Julia I. Suryakusuma*)
*) Sosiolog dan Direktur Eksekutif Yayasan Almanak Politik Indonesia (API), yang bergerak dalam bidang penelitian, informasi, dan publikasi politik
SALAH satu dari segunung permasalahan yang saat ini dihadapi Indonesia adalah tidak adanya kepemimpinan nasional yang berkualitas. Padahal, kepemimpinan merupakan komponen vital dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi negara ini.
Hingga sekarang, Indonesia telah mempunyai empat presiden: Sukarno, Soeharto, Habibie, dan Abdurrahman Wahid. Walaupun pemerintahan Abdurrahman baru berusia 17 bulan, tuntutan agar dirinya mundur telah sedemikian lantangnya. Sejarah berulang kembali: setelah terjadi pada 1966 (dengan Sukarno), 1998 (dengan Soeharto), dan 1999 (dengan Habibie), kini?pada tahun 2001?terjadi dengan Abdurrahman, ketika ia dianggap gagal melanjutkan proses reformasi dan gagal mengatasi berbagai masalah yang dihadapi Indonesia.
Kita semua tahu, cara termudah untuk "mengatasi" masalah adalah dengan menyalahkan orang lain. Dan karena persoalan yang dihadapi Indonesia sangat besar dan kompleks, cara yang paling praktis untuk menghadapinya adalah dengan mereduksinya menjadi satu permasalahan: kepemimpinan nasional. Tentunya, saat ini Abdurrahman merupakan sasaran yang paling empuk. Namun, sebenarnya, sejak dulu, menunjuk hidung merupakan hobi orang Indonesia. Pada era Soeharto, ketika lebih sulit menyalahkan pemimpin nasional, yang menjadi sasaran sering kali orang atau negara asing. Selain itu, selalu ada kaum komunis, unsur-unsur subversif, organisasi tanpa bentuk, atau Islam fundamentalis/radikal yang bisa dijadikan kambing hitam.
Tapi mungkin kini telah tiba waktunya bagi kita untuk memikul tanggung jawab atas krisis yang tengah berlangsung, dan mengakui bahwa jika Abdurrahman memang bersalah, itu karena ia merupakan cermin dari kita, rakyat Indonesia. Abdurrahman lebih dari separuh buta?kita juga demikian, bukan secara fisik, melainkan terhadap kekurangan-kekurangan kita, serta akan kebutuhan untuk melakukan perubahan yang fundamental. Perilaku Abdurrahman susah ditebak, terkadang membuat akibat yang fatal?kita acap menuduh orang lain secara membabi-buta dan melakukan aksi-aksi yang ngawur dan cenderung destruktif. Abdurrahman keras kepala?ini merupakan ciri khas dari orang yang bodoh, yang lemah, tapi juga yang berkuasa. Abdurrahman irasional?lah, budaya politik kita memang tidak rasional, hanya bersandar pada tokoh dan penokohan, etnisitas, agama, serta taktik-taktik di bawah tangan dan manuver-manuver licik. Abdurrahman sering melakukan pengambinghitaman?kita ini merupakan bangsa yang selalu mencari kambing hitam (misalnya, baru-baru ini dengan menghujat semua bentuk kehadiran Amerika Serikat di Indonesia, kecuali McDonald's tentunya). Abdurrahman sangat inkonsisten dan sarat dengan kontradiksi, mengubah-ubah pandangan dan keputusannya setiap saat. Kita juga sering tidak konsisten?kita menuntut kebebasan berekspresi, tapi pada saat yang sama Banser menyerang dan mengobrak-abrik Kantor Jawa Pos untuk sebuah artikel yang dianggap menghina Abdurrahman. Kita menuntut demokrasi, tapi kita sering tidak mau mendengarkan pendapat pihak lain.
Abdurrahman Wahid tidak efektif, minim kebijakan yang dapat diterjemahkan ke dalam perbaikan sosial dan ekonomi yang berdampak memperbaiki kondisi hidup rakyat secara riil. Kita juga tidak efektif, menghabiskan energi untuk gontok-gontokan ketimbang membangun apa yang tersisa dari negara kita yang sudah sedemikian terpuruknya. Abdurrahman seksis dan tidak segan-segan mempergunakan seksisme untuk mendiskreditkan Megawati. Kita ini memang masyarakat yang sangat seksis, bahkan kaum intelektual, aktivis, dan tokoh prodemokrasi kita pun masih sangat tak bebas dari bias gender dan bahkan turut terlibat dalam kasus-kasus pelecehan seksual yang serius. Abdurrahman adalah pembokong dan manipulator?ia bisa dikatakan "mencuri" posisi kepresidenan dari Megawati. Dalam budaya Jawa--yang mendominasi budaya politik Indonesia?yang cenderung menghindari hal yang frontal, pembokongan dan manipulasi merupakan hal yang rutin. Abdurrahman terlibat KKN?sebagai warga salah satu negara terkorup di dunia, mengapa pula kita heran kalau ternyata Presiden Indonesia terlibat dalam kasus korupsi? Abdurrahman sering melakukan blunder (misalnya, menawarkan referendum ke Aceh, kemudian menariknya kembali). Kita acap kali melakukan blunder karena sifat kita yang panasan, mudah berprasangka, penuh ketidaktahuan, serta penuh rasa takut (misalnya, secara keroyokan memukuli orang sampai mati hanya karena ia dicurigai sebagai pencopet). Abdurrahman adalah seorang oportunis, misalnya, menggunakan posisinya sebagai presiden untuk melanglang buana ke berbagai negara, dengan alasan mencari investasi asing. Perjalanannya ini telah menimbulkan bukan hanya amarah, tapi juga kecemburuan. Siapa yang tidak ingin memperoleh kesempatan serupa? Sudah merupakan rahasia umum bahwa pegawai negeri sering melancong ke luar negeri, dengan alasan seminar atau pelatihan, tapi sebenarnya berfoya-foya, berbelanja, serta mengunjungi klub malam.
Yang menyedihkan, semua pemimpin kita adalah cermin dari rakyat, dan lebih spesifik, dari elite politik kita. Dengan demikian, jika kita memandang wajah Soeharto, Megawati, Amien Rais, atau Akbar Tandjung, sebenarnya kita memandang diri kita sendiri. Bila kita mencerca mereka, sesungguhnya kita mengkritik diri kita sendiri. Bila kita menghujat sifat-sifat negatif mereka, kita sebenarnya menunjuk hidung kita sendiri, karena kita adalah mereka, dan mereka adalah rakyat Indonesia.
Dalam suatu masyarakat modern, pemimpin diciptakan, bukan dilahirkan. Mereka diciptakan oleh sistem, yaitu sistem politik dan pemerintahan. Sebuah sistem yang baik seharusnya mampu menyaring dan meminimalisasi berbagai kekurangan serta kecenderungan buruk pemimpin. Tampaknya, untuk saat ini, kita harus "puas" dengan pemimpin dari kalangan elite politik yang itu-itu saja. Setelah Abdurrahman, kemungkinan besar yang akan kita dapatkan sebagai presiden adalah Megawati. Berapa lama ia akan bertahan?
Sebenarnya yang perlu kita lakukan adalah membangun sebuah sistem politik dan pemerintahan baru, dengan mempertimbangkan semua sifat serta karakteristik bangsa dan negara kita. Hanya dengan cara inilah setahap demi setahap kita dapat menyingkirkan para pemimpin yang merugikan rakyat, sekaligus membuka jalan bagi munculnya pemimpin yang lebih baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini