Sarlito Wirawan Sarwono*)
*) Psikolog
JUDUL di atas adalah acara di SCTV yang diasuh oleh Dewi Hughes. Dalam salah satu episodenya, dipertontonkan kisah nyata Juju, seorang cewek yang ngefans berat pada bintang sinetron Anjasmara. Begitu ngefans-nya, sampai Juju ikut bergabung dalam DNA (Dian Nitami Anjas) Fans Club. Berkali-kali ia berkirim surat pada Anjas, yang dibalas Anjas lengkap dengan foto dirinya, sehingga Juju punya banyak sekali foto idolanya itu.
Kemudian, pada puncak acara, Juju, yang diwawancarai di rumahnya, ditanya bagaimana rasanya jika ia betul-betul bertemu dengan Anjas. Juju menjawab dengan setengah histeris, dengan berkali-kali menyebut nama Allah, bahwa ia akan senang setengah mati, dan pada saat itulah Anjas benar-benar muncul di pintu ruang tamu tempat wawancara sedang berlangsung. Maka, menjerit histerislah Juju. Berteriak, tertawa, menutup muka, membukanya lagi, memukuli Anjas dengan gemasnya, berjabat tangan berkali-kali, dan mencucurkan air mata bahagia.
Di sisi lain, judul karangan ini juga menjadi mimpi yang menakutkan bagi orang tua empat gadis remaja yang tewas sebagai korban desak-desakan di Mal Taman Anggrek, Jakarta, 18 Maret 2001 lalu, ketika ratusan gadis berusia remaja awal (istilah popnya: cewek ABG) berdesakkan untuk berebut minta tanda tangan grup penyanyi a1. Sama dengan Juju, cewek-cewek di Mal Taman Anggrek itu tiba-tiba berubah menjadi histeris, bahkan beringas. Masing-masing ingin berada sedekat mungkin dengan idola mereka, kalau bisa bukan hanya minta tanda tangan, tetapi juga memeluk, bahkan kalau mungkin menciumi cowok-cowok itu. Pokoknya, mimpi harus menjadi kenyataan.
Tetapi cewek-cewek di Mal Taman Anggrek itu tidak seberuntung Juju, yang bertemu dengan Anjas karena produser acara mendatangkan Anjas untuk dirinya seorang. Mereka terpaksa berebut satu lama lain, saling mendorong dan menginjak. Satpam dan panitia pun tidak mengantisipasi reaksi yang sedahsyat itu, sehingga jatuhlah korban. Mimpi buruklah yang menjadi kenyataan, bukan hanya bagi para orang tua, tetapi juga bagi panitia (terpaksa berurusan dengan polisi), grup a1 itu sendiri (pasti tidak menyangka show-nya akan berakhir dengan tragis), dan tentu saja masyarakat pada umumnya (yang pasti miris membayangkan peristiwa itu).
Yang menjadi pertanyaan banyak orang adalah mengapa cewek-cewek seperti Juju harus histeris pada cowok idolanya. Ini bukan hanya terjadi di Mal Taman Anggrek atau di Jakarta. Ketika penulis masih suka diajak oleh sebuah majalah remaja berkeliling ke berbagai kota besar di Indonesia untuk menggelar acara bersama para cover boy dan cover girl, peristiwa seperti di Mal Taman Anggrek selalu terjadi (bahkan mereka yang jeli pasti mengamati bahwa gejala ini terjadi di seluruh dunia, sejak zaman The Beatles). Anehnya, yang histeris hanya para cewek. Kalaupun ada cowok yang datang pada acara itu, mereka hanya menonton dengan bengong ketika para cover girl berlenggak-lenggok di cat walk.
Sayangnya, belum ada penelitian atau literatur yang pernah penulis baca mengenai fenomena yang satu ini. Tetapi jika digunakan teori-teori psikologi yang standar saja, penulis terpikir pada teori psikoanalisis, karena kedekatannya dengan gejala ini. Sigmund Freud, penggagas teori tersebut, menyatakan bahwa setiap orang mempunyai dorongan seks (libido sexualis) dan karenanya pada usia tertentu (usia awal remaja atau ABG), individu mulai tertarik pada lawan jenis. Hal ini terjadi pada pria maupun wanita.
Tetapi kebudayaan pada umumnya lebih memberikan keleluasaan pada laki-laki untuk menyatakan dan menyalurkan libidonya. Sejak akil balig, laki-laki boleh menyatakan cintanya kepada setiap wanita yang disukainya, tetapi tidak demikian halnya dengan perempuan. Laki-laki pun lebih bebas mengumbar khayalannya (dalam istilah Hughes: mimpi-mimpinya) dengan percakapan miring dengan kawan-kawannya. Literatur dan VCD porno, bahkan lokalisasi pelacuran, juga terbuka lebar untuk laki-laki, tetapi tidak buat wanita. Dalam istilah Freud, superego (sistem nilai pada jiwa manusia) pada wanita berfungsi lebih ketat untuk menekan naluri-naluri dan Id (yang berisi naluri seks dan agresif). Sehingga, kalaupun naluri-naluri itu harus dimunculkan, terlebih dahulu harus melewati proses sublimasi (yang diperbolehkan oleh budaya masyarakat) agar Ego (Aku) mampu melakukannya.
Dalam masyarakat tempat kawin muda masih menjadi kebiasaan, gejala Juju-isme ini tidak begitu terasa. Sebab, cewek-cewek ABG-nya sudah bersuami. Tetapi pada masyarakat mo-dern tempat para ABG harus bersekolah dulu selama belasan tahun, gejala ini lebih nyata. Acara seperti di Mal Taman Anggrek ataupun acara Mimpi di SCTV adalah salah satu bentuk sublimasi tempat para cewek boleh menyalurkan libidonya dengan lebih terbuka. Tidak mengherankan jika mereka sampai histeris. Bahkan Juju ikhlas saja disun oleh Anjas walaupun ia berjilbab dan tidak pernah lupa menyebut nama Tuhan.
Sejauh ini penulis merasa bahwa teori Freud ini dalam kasus histeria massa para cewek ini banyak benarnya. Karena itu, jika akan ada acara yang mendatangkan tokoh idola cowok dan cewek ABG diharapkan menghadirinya, panitia harus ekstrahati-hati dengan mengambil setiap langkah pengamanan seketat mungkin (kontrol tiket masuk, jaga jumlah penonton agar tidak melebihi kapasitas, jaga jarak antara panggung dan penonton, dan sebagainya).
Sementara itu, para orang tua atau pendidik lebih baik mengorganisasi putri-putri atau anak didiknya yang kelewat antusias untuk menonton. Jangan melarang, karena mereka malah akan berangkat dengan sembunyi-sembunyi. Berangkatkan mereka dalam satu kelompok yang terorganisasi dengan seorang yang paling senior (bisa salah seorang kakak atau kalau perlu orang tua atau guru sendiri) bertugas sebagai koordinator. Dalam situasi gawat, koordinator bisa segera menarik mundur anggota rombongannya dan menyelamatkan mereka ke tempat yang aman. Bagaimanapun, nyawa para remaja itu terlalu berharga untuk dikorbankan hanya demi sesosok idola dan sebuah mimpi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini