BUNG KARNO Bapakku - Kawanku Guruku
Oleh: Guntur Soekarno
Penerbit: PT Dela - Rohita, Jakarta, 1977
254 halaman, ukuran saku
DALAM prakata, penulisnya menerangkan bahwa buku pertamanya ini
adalah "tulisan sederhana yang jauh dari suatu bentuk tulisan
yang ilmiah." Di dalamnya terdapat 26 artikel pendek yang berisi
pengalaman Guntur ketika usianya masih belasan tahun, dengan
Istana Merdeka sebagai rumahnya. Guntur mencoba menuangkan
kenangannya ini dalam gaya dialog yang lucu, ringan dan banyak
menimbulkan nostalgia bagi mereka yang pernah mengenal Istana
Merdeka waktu itu.
Hubungan Soekarno dengan Guntur yang waktu menjelang akil baliq
memang cukup akrab. Mereka membicarakan segala macam hal,
tentang ICBM (Inter Continental Balistic Missiles), tentang AK
Gani yang gemar makan pete dan jengkol, tentang Presiden yang
dalam salah satu acara menerima surat kepercayaan salah satu
duta besar baru mengenakan jas komplit dengan tanda-tanda
kebesaran, tapi mengenakan sepatu tenis yang khusus digunting
ujungnya. Sebab: ibu jari kaki Bung Karno dibalut perban.
Hindul Markindul
"Buku ini aku tulis terutama sekali untuk sesama generasi muda
Indonesia yang patriotis agar mereka mengenal pribadi
proklamatornya penyambung lidah rakyat Indonesia, secara lebih
akrab," tulis Guntur dalam prakata. Tapi jika diharap di sini
akan nampak seorang besar yang jauh dari jangkauan, pembaca bisa
kecewa. Para pendukung Bung Karno juga ada yang kecewa. Tapi
Guntur toh berhasil menampilkan Bung Karno yang biasa -- dan
karena itu mengharukan.
Diceritakan misalnya oleh Guntur bahwa di salah satu semak di
Istana Merdeka ada "tempat buang air kecil" buat Presiden, para
pejabat tinggi republik ini dan orang-orang asing yang jadi tamu
Kepala Negara! Sebabnya sederhana saja: jarak antara ruang
terima tamu (waktu itu masih di beranda belakang) cukup jauh, 40
m. Ke kamar mandi pribadi Presiden, jaraknya lebih jauh lagi, 50
m. Maka dipilihlah "wc alam" yang cuma 5 m jauhnya.
Kehidupan istana yang masih sederhana, suasana akrab anak-anak
Presiden dengan anak-anak Kepala Listrik Istana, tukang masak,
para sopir Istana, dan para ajudan, nampak di buku ini. Soekarno
mengajar anak-anaknya, bahwa jadi anak seorang Presiden bukan
berarti bisa memiliki apa saja. "Waktu aku duduk di kelas I SMP,
aku ingin sekali memiliki mainan stoommachine (mesin uap yang
terdapat di toko di jalan belakang Istana Negara," tulis Guntur
(hal. 41), Tapi permintaan itu tidak segera dikabulkan, karena
ayahnya memberi syarat: "Kalau kau naik kelas 2 SMP dengan angka
bagus."
Satu hal yang menonjol dari buku Guntur ini ialah persoalan
"hindul markindul". Istilah ini dipakai hanya dalam lingkungan
Guntur dan adik-adiknya untuk menyebut isteri-isteri ayahnya --
apalagi di sini, di hampir setiap artikel selalu ada persoalan
"cewek". Entah dia puteri ayu Sala di dalam lukisan tentang
pacar-pacarnya Guntur, tentang perempuan-perempuan manis di
sekeliling mereka, atau banyak kaum hawa model lainnya.
Guntur menulis semua itu dari peristiwa-peristiwa di tahun 1956
(di waktu usianya masih 10 tahun) sampai tahun 1968, ketika
ayahnya dalam tahanan rumah di Wisma Yaso. "Bapak berbaring di
kursi panjang dan aku duduk di kursi sebelahnya. Agak kejauhan,
di salah satu sudut ruangan duduk pula jururawat dari RSPAD yang
bertugas menjaga kesehatan Bapak. Di luar, yaitu di beranda
sebelah ruangan tadi, para penjaga anak buah Let. Sukotjo dari
POMDAM duduk-duduk dengan santai di setiap ujung beranda di atas
kursi-kursi rotan yang setengah reot karena tidak terpelihara"
(hal. 196). Dalam suasana yang begitu, antara ayah dan anak
masih ada cerita tentang ajakan almarhum Gamal Abdul Nasser
kepada Soekarno untuk menonton tari perut secara incognito.
Anekdot-anekdot Guntur ini memang ringan, enak dibaca penuh
ilustrasi foto yang jarang keluar di mass media. Banyaknya
halaman ada 254, tapi 25 halaman sendiri kosong. Mungkin karena
kesulitan teknis dalam menempatkan foto-foto. Apa pun cacatnya,
dari sini kita melihat bahwa Indonesia pernah punya seorang
pemimpin yang hangat dalam bergaul, seorang bapak yang lucu dan
akrab.
Toeti Kakiailatu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini