Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Cerita Kebesaran Sang Dewata

Sanggar Dewata memamerkan sejarah kebesarannya. Seni rupa modern Bali perlu ''teori" sebagai perekat di tengah kemajemukan.

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEONGGOK gergaji mesin meraung gila dalam temaram cahaya Ubud selepas senja. Kemudian bunyi orkestra yang mencekam, liuk tubuh, dan kata-kata tumpah. Sebentuk bangunan bambu nyaris runtuh diterjang amuk gigi gergaji. Puluhan jam dalam aneka bentuk terisap hangus ditelan nyala tungku menara api. Itulah adegan yang terpampang di atas pentas perupa Nyoman Erawan, Kremasi Waktu, yang digelar di pelataran Museum ARMA, Ubud, Bali, akhir Desember 1999. ''Ritus seni rupa" ini sekaligus menandai pembukaan ''Pameran Besar Sanggar Dewata Indonesia Menyongsong Milenium III", yang berlangsung hingga 15 Januari 2000.

Pameran ini hadir serentak di Museum ARMA, Museum Neka, Museum Rudana (Ubud), Museum Gunarsa (Klungkung), Museum Bali, dan Art Centre (Denpasar) dengan menampilkan sekitar 500 karya patung, grafis, kriya, instalasi, pertunjukan, dan lukisan dari 135 perupa Sanggar Dewata Indonesia. Sanggar yang sudah hampir tiga dasawarsa berkibar di jagat seni lukis modern Indonesia ini tentu saja eksistensinya layak dibahas.

Sanggar Dewata Indonesia didirikan pada 15 Desember 1970 oleh alumni Akademi Seni Rupa Indonesia (sekarang Institut Seni Indonesia), Yogyakarta. Mereka adalah Nyoman Gunarsa, Pande Gde Supada, Wayan Sika, Nyoman Arsana, Wayan Arsana Guna, dan Made Wianta—belakangan keluar, pada 1985. Semula, dasar pembentukannya adalah semacam ''politik identitas" karena merasa iklim di lingkungan transkultural Yogyakarta yang dinamis tak memberikan keleluasaan ruang kiprah. Keenam orang itu memutuskan mengusung bendera sendiri. Visinya adalah kebebasan berekspresi dalam seni lukis modern, tapi dengan tekanan kuat pada nilai tradisi Bali. Dengan demikian, Bali dan ke-Bali-an dipahami sebagai spirit yang mencirikan karakter personal dan pencarian setiap seniman.

Visi itu kemudian berhadapan dengan tradisi yang telah meluas sejak awal abad ke-20 di bawah kanon seni lukis klasik Bali lewat nama besar: Nyoman Lempad, Anak Agung Gde Sobrat, I Gusti Ketut Kobot, dan Ida Bagus Made. ''Tradisionalisme" dalam sejarah seni lukis Bali ditandai oleh visi yang melihat Bali dengan mata romantis-naif dalam bingkai eksotisme. Homogenitas dalam komuni-tradisional menjadi pusat orientasi, sehingga yang tergambar dalam karya adalah pola repetitif dari kehidupan yang penuh makna kolektif.

Di titik inilah Sanggar Dewata meletakkan visinya. Anggota Sanggar Dewata seakan melucuti Bali dari bangunan struktur makna kolektifnya dan menafsirkannya kembali dalam kerangka modernisme seni: kebebasan kreatif individu, pencarian autentisitas, dan kebaruan. Visi ini semakin jelas saat muncul gejala terbukanya pasar. Konstruksi makna univokal tentang Bali mengakibatkan seni lukis ''tradisi" sebatas komoditas eksotis belaka. Dengan kritis Sanggar Dewata meletakkan kembali karya seni sebagai karya kreatif.

Sejarah mencatat, dengan visi itu, Sanggar Dewata tumbuh besar. Sukses mengantar sejumlah eksponennya eksis dalam peta seni lukis Indonesia dan menggurat pengaruh penting dalam perkembangan seni rupa di Bali. Hasilnya, tercatat sederet brand name seperti Made Djirna, Made Budhiana, dan Nyoman Erawan, berlanjut ke Nyoman Sukari, Made Sumadiyasa, Agung Mangu Putra, hingga Nyoman Masriadi. Mereka berhasil keluar dari ''terowongan panjang" tradisi seni lukis Bali dengan jalan menegakkan tradisinya sendiri.

Maka, yang paling dibutuhkan Sanggar Dewata sekarang adalah refleksi teoretis. Ketika ikatan organis komunitas sanggar menjadi longgar, hadirnya suatu ''teori" merupakan prasyarat kohesi yang mendesak. Sentimen primordial hanya efektif dalam wilayah terbatas, sedangkan rasionalisasi suatu konsep tentang sejarah akan menjadi pengikat bagi kelompok yang sedemikian majemuk, sekaligus menjaga kesinambungan historis setiap generasinya.

Benih bagi ''teori" semacam itu sebenarnya bisa disemaikan dalam pameran Sanggar Dewata. Sayang, faktor kurasi tampak kedodoran. Tak ada penjelasan memadai untuk membingkai kaitan organis antara materi yang ditampilkan dan peletakan sejarah sebagai dasar signifikansi ''kebesaran" pameran. Padahal, telaah kritis tentang visi ''ke-Bali-an" di tengah arus globalisasi, atau upaya menandai letak trend materi pameran—yang didominasi lukisan abstrak—dalam konteks wacana seni rupa mutakhir di Indonesia dan Asia, yang cenderung mendeskripsikan narasi sosial politik, bisa potensial menjadi rintisan ke arah tersingkapnya suatu ''teori" dari sejarah Sanggar Dewata.

Arif B. Prasetyo (esais)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus