Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
Sidharta adalah seniman yang selalu mengalami gejolak. Ketika ia masih mengajar di ASRI pada awal 1960-an, ia mendapat tekanan luar biasa akibat sepak terjang politik kiri. Sejarah mencatat, Lekra mengganyang siapa saja yang tak sehaluan, termasuk Sidharta, yang ikut menandatangani Manifes Kebudayaan. Ia juga dicap kebarat-baratan dengan semangat modernis yang dibawanya dari Belanda setelah belajar selama tiga tahun di Akademi Seni Rupa Jan van Eyck. Karya lukis dan patungnya menegaskan pengaruh kuat formalisme Barat. Akibatnya, selain dipecat dari ASRI pada 1964, kesempatan berpameran ditutup dan proyek pembuatan patung monumen pun tak lagi mampir ke alamatnya. "Saya tidak bisa bekerja dan tidak bisa melakukan apa pun. Saya betul-betul diisolasi," ujarnya. Inilah percobaan pembunuhan karakter yang dialaminya. Sidharta bertahan hidup dengan menjadi mandor pabrik marmer, beternak, atau bahkan membuat benda kerajinan. Namun, tawaran almarhum But Muchtar untuk mengajar di ITB menyelamatkannya.
Di Bandung, Sidharta seolah bertemu dengan kawan sepaham. Bandung memang dikenal sebagai pusat modernisme seni rupa di Indonesia. Lahirlah karya patungnya yang bercorak konstruktif dan geometris, seperti karya patung Patung Air (1969) atau Unsur Dinamika-III (1970). Modernisme dengan formalismenya serta-merta menjadi jalan kesenian Sidharta. Tapi, ini baru sepenggal perjalanan kesenian Sidharta karena tak lama kemudian, muncul guncangan yang mempertanyakan jalan formalisme modernis yang ia tempuh. Ia pun berontak terhadap modernisme yang diplantasikan ke otaknya selama di Belanda. "Modernisme bukan satu-satunya cara berkesenian," ujar Sidharta. Ia menoleh ke khazanah seni tradisi yang menawarkan banyak kemungkinan penjelajahan elemen rupa. Maka, mulailah ia bereksperimen lewat teknik grafis sejak 1971 hingga 1984. Hasilnya mengguncang jagat formalisme Bandung. Ia menggambari permukaan patung Tiang Berulang (1973) sehingga memunculkan garis meliuk-liuk penuh warna. Sidharta tak hanya menabrak tradisi formalisme, tapi juga menafikan karakter medium patung. Kayu atau logam diperlakukan bak kanvas yang bisa diberi citra bentuk lanjutan apa saja. Ia pun menuai kecaman dari kawannya di kubu formalis Bandung.
Puncak pengingkarannya terhadap modernisme adalah ketika ia menciptakan patung Tangisan Dewi Bathari (1977), yang bergaya dekoratif, dengan menggunakan media campuran. Tapi Sidharta mengaku tidak putus sama sekali dengan gagasan modernisme. "Modernisme masih menyisakan sense pada saya tentang warna, tekstur, massa, dan garis," katanya.
Ketika ia pensiun dari ITB pada 1997, Sidharta memutuskan kembali ke kampung halamannya, Yogyakarta. Di kota ini ia mulai menghirup suasana baru karena Yogya telah berubah sejak dia meninggalkannya. Jagat seni rupa Yogyakarta jauh lebih plural, dan tak ada lagi represi politik. Tapi Sidharta khawatir bahwa atmosfer Yogyakarta melenakan sehingga kurang memberikan kontraksi dialektis. Ia pun tampak mulai larut dalam kelelahan. Tujuh karya patungnya bertarikh 1999 justru kembali kepada bentuk ketika ia membuat patung figuratif di Yogyakarta, semacam Wanita Duduk I (1958), sebuah patung perunggu dengan bentuk yang sudah dideformasi. Karyanya, Leleson (1999), berupa sosok perempuan dengan deformasi sederhana, sangat berbeda dengan karyanya dengan judul yang sama buatan 1968 dan 1970, yang mengalami deformasi cukup jauh. "Saya sudah capek untuk terlalu banyak berpikir. Saya sekarang cuma mengikuti impuls saja," katanya. Khalayak seni patung seolah kehilangan sosok Sidharta yang liat menabrak guncangan. Akankah ini menjadi antiklimaks perjalanan berkesenian Sidharta?
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo