Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah rumah tua di Kecamatan Jatiroto, Lumajang, Jawa Timur, membuka pikiran arsitek Andry Widyowijatnoko tentang bangunan. Model rumahnya tak istimewa. Struktur rangka rumah itu terbuat dari kayu. Yang menarik justru pada dindingnya yang tampak terbuat dari batu bata. Namun, ketika ia melihat beberapa bagian yang rusak, ternyata dinding itu terbuat dari anyaman bambu dan plesteran pasir. Menurut warga setempat, bangunan itu telah ada sejak abad ke-20 dan dibangun oleh orang Belanda.
"Dari situ saya menyadari bambu bisa bemanfaat untuk bangunan dengan daya tahan hingga ratusan tahun," kata Andry, arsitek dan dosen Institut Teknologi Bandung. Peristiwa itu terjadi pada 1999, ketika dia sedang menyusun tesis masternya di ITB. Ia kemudian memilih menekuni bambu untuk menyelesaikan penelitiannya.
Hasil penelitian tersebut ia aplikasikan pada rumah tahan gempa di Sukabumi, Jawa Barat. Konstruksi rumah itu memakai plesteran bambu yang ringan dan tak kaku sehingga dapat mengikuti ayunan gempa. Harganya juga lebih murah dibandingkan dengan konstruksi batu bata dan semen. Desainnya ini kemudian berkembang menjadi prototipe rumah bambu di Pasir Impun, Bandung; Nagalan, Sumatera Utara; dan Bali.
Pada 2006 Andry memperdalam ilmu bambu selama dua bulan di Kolombia. Di sana ia bertemu dengan arsitek dari berbagai negara yang sama-sama mengembangkan bambu. Di negara Amerika Latin itu, ia melihat potensi bambunya sama dengan Indonesia. Bedanya, masyarakat Kolombia lebih menghargai dan memanfaatkannya untuk bahan bangunan.
Bambu di Kolombia memiliki nilai jual tinggi. "Bangunan yang terbuat dari bambu sangat prestisius, besar, dan megah," kata pria kelahiran 6 Agustus 1971 itu. Sebaliknya, di Indonesia, material itu justru dipandang murahan dan biasanya dipakai untuk bangunan semipermanen. Kondisi tersebut memicunya untuk membuat proyek konstruksi bambu yang besar di Indonesia. Cita-cita ini baru terwujud pada 2008, ketika ia mendapat proyek membangun Great Hall Outward Bound Indonesia.
Lokasi Great Hall Outward Bound Indonesia berada di dekat Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat. Perjalanan dengan mobil dari Bandung memakan waktu sekitar satu jam kalau kondisi jalan lengang. Dari pintu gerbang waduk, butuh empat kilometer lagi untuk sampai ke lokasi. Suasana di sekitar bangunan sejuk, tenang, dan sepi. Berbagai jenis pohon tumbuh lebat. Nah, di balik pepohonan itulah berdiri gedung tersebut, yang langsung berbatasan dengan Waduk Jatiluhur.
Bentuk bangunan Great Hall Outward Bound Indonesia mirip perahu, tapi dalam posisi terbalik. Dari dalam bangunan pun bisa terlihat langit-langitnya yang membentuk struktur seperti lambung kapal. Bagian ini dibuat seolah-olah melayang sehingga bisa memberi pencahayaan dan sirkulasi udara yang alami. Tak ada kolom di tengah aula besar ini. Semua memakai konstruksi bentang lebar dengan panjang minimal 20 meter dan maksimal 31 meter. Tinggi bangunan mencapai 17 meter.
Aula tersebut berada dalam kompleks tempat pelatihan pembangunan karakter milik Outward Bound Indonesia seluas empat hektare. Bangunan itu sendiri memiliki luas lantai lebih dari 1.000 meter persegi. Daya tampungnya mencapai 700 orang. Gedung itu tanpa mesin penyejuk udara dan jendela. Angin dari luar bisa leluasa bergerak masuk.
Bangunan itu memiliki pintu masuk berbentuk segitiga yang tersambung dengan atap. Rangkaian bambu yang berdiri tegak dari lantai hingga atap ini seperti sebuah kipas yang setengah terbuka. Dari pintu ini langsung masuk menuju aula yang luas. Kerumitan konstruksi bambu semakin terlihat dari dalam.
Andry mengatakan struktur bangunan ini terdiri atas dua lapis dan dua tingkat dengan tambahan atap yang seolah-olah mengambang di udara. Dari lantai, tiang-tiang bambu yang berfungsi sebagai kolom berbaris dalam dua banjar. Di atasnya terdapat satu lantai lagi untuk area mezanin. Kolom ini semakin ke atas bentuknya melengkung seperti lambung kapal, kemudian berubah fungsi menjadi rangka atap.
Andry menggunakan teknik jepit dan tarik dalam membuat bentuk tersebut. Dia menggabungkan teknik sambungan tradisional dan modern. Mur dan baut menjadi elemen utama, yang kemudian ditutup dengan ikatan ijuk. Struktur tarik-menarik atap menjadi balok yang kuat untuk menahan tiang-tiang bambu di bawahnya. Ada pula tiang penyangga diagonal untuk menyambung struktur kolom dan atap.
"Tektoniknya terlihat jelas," kata Andry. Tektonik merupakan istilah arsitektur untuk menyebut bangunan yang sesuai dengan karakter materialnya. Soal perahu terbalik, ia mengatakan memang sengaja memakai bentuk tersebut. "Karena letaknya dekat air. Saya sengaja memberi bentuk yang terkesan dekat dengan alam," ujar dosen Kelompok Keilmuan Teknologi Bangunan di ITB itu. Bangunan ini seolah-olah seperti perahu yang terdampar di pinggir danau.
Desain ini membutuhkan 8.000 ribu bambu, yang terdiri atas jenis gombong, petung, dan tali. Material bambu itu berasal dari Sumedang, Purwakarta, dan Yogyakarta. Konstruksi bambu ini tidak mahal kalau dihitung dari harga materialnya. Harga satu batang bambu sekitar Rp 30 ribu untuk panjang 8-9 meter dan diameter hingga 10 sentimeter. "Yang mahal tenaga kerja dan waktunya," katanya.
Untuk pengawetan, ia merendam bambu dengan boraks. Kalau mengikuti cara tradisional, memotong bambu harus mengikuti musim tertentu dan direndam di sungai. Dua tahun lalu aula ini diresmikan dan meraih penghargaan Karya Konstruksi Indonesia 2011 Kategori Arsitektur dari Kementerian Pekerjaan Umum.
Dalam proses pengerjaan Great Hall Outward Bound Indonesia, Andry sempat melanjutkan studi doktoral di Fakultas Arsitektur Rheinisch-Westfaelische Technische Hochschule Aachen, Jerman, pada 2009. Disertasinya tak jauh dari kesukaannya, yaitu soal sambungan bambu. Selama berada di Jerman, ia sempat menjadi asisten dosen dan menyelenggarakan seminar tentang bambu. "Saya senang bisa mengaplikasikan ilmu dan menginspirasi orang lain," katanya.
Penelitiannya ini kemudian berkembang hingga Andry membuat temuan penting mengenai bambu. Ia mengklasifikasikan konstruksi bambu, sambungan, dan kekuatan daya tariknya. Ia juga menemukan desain sambungan bambu yang memiliki kekuatan tarik sangat tinggi. Jarang sekali orang memanfaatkan kekuatan tarik tersebut karena selalu bermasalah dengan sambungan.
Menurut dia, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam mendesain bangunan dengan material bambu. Pertama, bentuk atap yang lebar dan jauh dari kolom. Teknik ini penting untuk keawetannya. Atap lebar dapat melindungi tiang bambu dari air hujan dan cahaya matahari langsung. Kedua, jarak antara lantai dan tiang harus memungkinkan bambu tetap kering dan tidak lembap. Yang terakhir, ventilasi udara yang banyak supaya angin bergerak masuk ke bangunan dan membuat bambu tetap awet.
Andry optimistis bambu bisa menjadi bahan bangunan di masa depan. Pertumbuhan pohon ini cepat, dalam 3-5 tahun masa pertumbuhannya sudah bisa dimanfaatkan. "Arahnya nanti bambu bisa menjadi pengganti kayu dengan teknik laminasi," ujar Andry. Harganya pun lebih terjangkau. Namun semua itu perlu mendapat dukungan dari hulu, yaitu sebuah perkebunan bambu yang dikelola dengan baik. "Untuk mencapai hal tersebut perlu dukungan pemerintah dan industri."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo