INSTRUKSI Prof. Dody Tisna Amidjaja, Dirjen Pendidikan Tinggi,
terpaksa dikeluarkan, 17 Mei yang lalu. Alasannya, banyak rektor
memberikan interpretasi yang berlainan terhadap SK Menteri P&K
tentang normalisasi kehidupan kampus. Mereka mengira setelah SK
itu akan turun lagi SK kedua yang berisi pengaturan
pelaksanaannya. "Padahal pada SK Menteri yang pertama itu secara
implisit sudah memberikan legalitas kepada rektor untuk memulai
pelaksanaan normalisasi kampus," kata Dody Tisna Amidjaja,
minggu lalu kepada TEMPO. Dan Dody menyebut misalnya Unsrat di
Manado dan UI di Jakarta yang telah melaksanakan normalisasi
kampus itu sebelum instruksinya dikeluarkan.
Adapun yang belum, tentu ada juga yang karena bukan ingin
menunggu instruksi saja. Prof. Ahmad Memed Satari, rektor IPB
misalnya, merasa tak perlu mengeluarkan SK tertulis untuk
mencairkan SM dan BPM di fakultas-fakultasnya (dalam SK
normalisasi kampus itu Dewan Mahasiswa tetap dibekukan) karena
dulu juga tak pernah membuat SK pembekuannya. Sementara ITB yang
terdiri dari 22 jurusan itu terpaksa bingung juga untuk
mentrapkan konsep Daoed Joesoef tadi. "Di sini tak ada yang
namanya SM dan BPM, Himpunan jurusan langsung memilih wakilnya
untuk duduk sebagai senator dalam Majelis Permusyawaratan
Mahasiswa (MPM) tingkat universitas," kata Yusman pejabat
Ketua DM-ITB.
Bukan Mahasiswa
Di dalam instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi itu SM dan BPM
selain harus dibentuk juga memegang peranan aktif. Sedangkan DM
yang seperti dikenal selama ini, tidak ada. Dan yang di tingkat
universitas yang harus dibentuk adalah Badan Koordinasi
Kemahasiswaan yang diketuai bukan oleh mahasiswa. Ketuanya
adalah Pembantu Rektar (PR) III (bidang mahasiswa), dengan
anggota para Pembantu Dekan III, serta staf ahli yang terdiri
dari dosen-dosen pembimbing. Ditambah: tokoh-tokoh mahasiswa
yang dianggap mengetahui seluk beluk masalah kemahasiswaan di
perguruan tinggi yang bersangkutan.
Dengan struktur lembaga kemahasiswaan yang sekarang, jelas ITB
sukar mengadaptasi bentuk organisasi yang diinginkan pemerintah.
Karena itu Dr. Sujana Sapi'ie, Ketua Rektorium ITB segera
mengeluarkan SK yang menyatahan AD/ART Keluarga Mahasiswa ITB
tak mengikat lagi bagi seluruh civitas academica ITB. Sapi'ie
juga langsung mengangkat Pembantu-Pembantu Dekan bidang
Kemahasiswaan bagi ketiga fakultas yang ada di Institut itu --
jabatan yang sebelumnya tak pernah dikenal di ITB. "Tapi kalau
mau pokrol-pokrolan, senat mahasiswa itu misalnya, satu SM saja
untuk seluruh ITB sebenarnya logis. Tapi itu tentu tidak
akseptabel bagi pemerintah," ujar Sapi'ie. Maksudnya kalau satu
SM kan bisa sama saja fungsinya sebagai DM. Dan justru lembaga
itu yang dalam instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi ditiadakan.
ITB: Terus
SK Rektorium ITB itu ternyata dibalas oleh SK DM-ITB, yang
menegaskan bahwa pengaturan kegiatan mahasiswa tetap berada
sepenuhnya di tangan mahasiswa berdasarkan AD/ART Keluarga
Mahasiswa ITB, sebelum ada perubahan AD/ART tersebut. Bahkan
kepada himpunan jurusan diminta tetap melakukan kegiatannya:
memilih senator untuk duduk di MPM yang pada gilirannya akan
memilih tiga calon Ketua DM yang akan dipilih langsung oleh
anggota Keluarga Mahasiswa ITB, seperti yang telah dilakukan
selama ini.
Apakah bakal terpilih ketua DM ITB yang baru atau tidak, yang
jelas bagi mahasiswa lembaga 'pemerintahan mahasiswa' itu
dianggap tetap diperlukan. "Dengan tidak ada DM maka mahasiswa
akan terkotak-kotak, aktifitasnya akan menjadi multiversitas,"
kata Lukman Mokoginta, Ketua Umum DM-UGM. "Kita tidak menuduh
pemerintah memecah-belah mahasiswa. Tapi begitulah keadaannya
bila struktur lembaga kemahasiswaan yang diinginkan pemerintah
itu mau dipaksakan," kata Farid Rasyid, Ketua DM-IPB.
Farid juga mengecam adanya ketentuan bahwa dekanlah yang memilih
tiga calon ketua SM sebagai ketua formtur. Itu, baginya yang
akan "menghancurkan demokrasi" yang selama ini ada di kampus.
Selama ini pemilihan ketua lembaga kemahasiswaan itu, baik
pencalonan maupun pemilihannya, dilakukan oleh mahasiswa.
Namun Prof. Dody Tisna Amidjaja kurang sependapat dengan jalan
pikiran mahasiswa IPB itu. Menurut dia, cara pemilihan dengan
ditunjuk oleh dekan itu untuk menunjukkan bahwa perguruan tinggi
itu "memiliki aspek ilmiah". Kata Dody: "Yang ingin ditunjukkan
di sana adalah bahwa kebenaran mutlak itu tid ak ada. Bahwa
seorang terbaik tidak ada. Tapi justru atas dasar demokrasi,
mereka harus terima kalau calonnya kebetulan tidak ditunjuk,"
ucap Dody menjelaskan.
"Kecenderungan Rapat Umum"
Tapi kenapa harus lembaga SM bukan DM yang mesti diaktifkan?
Menurut Dody, karena sasaran yang ingin dituju oleh tata baru
adalah penyediaan wadah-wadah yang paling serasi dan efektif
untuk menampung kegiatan mahasiswa. Tujuannya: mengembangkan
kekuatan "penalaran individuil" mahasiswa. Wadah itu ialah SM
atau himpunan jurusan. "Saya tak mengatakan DM tak mampu
mengembangkan kekuatan penalaran itu, tapi pengalaman
menunjukkan DM memiliki kecenderungan rapat umum," kata Dody
lagi.
Kalau mahasiswa curiga tataan baru lembaga kemahasiswaan itu
dianggap usaha untuk membersihkan kampus dari kegiatan-kegiatan
politik, memang benar. "Memang ini depolitisasi kampus. Politik
harus dikeluarkan dari kampus," katanya. Menurut Dody, ketika
dulu pertama kali dibentuk DM, maksudnya adalah melakukan
depolitisasi kampus. Jadi apa yang dilakukan pemerintah sekarang
adalah mengembalikan tujuan semula, ketika lembaga kemahasiswaan
itu dibentuk pada tahun limapuluhan dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini