Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mengembalikan Pamor Arsitektur Tropis Indonesia

Sebagai tamu kehormatan, Indonesia juga menampilkan pameran arsitek di Museum Arsitektur Jerman di Frankfurt.

7 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur itu bukan hanya tentang keindahan suatu ruang hunian, melainkan juga cara mencari solusi atas suatu masalah yang menyangkut ruang hunian," kata arsitek Avianti Armand, kurator pameran bertajuk "Tropicality: Revisited", yang dibuka di Museum Arsitektur Jerman di Frankfurt, Jumat dua pekan lalu.

Pameran arsitektur tropis yang digelar hingga 17 Januari 2016 itu merupakan bagian dari Festival Tepi Sungai atau Museumsuferfest. Indonesia sebagai tamu kehormatan berpartisipasi dengan menggelar pameran Tropicality: Revisited di Museum Arsitektur Jerman di Frankfurt.

Tropicality: Revisited dimulai dengan sejarah arsitektur kolonial sejak 200 tahun silam. Sejarah arsitektur tropis dimulai ketika orang-orang Eropa datang ke kawasan tropis pada abad ke-19. Mereka waktu itu mengalami hal baru, panasnya udara, kelembapan yang tinggi, dan nyamuk. Abad itu juga sedang mengalami masa ketika bentuk bangunan, gedung, atau rumah sama di mana-mana. Solusinya adalah arsitektur yang kini dikenal sebagai arsitektur kolonial, dengan langit-langit yang tinggi dan jendela yang besar-besar.

Sampai akhirnya orang Eropa datang dan membawa wawasan baru, nilai-nilai baru. Nilai dan wawasan baru ini kemudian diadaptasi sebagai nilai-nilai kita di Indonesia. Arsitektur tropikalitas ini merupakan hasil dialog antarbudaya. Pengaruh bangunan tradisional hasil perkawinan antara budaya arsitektur Nusantara dan Eropa diwujudkan dalam arsitektur bangunan Institut Teknologi Bandung pada 1918-1920. Ini terlihat pada bentuk atap yang bertingkat dan melebar. Bentuk atap ini berfungsi menahan curahan hujan yang sangat deras dan menghalau teriknya sinar matahari.

Dengan pesatnya perkembangan teknologi di dunia, penemuan alat penyejuk udara, dan perkembangan arsitektur dunia, justru arsitektur tropis kemudian menjadi anak tiri di kawasan sendiri. "Tema tropikalitas ini sebenarnya sudah lama menjadi isu penting arsitektur di kawasan tropis. Tapi, seiring dengan perkembangan teknologi dan tuntutan manusia yang ingin hidup nyaman dengan cepat, tropikalitas belakangan ini jarang dibicarakan," ujar Avianti.

Setiadi Sopandi, yang juga menjadi kurator pameran ini, menambahkan bahwa kini orang dengan mudah, karena ingin cepat, mengatasinya dengan ruang berkaca dan berpenyejuk udara. "Masalah memang selesai, udara di dalam ruangan menjadi nyaman disesuaikan dengan keinginan," kata Setiadi.

Tapi itu berbuntut panjang. Krisis energi dan lingkungan atau tepatnya pemanasan global seperti menampar pipi sebagian arsitektur negara-negara tropis.

Solusi yang ditawarkan pameran ini adalah bentuk dan materi bangunan serta fungsi bangunan yang ramah lingkungan dan hemat energi. Misalnya dengan menawarkan koridor udara yang lebar untuk ventilasi yang lebih baik serta atap lebar sebagai peneduh dan anti-tampias hujan. Pameran ini menyuguhkan 12 karya arsitek yang membuktikan bahwa ruang hunian di kawasan tropis tidak perlu menggunakan penyejuk udara sekaligus menawarkan kenyamanan.

Dua belas karya arsitektur yang dipamerkan dikategorikan dalam 12 pendekatan konteks dan lokalitas. Dua belas pendekatan itu menunjukkan bagaimana para arsitek menerima dan mengadaptasi tropikalitas dalam perwujudan rancangan mereka. Fleksibilitas dan kebebasan arsitektur tropis menjadi pegangan dalam merancang. "Setiap arsitek yang berada di Indonesia memiliki kebebasan dalam merancang antara lain karena regulasi yang sebetulnya tidak jelas," kata Setiadi. "Justru karena regulasi yang tidak jelas itu malah membebaskan arsitek dalam berkreasi".

Karya Achmad Tardiyana, misalnya, selain mengambil bahan organik segar seperti bilik bambu, juga mengambil bahan organik daur ulang, yakni balok dan papan kayu bekas. "Dengan begitu, bisa dikatakan rumah itu tidak memerlukan energi yang banyak dalam pembangunannya," ujar Setiadi.

Karya Achmad Tardiyana dinamai Rumah Baca. Disebut begitu karena lantai dasar rumah di bilangan Awiligar, Bandung, itu terbuka untuk para tetangganya, berisi perpustakaan umum tempat semua orang bisa bebas keluar-masuk dan membaca. Selain ruang baca dan perpustakaan, Rumah Baca dilengkapi panggung terbuka dan teras yang luas, menampung anak-anak tetangga yang bebas bermain di halaman rumahnya.

Arsitek Eko Prawoto menampilkan foto-foto dan maket rumahnya di Yogyakarta. Rumah yang sebenarnya sudah berumur hampir 30 tahun ini menjadi pilihan para kurator karena, selain mengaplikasikan filosofi "rumah tumbuh", menggunakan bahan-bahan organik daur ulang dan sangat fleksibel. "Setiap ruangan tidak dibuat permanen dalam penggunaannya. Misalnya, kalau rumah-rumah lain kan sudah ditetapkan di mana letak stop kontaknya dan letak televisi ada di suatu sisi dinding. Sedangkan rumah Eko Prawoto lebih bebas. Kapan saja dia bisa mengubah fungsi ruang atau bahkan sisi dinding tertentu," Setiadi menjelaskan.

Bahan pembangun rumah juga diusahakan terbuat dari organik daur ulang. Selain papan kayu bekas, genting, serta kusen jendela dan pintunya dari barang bekas. Secara berkala, Eko Prawoto mengganti bagian-bagian dinding atau pintu yang sudah lekang dimakan waktu. "Dengan begitu, dia bisa menerapkan fleksibilitas yang dia yakini," kata Setiadi.

Di rumah Eko Prawoto berdiri pohon, yang membuatnya tidak bisa menutup ruang tengah dengan atap. Hujan dibiarkan masuk ke ruang tengah, lubang itu berfungsi juga sebagai ventilasi utama rumah itu. Jika hujan mendera, mebel-mebel yang ditaruh di ruang tengah ditepikan agar tidak terkena hujan.

Selain rumah-rumah pribadi, karya arsitektur yang dipamerkan di Frankfurt adalah foto dan maket Masjid Baiturrahman di Desa Kopeng, Sleman, Yogyakarta: bioskop misbar di Jalan Medan Merdeka, Jakarta; dan Restoran Almarik di Gili Trawangan, Lombok.

Dua belas karya arsitektur yang dipamerkan itu dipilih melalui proses yang cukup panjang. Pada Desember tahun lalu, duo arsitek muda Indonesia itu membuka peluang untuk para arsitek dan kontraktor yang memiliki karya sesuai dengan tema tropikalitas. Jumlah karya yang diterima kurator awalnya ada sekitar 80. Pada Maret 2015, ada 12 karya yang terpilih. Proses selanjutnya adalah pemotretan bangunan dan pembangunan model. Dalam instalasi model, arsitek Jerman, Mario Lorenz, juga dilibatkan. Ini terkait dengan pemilihan material model agar mudah dirakit dan dilepas, serta tahan lama dan tidak mudah rusak.

Direktur Museum Arsitektur Jerman Peter Cachola Schmal terkesan oleh Indonesia karena dia pernah menghabiskan masa remajanya di Jakarta. "Berhubungan dengan arsitektur tropis ini, saya mengenal betul bagaimana dulu rancangan bangunan di Indonesia dan bagaimana rasanya tinggal di dalamnya. Semoga pameran ini mengembalikan pamor arsitektur tropis Indonesia yang sebenarnya sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan orang Indonesia," kata Schmal.

Luky Setyarini (Frankfurt)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus