Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta sekolah negeri harus dapat menjadi contoh keragaman dan kemajemukan di Tanah Air. Pernyataan ini disampaikan masih terkait dengan aturan baru tiga menteri untuk seragam sekolah dan atribut agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sekolah tidak bisa menyeragamkan pakaian dengan atribut agama tertentu, saya meyakini sekolah negeri dapat menjadi model dan contoh keragaman dan kemajemukan,” ujar komisioner Retno Listyarti dalam webinar yang dipantau di Jakarta, Senin 8 Februari 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Retno menambahkan, sekolah menjadi ruang pertemuan bagi siswa dari berbagai latar belakang agama, ekonomi dan budaya. Di sekolah pula, siswa dapat belajar tentang toleransi, menyemai keragaman dan nilai-nilai kebangsaan.
KPAI, kata Retno, menyambut baik Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri mengenai seragam sekolah yang baru dibuat. KPAI setuju penggunaan atribut agama merupakan hak anak dan tidak boleh dipaksa.
SKB mengatur tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan. Di dalamnya dijelaskan kalau pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
Pemda dan kepala sekolah juga wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan bersama itu ditetapkan. Ada sanksi yang juga telah diatur jika aturan tak dituruti sekolah atau daerah.
Catatan diberikan KPAI untuk sanksi yang ditetapkan. KPAI tidak berharap itu memiliki ekses yang merugikan bagi siswa dan sekolah. Menurut Retno, Kemendikbud harus memikirkan dampak pemberian sanksi tersebut pada anak.
Catatan lain yang diberikan adalah bahwa masalah toleransi bukan hanya soal jilbab atau seragam sekolah. Retno menunjuk pula beberapa hal seperti intervensi pemilihan Ketua OSIS. Lalu perihal jam pelajaran agama.
"Siswa minoritas tidak mendapatkan perhatian yang layak karena mereka terpaksa belajar di perpustakaan atau di selasar kelas. Seharusnya hal itu mendapatkan perhatian lebih,” katanya.
Dalam keterangan terpisah, Komnas Perempuan menyoroti kebijakan seragam dengan identitas agama tertentu di lingkungan pendidikan justru sering kali perpanjangan dari kebijakan daerah setempat mengenai aturan busana. Dicatatnya, ada 62 kebijakan daerah yang memuat aturan tersebut di 15 provinsi.
Bentuknya, peraturan daerah (19) dan peraturan dan kebijakan kepala daerah di tingkat provinsi dan kota/kabupaten (43).
Sepanjang 2009-2020 Komnas Perempuan juga mencatat bahwa pihak yang berbeda pandang mengenai aturan tersebut dapat merisikokan diri untuk mengalami diskriminasi. Risiko itu nyata di antaranya diabaikan dalam layanan publik, sanksi administratif hingga kehilangan pekerjaan, diejek, dikucilkan, maupun kekerasan dan persekusi.
"Akibatnya, pihak yang berbeda pendapat memilih berdiam diri, yang kemudian dimanfaatkan sebagai tanda 'persetujuan' atas keberadaan kebijakan diskriminatif itu," kata satu komisionernya, Imam Nahei, yang menambahkan risiko juga ditemukan di beberapa daerah meski tidak ada kebijakannya.
Komnas Perempuan, kata Imam, mengapresiasi pertimbangan mengenai hak konstitusional warga dan pentingnya merawat kebhinekaan bangsa, sebagai landasan pijak dari SKB Tiga Menteri.
"Sehingga warga dapat memilih secara bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakan seragam sekolah dengan atribut keagamaan sesuai agama dan keyakinannya itu,” ujarnya.