Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Anekdot akrab seorang presiden

Pengarang: guntur soekarno jakarta: dela-rohita, 1977 resensi oleh: toeti kakiailatu. (bk)

3 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUNG KARNO Bapakku - Kawanku Guruku Oleh: Guntur Soekarno Penerbit: PT Dela - Rohita, Jakarta, 1977 254 halaman, ukuran saku DALAM prakata, penulisnya menerangkan bahwa buku pertamanya ini adalah "tulisan sederhana yang jauh dari suatu bentuk tulisan yang ilmiah." Di dalamnya terdapat 26 artikel pendek yang berisi pengalaman Guntur ketika usianya masih belasan tahun, dengan Istana Merdeka sebagai rumahnya. Guntur mencoba menuangkan kenangannya ini dalam gaya dialog yang lucu, ringan dan banyak menimbulkan nostalgia bagi mereka yang pernah mengenal Istana Merdeka waktu itu. Hubungan Soekarno dengan Guntur yang waktu menjelang akil baliq memang cukup akrab. Mereka membicarakan segala macam hal, tentang ICBM (Inter Continental Balistic Missiles), tentang AK Gani yang gemar makan pete dan jengkol, tentang Presiden yang dalam salah satu acara menerima surat kepercayaan salah satu duta besar baru mengenakan jas komplit dengan tanda-tanda kebesaran, tapi mengenakan sepatu tenis yang khusus digunting ujungnya. Sebab: ibu jari kaki Bung Karno dibalut perban. Hindul Markindul "Buku ini aku tulis terutama sekali untuk sesama generasi muda Indonesia yang patriotis agar mereka mengenal pribadi proklamatornya penyambung lidah rakyat Indonesia, secara lebih akrab," tulis Guntur dalam prakata. Tapi jika diharap di sini akan nampak seorang besar yang jauh dari jangkauan, pembaca bisa kecewa. Para pendukung Bung Karno juga ada yang kecewa. Tapi Guntur toh berhasil menampilkan Bung Karno yang biasa -- dan karena itu mengharukan. Diceritakan misalnya oleh Guntur bahwa di salah satu semak di Istana Merdeka ada "tempat buang air kecil" buat Presiden, para pejabat tinggi republik ini dan orang-orang asing yang jadi tamu Kepala Negara! Sebabnya sederhana saja: jarak antara ruang terima tamu (waktu itu masih di beranda belakang) cukup jauh, 40 m. Ke kamar mandi pribadi Presiden, jaraknya lebih jauh lagi, 50 m. Maka dipilihlah "wc alam" yang cuma 5 m jauhnya. Kehidupan istana yang masih sederhana, suasana akrab anak-anak Presiden dengan anak-anak Kepala Listrik Istana, tukang masak, para sopir Istana, dan para ajudan, nampak di buku ini. Soekarno mengajar anak-anaknya, bahwa jadi anak seorang Presiden bukan berarti bisa memiliki apa saja. "Waktu aku duduk di kelas I SMP, aku ingin sekali memiliki mainan stoommachine (mesin uap yang terdapat di toko di jalan belakang Istana Negara," tulis Guntur (hal. 41), Tapi permintaan itu tidak segera dikabulkan, karena ayahnya memberi syarat: "Kalau kau naik kelas 2 SMP dengan angka bagus." Satu hal yang menonjol dari buku Guntur ini ialah persoalan "hindul markindul". Istilah ini dipakai hanya dalam lingkungan Guntur dan adik-adiknya untuk menyebut isteri-isteri ayahnya -- apalagi di sini, di hampir setiap artikel selalu ada persoalan "cewek". Entah dia puteri ayu Sala di dalam lukisan tentang pacar-pacarnya Guntur, tentang perempuan-perempuan manis di sekeliling mereka, atau banyak kaum hawa model lainnya. Guntur menulis semua itu dari peristiwa-peristiwa di tahun 1956 (di waktu usianya masih 10 tahun) sampai tahun 1968, ketika ayahnya dalam tahanan rumah di Wisma Yaso. "Bapak berbaring di kursi panjang dan aku duduk di kursi sebelahnya. Agak kejauhan, di salah satu sudut ruangan duduk pula jururawat dari RSPAD yang bertugas menjaga kesehatan Bapak. Di luar, yaitu di beranda sebelah ruangan tadi, para penjaga anak buah Let. Sukotjo dari POMDAM duduk-duduk dengan santai di setiap ujung beranda di atas kursi-kursi rotan yang setengah reot karena tidak terpelihara" (hal. 196). Dalam suasana yang begitu, antara ayah dan anak masih ada cerita tentang ajakan almarhum Gamal Abdul Nasser kepada Soekarno untuk menonton tari perut secara incognito. Anekdot-anekdot Guntur ini memang ringan, enak dibaca penuh ilustrasi foto yang jarang keluar di mass media. Banyaknya halaman ada 254, tapi 25 halaman sendiri kosong. Mungkin karena kesulitan teknis dalam menempatkan foto-foto. Apa pun cacatnya, dari sini kita melihat bahwa Indonesia pernah punya seorang pemimpin yang hangat dalam bergaul, seorang bapak yang lucu dan akrab. Toeti Kakiailatu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus