Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bawah langit Frankfurt yang cerah, Kuaetnika dan Djaduk Ferianto menggebrak panggung paviliun Indonesia di Festival Tepi Sungai atau Museumsuferfest. Sabtu sore dua pekan lalu, kelompok musik Kuaetnika tampil dengan irama dinamis dan sarat suara tradisional membawakan medley lagu-lagu daerah. Penampilan grup asal Yogyakarta itu langsung menghentikan langkah para pengunjung yang tengah melewati kawasan Nizza di tepian Sungai Main, Frankfurt, Jerman.
Suara seruling Bali yang mendayu-dayu menyihir para penonton yang memadati area panggung stan Indonesia. Mereka begitu menikmati alunan musik tradisional Nusantara yang disajikan Kuaetnika bersama Djaduk Ferianto itu. Saat irama terdengar kian rancak, mereka serentak berdiri condong ke belakang, menyilangkan lengan ke dada, dan menggerak-gerakkan kepala. Adapun anak-anak balita dibiarkan menari-nari dan berlari-lari di depan panggung.
Kuaetnika dan Djaduk Ferianto menjadi magnet stan Indonesia di festival itu. Dalam perhelatan yang berlangsung pada 28-30 Agustus lalu itu, Indonesia juga menampilkan Barong Osing Banyuwangi. Sebelum tampil di panggung, Barong diarak berputar di antara tepian Sungai Main dan stan Indonesia diiringi tetabuhan rebana dan gong. "Arak-arakan itu merupakan prosesi barong ider bumi," kata Aekanu Hariyono, pemimpin sanggar Barong Banyuwangi, yang didatangkan langsung dari Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur. Prosesi tersebut dipercaya dapat mengusir bala bencana atau menolak bala.
Panggung Indonesia juga dimeriahkan oleh penampilan Dwiki Dharmawan and World Peace Ensemble. Kali ini Dwiki memboyong tiga teman musikusnya dari Polandia dan seorang dari Dubai. Setidaknya enam lagu dibawakan Pawel Urowski, Piotr Cecki, Adam Golicki, dan Kamal Musallam serta Dwiki. Komposisinya antara lain berasal dari album World Peace Orchestra berjudul Nuansa; album baru Dwiki yang belum diluncurkan, So Far So Close; serta medley lagu daerah, seperti Janger, Paris Barantai, dan Ilir-ilir. Plus sebuah komposisi bernada Timur Tengah karya Kamal Musallam.
Beberapa pengunjung sengaja datang dengan kamera video kecil dan merekam aksi panggung World Peace Ensemble. "Kemarin saya kebetulan lewat ketika grup ini manggung. Musiknya pas dengan selera saya. Jadi saya ambil pamflet jadwal acara dan kembali hari ini untuk merekam mereka," kata Janet Krause, mahasiswi Universitas Johann Wolfgang Goethe, Frankfurt. Krause mengaku sering merekam penampilan musikus di festival.
Pengunjung kian membanjiri panggung Indonesia ketika kelompok angklung sumbangsih komunitas Indonesia di Frankfurt membuka pertunjukan pada hari kedua festival. Penonton yang tidak bisa mendapatkan tempat di depan panggung tetap antusias berusaha melihat dengan mengintip dari sela-sela tenda dari belakang stan Indonesia. Tak kurang dari delapan lagu daerah dibawakan kelompok angklung Frankfurt itu.
Tahun ini Indonesia menjadi tamu kehormatan Festival Tepi Sungai Frankfurt. Hal itu berkaitan dengan tampilnya Indonesia sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair atau Pameran Buku Frankfurt pada Oktober mendatang. Sebagai tamu kehormatan, Indonesia mendapat kehormatan mengisi area utama Museumsuferfest di kawasan Nizza. Boleh dibilang, 2015 adalah tahun Indonesia.
Festival Tepi Sungai atau Museumsuferfest sendiri merupakan pesta rakyat terbesar di kawasan Sungai Rhein dan Main, Jerman. Festival ini digelar sejak 1988 dan setiap tahun selalu memiliki tema khusus dan tamu kehormatan. Pada 2011, Italia menjadi tamu kehormatan karena pada tahun itu negara tersebut merayakan Hari Penyatuan ke-150. Pada 2012, Selandia Baru menjadi tamu kehormatan karena juga menjadi tamu kehormatan Pameran Buku Frankfurt pada tahun tersebut. Tahun ini, selain Indonesia, Spanyol menjadi tamu kehormatan kedua di festival ini. Spanyol untuk keempat kalinya menempati titik lokasi yang sama, berdekatan dengan stan Indonesia.
Festival digelar di kedua sisi bantaran sungai antara dua jembatan pejalan kaki Eiserner Steg dan Holbeinsteg sepanjang delapan kilometer atau masing-masing empat kilometer tiap sisi. Sesuai dengan namanya, Museumsuferfest, semua museum dan galeri seni di seluruh Frankfurt membuka pintu dan memamerkan koleksinya. Kawasan ini dipenuhi dengan museum seni, sejarah, seni kontemporer, dan budaya. Seluruhnya lebih dari 23 museum yang berdiri di tepian Sungai Main membuka pintunya dan mengadakan pameran khusus dalam festival ini. Untuk itu, panitia dari pemerintah kota menjual tiket terusan berupa pin seharga 7 euro (sekitar Rp 112 ribu). Dengan menunjukkan pin itu, pengunjung bebas melihat-lihat koleksi semua museum, galeri seni, pergelaran seminar, dan bengkel kerja di museum selama festival berlangsung.
Di area sepanjang 100 meter dan selebar sekitar 10 meter, paviliun Indonesia menjajakan sajian kuliner populer, seperti nasi goreng, sate, pempek, mi goreng, es cendol, dan mi bakso. Seperti jamaknya paviliun Indonesia di pameran atau festival budaya di luar negeri, cendera mata khas daerah tertentu juga jadi isi salah satu stan, seperti cendera mata khas Tapanuli. Kali ini yang istimewa adalah adanya stan buku "Island of Books", menawarkan buku-buku karya penulis Indonesia. Tentu, yang paling banyak dipegang dan dilirik adalah buku-buku bergambar pemandangan Indonesia.
Setelah kelompok angklung, Bonita and the hus BAND mendapatkan giliran tampil. Lagu Marilah Kemari dari Titiek Puspa sebagai pembuka ternyata memancing perhatian publik Indonesia yang juga memadati stan merah-putih itu. "Saya tidak menyangka animo dan antusiasme publik Frankfurt sangat besar, dan juga mereka terlihat sangat terhibur dengan sajian musik kami. Kami merasa terharu," ujar Bonita.
Penonton yang betah dihibur Bonita and the hus BAND semakin terhibur dengan munculnya Mian Tiara dan Sri Hanuraga. Alunan piano jazz dan klasik Sri Hanuraga membius para penonton. Antusiasme penonton juga terasa ketika Dira Sugandi hadir di panggung. Dia membawakan tujuh lagu dari berbagai jenis musik, dari lagu nasional Tanah Airku, lagu daerah Cublak-cublak Suweng, hingga lagu dari album Dira yang diciptakan pentolan Incognito, JP "Bluey" Maunick. Saat lagu Tanah Airku mengalun, Merah Putih ditayangkan di layar LCD raksasa. Beberapa penonton dari kalangan warga Indonesia terlihat emosional dan ikut menyanyikan lagu itu. Adapun penonton Eropa yang datang berpasangan tampaknya mengira lagu itu adalah lagu cinta, lalu mempererat pelukan ke pasangannya dan bermesraan.
JFlow sebagai penampil berikutnya seperti memanggil publik muda Frankfurt. Mereka awalnya terperangah karena tidak menyangka panggung Indonesia juga bisa menawarkan musik sesuai dengan selera mereka. "Eh, ternyata ada juga hip-hop-nya," kata Lukas dan Fabian, remaja 15 tahun, yang sengaja datang untuk berpesta di panggung musik elektro.
Indonesia tanpa dangdut bukanlah Indonesia. Kuaetnika mengaku diminta Slamet Rahardjo Djarot, dari Komite Pertunjukan, Pameran, dan Seminar (KPPS), penanggung jawab acara Indonesia di Frankfurt kali ini, untuk membawakan lagu dangdut. "Kuaetnika memang kadang-kadang membawakan lagu dangdut untuk acara televisi. Tapi, karena ini lokasinya bukan di dalam ruangan, tentunya konsep panggungnya berbeda dengan acara TV," kata Djaduk Ferianto, pemimpin Kuaetnika, menjelang tampil pada hari ketiga, Ahad malam.
Untuk pertunjukan di Festival Tepi Sungai, Kuaetnika menawarkan tema dangdut kampung atau dangdut Pantura. Kostum para penyanyi Kuaetnika dan pemain musiknya pun berbeda dengan kostum yang dipakai dalam pertunjukan sore harinya. Pada sore hari Kuaetnika tampil dengan kostum Bali, malam hari mereka tampil kocak dengan kostum khas dangdut koplo, seksi dan mengundang tawa. Djaduk Ferianto, misalnya, memakai topeng kayu bergigi besar-besar. Sedangkan para penyanyi perempuan memakai gaun satin merah jambu dengan tempelan bunga-bunga kain dan gaun hitam rumbai-rumbai serta kaus kaki jaring.
Aksi panggung paviliun Indonesia ditutup dengan penampilan DJ Cream. Dalam tiga hari itu, DJ Cream memadukan musik elektronik dengan lagu-lagu populer Indonesia dasawarsa 1990-an dan awal 2000-an. Publik Jerman yang sudah jenuh dengan kepadatan sisi Sachsenhausen mulai memadati sisi Frankfurt. DJ Cream beruntung mendapat limpahan publik disko dari sisi seberang sungai.
Pada hari terakhir festival, tercatat sekitar satu juta orang mengunjungi Museumsuferfest. Mereka datang terutama karena pesta kembang api sebagai penutup festival. Seperti yang disampaikan Wali Kota Frankfurt Peter Feldmann dalam pembukaan festival, tahun ini pesta kembang api akan diiringi lagu-lagu Indonesia. Biasanya festival itu selalu diakhiri dengan pesta kembang api diiringi musik klasik. Benar saja, suara Glenn Fredly dan Gita Gutawa mengiringi ledakan kembang api selama 30 menit menutup festival. Panitia Museumsuferfest dari Pemerintah Kota Frankfurt memperkirakan sekitar 2,3 juta orang mengunjungi Festival Tepi Sungai tahun ini.
Luky Setyarini (Frankfurt)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo