Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka membawakan balet dengan kreasi pilihannya. Ada yang memilih koreografi klasik, balet kontemporer, bahkan ada yang cuma mengambil unsur gerakan balet. Dalam pentas bertajuk "Ballet.id Historia: The Journey of Ballet in Indonesia" di Gedung Kesenian Jakarta, Ahad, 7 Juli lalu, mereka mempertontonkan hasil perjalanan panjang lima sekolah balet di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima sekolah balet itu sudah bertahan lebih dari 20 tahun. Kelimanya adalah Namarina Youth Dance, Marlupi Dance Academy, Ballet Sumber Cipta, EKI Dance Company, dan Cicilia Ballet. Pentas Historia itu merupakan hasil kerja sama Kedutaan Australia dengan Dewan Kesenian Jakarta. "Kami harus menyadari, meski balet tumbuh di negara ini, tetap butuh kerja keras untuk membawa balet ke tingkat yang lebih tinggi," ujar Rusdy Rukmarata, anggota Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedutaan Besar Australia mendatangkan koreografer dan sepasang pebalet dari West Australian Ballet. Sebelumnya, West Australian Ballet pernah tampil di Indonesia pada 1994. "Penampilan The Historia adalah sebuah kesempatan mengingat sebuah waktu berbagi sejarah kita, melanjutkan partnership," ujar Gary Quinlan Ao, Duta Besar Australia untuk Indonesia.
Penampil pertama adalah Namarina Youth Dance. Mereka menyuguhkan Tradikal, koreografi yang mengelaborasi inisiatif silang budaya antara tari tradisional dan kontemporer Indonesia serta balet. Setelah itu, tampil Marlupi Dance Academy. Mereka membawakan koreografi yang diciptakan berdasarkan novel kondang Don Quixote de la Mancha karya Miguel de Cervantes, Don Quixote Suit.
Koreografi Don Quixote Suit mulanya diciptakan Marius Petipa dengan iringan musik Ludwig Minkus dan pertama kali ditampilkan oleh Ballet of the Imperial Boshoi Theater di Rusia pada 1869. Kareografi ini kemudian dihidupkan lagi oleh Alexander Gorsky dan dibawa keliling ke berbagai negara oleh pebalet Anna Pavlova.
Selanjutnya kelompok Marlupi Dance Academy mempersembahkan beberapa variasi dari repertoar tersebut. Para penari anak-anak itu menampilkan karya tersebut dengan bagus. Setelah itu, mereka tampil lagi dengan koreografi kontemporer yang menonjolkan nuansa kesederhanaan dan kerakyatan ala daerah dengan taman hiburan rakyat. Judulnya Rakyat.
Sementara itu, Ballet Sumber Cipta menampilkan koreografi balet kontemporer yang merefleksikan hidup pendiri sekolah balet ini, Farida Oetoyo (almarhumah). Koreografi Serdtse (hati) itu adalah karya Farida ketika ia didiagnosis mengalami penyempitan pembuluh darah. Farida terinspirasi menciptakan koreografi kontemporer meskipun dia belajar balet klasik di Rusia.
Adapun EKI Dance menampilkan seri koreografi beragam genre, dari broadway, kontemporer, etnik, hingga urban. Mereka tidak menampilkan balet murni, melainkan hanya mengambil unsur-unsur gerak balet, itu pun hanya sedikit.
Dari kontemporer, pentas itu kembali ke koreografi balet klasik dengan penampilan empat pebalet dari sekolah Cicilia Balet. Mereka menyajikan Grand Pas de Quatre karya Jules Perrot pada 1845. Para penari balet itu menyajikan gerakan-gerakan dengan teknik klasik yang bertumpu pada kaki dan langkah elegan.
Tak hanya tampil sendiri-sendiri, sekolah-sekolah itu mengerjakan karya bersama dalam kelompok Indonesian Youth Ensemble 2019. Karya yang ditampilkan 16 pebalet itu hasil workshop dengan koreografer Australia Christopher Hill. Karya berjudul One-Together itu menampilkan koreografi perayaan kekuatan dalam kesatuan yang padu.
Pamungkas acara ini adalah penampilan sepasang pebalet West Australian Ballet, Dayana Hardy Acuna dan Juan Carlos Osma. Mereka menarikan koreografi klasik White Swan Pas De Deux, adegan duet antara Odette dan Pangeran Siegfried, dari balet klasik Swan Lake dengan anggun. Mereka juga menampilkan koreografi balet kontemporer dengan indah dari koreografi berjudul In-Sync, salah satu bagian dari karya berjudul In-Synch: Ballet at the Quarry in 2019.
Pertunjukan itu tak hanya menampilkan karya koreografi balet klasik dan kontemporer, tapi juga memamerkan sejumlah arsip sejarah balet di Indonesia sejak 1920-an di selasar kiri GKJ. Pameran arsip memfokuskan pada foto-foto, kopi kliping berita tentang pelatih pertama, yakni para pelatih balet pada kurun 1925-1930-an. Ada pula kliping tentang balet nasional, balet Indonesia pada 1950-1969, dan para penari internasional yang datang ke Indonesia.
Pada bagian kliping balet nasional terdapat arsip foto para penari balet yang mengawali balet di Indonesia, seperti Julianti Parani, Leska Ong, Farida Oetoyo, Jimmy Tan Soe Lin, Wim Roemers, dan Lousie Pandelaki. DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo