Merujuk Quran akan mengurangi subjektivitas, sekaligus menghindari kekeliruan dalam menarik pesan-pesan kitab suci itu. NAMA Toshihiko Izutsu dalam bidang studi Quran sudah tidak asing lagi. Bukunya, The Structure of The Ethical Terms in the Koran, yang diterbitkan Universitas Keio, Tokyo, 1959, mendapat sambutan cukup baik. Buku itu kemudian direvisinya secara total, dan lahirlah buku dengan judul baru, Ethico-Religious Concepts in the Quran kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Konsep-Konsep Ethika Religius dalam Quran. Izutsu memulai bukunya dengan uraian tentang prinsip-prinsip analisis semantik, dan kemudian diikuti dengan pembicaraan tentang konsep pesimistis terhadap kehidupan dunia, semangat solidaritas kesukuan, Islamisasi kebijakan Arab Kuna, yang berkaitan dengan sikap-sikap murah hati, keberaniaan, kesetiaan, kejujuran, dan kesabaran. Uraian-uraian itu menjadi semacam pendahuluan yang amat dibutuhkan untuk sampai kepada konsep-konsep etika Quran. Bagian paling menarik dari buku ini adalah bagian ketiga terdiri dari lima bab. Pada bagian ini Izutsu menerapkan ide, yang intinya mengajak untuk merujuk kepada Quran dalam menarik kesimpulan-kesimpulan menyangkut persoalan-persoalan yang dibahas. Jika dibandingkan dengan karya-karya serupa, maka dapat dikatakan Izutsu merupakan salah seorang pelopor penerapan ide penafsiran tematis yang mengandalkan analisis setematik. Merujuk kepada Quran, untuk menarik pesan dan pengertiannya, ini sejalan dengan anjuran Ali Bin Abi Thalib, ''Istanthiqil Quran.'' Ajaklah Quran berbicara. Cara ini mengurangi sejauh mungkin subjektivitas seseorang, sekaligus menghindari sejauh mungkin kekeliruan dalam menarik pesan-pesan Quran, karena pembahas berupaya menghidangkan Quran, bertanya kepadanya tentang masalah yang dibahas, bahkan tentang pengertian kosakata satu ayat. Al-Syathiby (wafat 1388 M) mengingatkan tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada saat ia bermaksud memahami arti lahiriah dari satu kata menurut tinjauan etimologis, bukan menurut tinjauan pembicara. Kalau apa yang dimaksud pembicara yang menjadi tujuannya, maka ia harus segera memperhatikan seluruh pembicaraan dari awal hingga akhirnya. Inilah yang diperhatikan dan berusaha diterapkan Isutsu dalam karyanya, sehingga ia dapat menyodorkan (langsung dari Quran) konsep- konsep Etika Religius. Muhammad Abduh (1849-1905 M) dalam tafsir Almanar mengingatkan pula cara terbaik untuk memahami kosakata Quran adalah menarik arti-artinya sesuai dengan penggunaan Quran terhadap kata-kata yang ingin dijelaskan. Ini ditempuh juga oleh Izutsu dalam buku ini. Sering kali makna yang ditarik orang yang mempelajari Quran dari satu kata yang digunakan dalam kitab suci ini bersumber dari kamus-kamus bahasa, atau syair-syair pra-Islam. Cara ini dapat menimbulkan kekeliruan karena bukankah bahasa bagaikan makhluk hidup yang juga mengalami perubahan dan kematian, sehingga makna semantik dari satu kata boleh jadi telah berubah akibat adanya apa yang dinamai Isutzu dengan transformasi semantik? Dengan demikian, tulis Izutsu, beberapa kata jadi sangat luas (maknanya), beberapa di antaranya dipersempit, dan beberapa lagi dikembangkan dalam arah yang sama sekali baru. Ambillah contoh kata salat, yang pada mulanya berarti doa telah berubah maknanya menjadi ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Begitu juga menyangkut konsep-konsep yang dikandung oleh arti satu kata. Kata karam (kemuliaan) oleh masyarakat Arab sering kali dikaitkan dengan garis keturunan, tetapi oleh Quran pengertiannya diubah, sehingga pada akhirnya dikaitkan dengan ketakwaan. Ketika menguraikan arti kufr, Izutsu menjelaskan makna dasar akar kata kufr, yaitu menutup. Pada hakikatnya kata itu berarti mengabaikan dengan sengaja kenikmatan yang telah diperoleh, kemudian tidak berterima kasih. ''Sebab itu, kufr sangat sering digunakan sebagai lawan kata yang tepat dari iman,'' lanjut Izutsu. Dengan menjajarkan kufr dan lawannya, serta dengan menyajikan berbagai perbandingan dari ayat-ayat Quran, Izutsu akhirnya memperoleh gambaran yang utuh tentang konsep kufr dalam kaitannya dengan etika Quran. Perlu dicatat, Izutsu belum menguraikan segala aspek kufr yang terdapat dalam Quran, bahkan tidak jelas benang merah yang menghubungkan makna-makna yang beraneka ragam dari kata itu dengan makna dasar dari akar katanya. Quran, misalnya, menggunakan kata akar kufr, yaitu kuffar untuk menunjuk kepada petani, juga digunakannya dalam arti kikir. Nah, apa benang merah yang menghubungkan pertanian dan kekikiran dengan makna menutupi itu? Tidak dijelaskan oleh Izutsu. M. Quraish Shihab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini