Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Pusat Riset Biomassa dan Bioproduk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Widya Fatriasari menyatakan, Indonesia memerlukan sebuah teknologi berkelanjutan yang dapat mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Widya, salah satu alternatif yang bisa dikembangkan adalah dengan biorefinery atau kilang hayati. Kilang ini memanfaatkan biomassa secara terintegrasi untuk menghasilkan berbagai produk yang memiliki nilai tambah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Berbeda dengan oil refinery konvensional yang menggunakan bahan baku fosil, kilang hayati menggunakan biomassa sebagai bahan baku utama,” kata Widya dalam siaran persnya, Senin, 12 Agustus 2024. "Kilang Hayati mengarah pada solusi teknologi yang lebih berkelanjutan dan mendukung ekonomi sirkular."
Widya menjelaskan soal komposisi biomassa yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, dan bahan aditif lainnya. Ia memberi contoh kilang hayati yang bisa menkonversi biomassa menjadi bioetanol dan bio-oil. Pemanfaatan biomassa juga dapat mengurangi emisi karbon dan ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Widya juga menjelaskan manfaat Lignin, salah satu komponen dalam biomassa. Salah satunya adalah Lignin yang dapat diubah menjadi berbagai produk untuk bahan kimia, kertas, bahan aditif tahan api, dan bahan kosmetik.
Namun Widya juga mengungkapkan beberapa tantangan yang dihadapi untuk penerapan kilang hayati ini. “Teknologi kilang hayati saat ini masih dalam tahap pengembangan. Ketersediaan biomassa juga masih tersebar secara tidak merata di berbagai daerah,” kata dia.