Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia*
Mantan Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo wafat di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, belum lama ini. Jenazahnya diangkut dengan ambulans ke rumah duka, masih di kompleks Pondok Indah. Di badan mobil pengangkut jenazah itu tertulis: "Kereta Merta".
Dari mana asal nama itu? Kereta merta, sebuah istilah yang mengingatkan kita pada kejayaan masa lalu, ketika budaya kita belum banyak dimasuki unsur Barat. Kini mobil pembawa jenazah umum disebut ambulans, dan ini sudah lazim sampai ke pelosok desa. Bahkan ketika ada kendaraan bertulisan "Mobil Jenazah", orang pun berteriak: ambulans datang.
Kereta bukan istilah asing. Meski Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut arti kereta sebagai kendaraan beroda yang biasanya ditarik oleh kuda, kata bentukan dari kereta ini sudah diperinci banyak. Ada kereta api, kereta dorong, kereta angin, kereta gandeng, kereta kuda, kereta sorong, juga ada kereta jenazah. Tapi KBBI tak mencantumkan "kereta merta".
Di Bali, kata "merta", yang sejak dulu dikenal masyarakat, ternyata jadi perkara. Di masa lalu, kata "merta" diartikan "air kehidupan" atau "anugerah yang abadi", sesuatu yang mulia. Karena itu, banyak desa, tempat suci, bahkan hotel, memakai kata "merta". Di desa saya, ada sebuah banjar (bagian dari desa) yang sampai sekarang bernama Banjar Merta Sari.
Belakangan, sekitar 10 tahun, pemuka agama Hindu di Bali sibuk menjelaskan bahwa kata "merta" itu salah artinya. Apa yang selama ini diartikan sebagai "air kehidupan", "anugerah yang abadi", dan seterusnya itu adalah arti dari kata "amerta", bukan "merta". Rujukannya ada di kata Sanskerta: "amrta" dengan huruf "r" bertitik bawah. Bacaan aslinya "amrita". Kata "amrta" ini banyak terdapat dalam kitab Weda, yang jadi sumber puja para pendeta Hindu. Pendeta di Bali umumnya membunyikan "amreta", tapi masyarakat melafalkan dengan sederhana menjadi "amerta".
Kata "amerta" pun sudah resmi di Indonesia. KBBI (edisi ketiga) sudah memungutnya dengan memberi arti: (1) tidak dapat mati, (2) abadi, (3) tidak terlupakan. Kamus Bahasa Bali-Indonesia susunan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali menyebutkan "amerta" dengan arti: "air yang menyebabkan hidup kekal". Pengartian ini seperti merujuk pada epos Mahabharata episode Dewa Ruci, ketika Bima diutus ke dasar samudra mencari "air suci" untuk mengekalkan kehidupan leluhurnya. Mahabharata menulis: "amrta sanjivani".
Lalu bagaimana nasib kata "merta"? Karena kata ini sudah umum di Bali meski dengan arti yang pernah salah, banyak pemuka agama berpendapat, kata itu dipungut saja, dan diberi arti yang bertentangan dengan "amerta". Kalau "amerta" diartikan "air yang menyebabkan hidup kekal", arti "merta" dibalik menjadi "air yang digunakan untuk kematian". Kalau dalam bahasa Indonesia—merujuk pada KBBI—"amerta" sudah diartikan "tidak dapat mati", arti "merta" menjadi "dapat mati". Atau cukup sederhana: "mati".
Ada alasannya. Banyak sekali kata dalam bahasa Bali yang diserap dari bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno (Kawi) yang membuat sebuah kata berubah arti sebaliknya setelah diawali huruf "a". Misalnya, "dharma" (kebajikan, kebenaran) dengan "adharma" (kebatilan, kebohongan). "Asusila" dengan "susila". Bahkan termasuk penamaan binatang seperti anjing yang disebut "asu". Kata "su" berarti terhormat, mulia, luhur (pendeta Hindu dalam bahasa Bali disebut "sulinggih" dari kata "su" dan "linggih" yang artinya kedudukan dalam strata sosial kemasyarakatan terhormat). Jadi, "asu" artinya: tidak terhormat, tidak mulia. Dan itu cocok untuk anjing yang sering kencing di pura orang Bali.
Saya sependapat, pungut saja kata "merta" itu dengan memberi arti "mati" atau disesuaikan dengan kebalikan dari "amerta". Justru dengan memungutnya secara resmi, kita bisa meluruskan artinya dengan dasar yang jelas.
Jika kamus Sanskerta-Indonesia (dari tiga penyusun yang saya miliki) dan Kamus Jawa Kuno-Indonesia susunan L. Mardiwarsito tak memuat kata "merta", itu tak jadi masalah, toh kedua bahasa itu sudah tidak berkembang lagi.
Namun para penyusun KBBI dan penyusun Kamus Bali-Indonesia, menurut saya, tak perlu takut untuk di kemudian hari memuat kata "merta" dalam arti "mati" (sekarang KBBI memuat kata "merta" dengan merujuk pada kata "serta", jadi "serta-merta"). Bukankah bahasa Indonesia dan Bali tetap hidup berkembang? Aneh, sebuah kata sudah banyak digunakan tapi tak dijumpai di kamus apa pun. Hormat saya untuk Pak Domo, tatkala "merta" pun masih berjasa, semoga diberi kemuliaan di sisi-Nya. Amin.
*) Pendeta Hindu @mpujayaprema
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo