuka tutup kotak itu. Para periset kemudian menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh para anjing itu untuk bereaksi.
Oh ya, sebelumnya para peneliti pun memberikan dua perlakuan berbeda. Pada hidung si anjing, mereka menyemprotkan cairan yang berisi hormon oksitosin. Satu lagi, sebagai pembanding, hidung mereka disemprotkan air garam—-yang tidak memiliki pengaruh apa-apa alias netral. Hasilnya? Anjing yang disemprot hormon segera berlari menuju pemiliknya untuk meminta pertolongan. Persis seperti anak kecil merajuk kepada orang tuanya.
"Kami menghitung berapa lama mereka berusaha membuka kotak itu sebelum berlari menuju pemiliknya untuk meminta tolong," kata Mia Persson, salah seorang peneliti, seperti yang disampaikan dalam jurnal Hormones and Behavior edisi September.
Apa yang terjadi? Anjing yang disemprot hormon mengalami peningkatan kadar oksitosin dalam darah. Seketika dia memiliki reaksi berbeda dengan anjing yang hanya disemprot cairan netral. Artinya, tak perlu disangkal lagi. Inilah yang menyebabkan anjing-anjing bisa bersahabat dengan tuannya. Penyebabnya adalah meningkatnya hormon oksitosin dalam tubuh anjing.
Oksitosin—-yang banyak disebut sebagai hormon cinta—-memperkuat relasi sosial, membangun kepercayaan, dan yang terpenting membangun rasa nyaman. Bukan penemuan baru sebenarnya. Tahun lalu, di New York, seekor anjing dan pemiliknya diajak bermain-main di laboratorium. Hasilnya, ternyata oksitosin keduanya, si anjing dan tuannya, meningkat 100-300 persen.
Peneliti dari Swedia ini tak hanya berhenti pada hormon itu. Dalam studi ini, mereka juga ingin menelaah lebih jauh tentang bagaimana sebenarnya anjing-anjing itu bisa tumbuh menjadi hewan peliharaan seperti sekarang.
Mereka punya panduan, yakni penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa tidak semua anjing memiliki kemampuan berinteraksi bersama manusia dengan baik. Itu terjadi karena variasi gen yang mempengaruhi reseptor oksitosin pada setiap hewan itu.
Hasil studi tersebut berhasil dijawab Per Jensen dan timnya itu. Di antara anjing-anjing tersebut, ada yang cepat bereaksi terhadap semprotan hormon, ada juga yang tidak. Mereka yang bereaksi cepat dimungkinkan karena memiliki varian gen yang berbeda. Pun mereka yang lambat reaksinya.
Dalam riset ini, para peneliti juga mengambil sampel DNA dari pipi-pipi anjing itu. Hasilnya memang bervariasi. Mereka juga menganalisis DNA dari 21 serigala. Beberapa di antaranya ada kesamaan.
Bisa disimpulkan bahwa variasi genetika inilah yang membuat perubahan perilaku anjing dari keluarga serigala—-yang kemudian menjadi hewan yang hidup bersama manusia-—yang dimulai sejak 15 ribu tahun silam. Mereka membelot dari leluhurnya, yakni yang bisa berinteraksi dengan manusia menjadi anjing yang dikenal seperti sekarang. Mereka, yang tak bisa berinteraksi dengan manusia, tetap menjadi serigala yang buas dan tinggal di hutan.
"Hasil-hasil ini membuat kita menduga, pada masa lalu, manusia memilih serigala-serigala yang memiliki kemampuan bekerja sama sebagai hewan peliharaannya, kemudian serigala-serigala itu berkembang biak seperti yang ada sekarang," kata Persson.
Simak hasil riset terbaru lainnya hanya di kanal Tekno Tempo.co.
HORMONES AND BEHAVIOR | SCIENCEDAILY | LIVESCIENCE