Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ada ha-ha di rusia

Jakarta : grafiti pers, 1986 resensi oleh : bambang bujono.

19 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATI KETAWA CARA RUSIA Editor: Z. Dolgopolova Penerbit: PT Grafiti Pers, Jakarta, 1986, 129 halaman BILA ketawa itu sehat, buku ini boleh digolongkan buku kedokteran. Hampir 200 lelucon berlatar belakang kehidupan Rusia yang diindonesiakan dengan cerdik, sangat keterlaluan bila tak membuat pembaca ketawa - setidaknya tersenyum. Sesudah membacanya, silakan ke dokter. Sebab, judul buku ini, Mati Ketawa, tidak main-main. Ada contohnya. Seorang bapak yang diberi kondom oleh dokter, lalu mencampurkan barang itu ke dalam gandum yang hendak dimasak. Ternyata, si kondom muncul dari anus, menggelembung bak sebuah balon, kemudian meletus. Lima belas dari enam belas anaknya langsung ketawa, terus, dan mati (halaman 98). Mungkin karena kita takut mati (karena ketawa), di Indonesia bacaan humor, baik buku maupun majalah, tampaknya tak begitu menggembirakan. Padahal, Balai Pustaka, dulu, pernah menerbitkan kumpulan kisah jenaka, Teman Duduk, Kawan Bergelut, juga cerita rakyat Sunda Si Kabayan. Lalu ada majalah yang tak begitu populer, di tahun 1950-an, Kompas - tak ada hubungan keluarga dengan harian Kompas - namanya, yang menyajikan anekdot-anekdot dan cerita-cerita lucu dengan piawai. Dan, di zaman Orde Baru terbit Astaga, diasuh oleh Arwah Setiawan pendiri Lembaga Humor Indonesia, majalah yang memang astaga. Juga ada Stop, yang kurang astaga. Tapi, tak semua majalah itu berusia panjang, mungkin karena terlalu banyak ketawa sendiri. Yang jelas, ini menjadi indikasi bahwa humor dan bisnis di Indonesia masih sulit berpadu. Padahal, cerita lucu-lucu, konyol, yang berlokasi di tanah air dengan pemeran bangsa berkulit cokelat - meski ada juga yang kuning atau atau sedikit hitam dan tetap saja dibilang bangsa cokelat - bukannya langka. Buktinya, rubrik Indonesiana di majalah ini bisa dibilang tak kekurangan bahan. Adakah karena banyak lelucon nyata sehari-hari, maka bangsa Indonesia tak begitu antusias terhadap humor? Atau barangkali ada soal lain. Misalnya, buku Mati Ketawa ini merupakan himpunan lelucon dan anekdot yang diciptakan orang-orang Rusia, dan itu karena kebebasan berbicara di sana memang mahal. Lelucon-lelucon itu diciptakan, menurut editor buku ini, guna "meredam ketakutan dan merangsang keinginan berpikir," dan guna "mencairkan kesungguhan yang mencekik." Dan, itu semua tentunya guna tetap menjaga kesehatan Jiwa-raga - salah satu sebab, barangkali, mengapa bangsa Rusia masih ada. Keterlaluannya, pengumpulan lelucon-lelucon oleh serang arsitek, seorang seniman, dan seorang penulis ini pun masih terpaksa dilakukan bersembunyi-sembunyi, lalu diterbitkan di Inggris pada 1982. Jadi, marilah kita bergembira, bahwa kita ternyata tak begitu membutuhkan lelucon karena kebebasan berbicara di sini tak seperti di negeri Joseph Stalin - negeri yang rakyatnya terpaksa menciptakan anekdot ini. Ketika seekor sapi berdiri di tengah jalan di sebuah kota di Uni Soviet dan mengakibatkan mobil yang ditumpangi Roosevelt, Churchill, dan Stalin tak bisa lewat, kedua tamu negara ternyata gagal mengusir itu sapi. Baru setelah Stalin membisikkan sesuatu di telinga sapi, binatang itu menyingkir. Kenapa? Ketua Partai Komunis Soviet itu bilang kepada si sapi, bila "kamu membangkang saya masukkan ke pertanian kolektif." Sampai di sini, teringat Amerika, negeri yang konon meletakkan demokrasi di atas segala-galanya. Tapi, di sana pun ternyata humor berkembang. Tak cuma majalah lelucon diekspor Amerika sampai ke sini, juga sejumlah buku yang membahas lelucon dengan serius ditulis orang. Dan perbedaan yang nyata dengan lelucon Rusia yang hidup diam-diam, di Amerika humor hadir terang-terangan, bahkan bila menyangkut penguasa. Kalau demikian, bukan cuma tekanan, tapi juga kebebasan menjadi tempat subur lelucon. Lalu, di sini, mengapa humor tak begitu subur ? Bumbang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus