Yang pertama yang hendak saya jelaskan adalah, saya bukanlah seorang penganut Khonghucu, melainkan seorang yang peduli kepada mereka yang beragama Khonghucu. Saudara Sudarma Sumadi (TEMPO, 25 Desember 1993, Komentar) - mengatakan bahwa Khonghucu sebagai agama tidak ada dasar hukum positif yang mengaturnya (walaupun pernah ada Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965, yang mengakui Khonghucu sebagai agama). Menurut saya, pendekatan Sudarma Sumedi sangat legalistik, bahkan purely legalistic. Pendekatan yang, antara lain, dipelopori oleh Hans Kelsen ini memang pernah sangat populer, pendekatan yang tak mempedulikan apakah "jiwa" sebuah undang-undang sesuai atau tidak dengan "jiwa" rakyatnya. Tapi pendekatan ini kemudian ditinggalkan. Gantinya adalah sosiological jurisprudence yang, justru, sangat peduli dengan "hati nurani rakyat". Setahu saya, dengan beberapa karakteristik lain, pendekatan ini pula yang diterapkan di Indonesia, antara lain dikembangkan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja dengan "mazhab Unpad"-nya. Salah satu prinsipnya adalah, hukum bukan semata-mata harus sesuai dengan jiwa rakyatnya (the inner order of society), tapi juga dapat menjadi sarana pembaru masyarakatnya. Peran hukum, khususnya undang-undang, dalam mengatur kehidupan beragama bukanlah sekadar mempertanyakan "apakah hal itu ada undang-undangnya atau tidak", melainkan "bagaimana seharusnya undang-undang mengatur masalah itu". Undang-undang yang tak sesuai dengan jiwa rakyatnya hanya akan membenarkan pepatah lama: "law in book is different from law in action." Artinya, agama yang tampak pada KTP seseorang bukan jaminan itulah agama yang ia yakini. Dan sebaliknya, seseorang bisa saja mempraktekkan suatu agama yang ia yakini yang tak tertera pada KTP-nya. Sebab, hak seseorang untuk menganut suatu agama adalah hak asasi. Sebagai hak asasi, ia bersifat inheren, melekat. Hak itu telah ada sejak manusia mengakui dan menyadari dirinya sebagai makhluk Tuhan. Karena bersifat inheren, bila undang-undang, misalnya, tidak mengakuinya, tak berarti hak itu menjadi hilang atau tidak ada. Undang-undang (bahkan undang-undang dasar), penguasa, atau negara sekalipun, tak dapat meniadakan hak ini, kecuali jika kita hendak melakukan tindakan yang paling mustahil, yakni tidak mengakui adanya hak asasi manusia. Bahwa kemudian rakyat patuh pada suatu ketentuan undang-undang yang membatasi hak asasinya untuk menganut suatu agama terbatas pada agama-agama yang resmi diakui oleh undang-undang itu, adalah soal lain. Mungkin saja rakyat patuh karena takut. Atau, karena ia sadar bahwa sebagai warga negara ia wajib taat kepada undang-undang negara, sekalipun kepatuhan itu "mengkhianati" hati nuraninya. Bukan kepatuhan demikian, tentunya, yang diinginkan oleh undang-undang dan kita semua. Kini masalahnya tinggal pada pilihan kita: apakah kita akan memilih yang sekadar taat karena takut, atau taat karena sadar secara tulus sampai ke dasar hati nurani.PALGUNAMahasiswa Program Pascasarjana Unpad, Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini