Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA khotbah pengajian Haji Ahmad terdengar keras di panggung yang kosong. "Pandangan mata itu sumber dosa. Pandangan menimbulkan gairah. Gairah mengobarkan syahwat. Syahwat mendorong perbuatan maksiat."
Suara itu kemudian menghilang. Mendadak panggung riuh diserbu para penjoget yang keluar dari arah penonton. Mereka memanggil-manggil nama Salimah, primadona dangdut. Lampu kemudian menyorot ke sebuah panggung kecil.
Salimah (diperankan secara bagus oleh Ari Dwianto), dengan rok hitam ketat, baju merah penuh manik, dan syal merah, meliuk-liuk di sana. Para penjoget di bawahnya bersuit-suit. Ada yang sibuk berusaha menyentuh sang biduan. Ada yang bergoyang sambil mabuk. Suasana semakin asyik ketika Salimah mengajak penonton menyanyikan Gadis atau Janda, lagu yang dipopulerkan oleh Elvy Sukaesih dan Mansyur S.
"Sudah berulang kali aku bermain cinta...," Salimah mulai bernyanyi. Ketukan kendang yang memancing tubuh bergoyang pun menyerbu. Semua terlena. Apalagi ketika Salimah mulai memutar-mutar pinggulnya sambil memegang tiang panggung.
Pertunjukan drama Goyang Penasaran ini dibawakan Teater Garasi pada Kamis dan Jumat dua pekan lalu di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta. Pertunjukan ini dipentaskan pertama kali di studio Teater Garasi pada akhir tahun lalu. Ceritanya dalam alur maju-mundur dan berpusat pada Salimah, penyanyi dangdut yang goyangannya bikin penasaran para pemuda kampung.
Salimah adalah primadona dangdut sekaligus qariah kampung. Dia dipuja, tapi juga dihujat, terutama oleh Haji Ahmad (diperankan Muhammad Nur Qomaruddin), yang mengecam goyangannya sebagai perbuatan maksiat. Padahal Haji Ahmad adalah bekas guru mengaji Salimah dan bahkan pernah "berhubungan" dengan sang gadis. Tak cukup jelas seberapa jauh hubungan mereka. Di panggung hanya muncul adegan keduanya saling merapat saat Haji Ahmad melatih Salimah tentang qiraah di masjid.
Tragedi mendera Salimah ketika kelompok pemuda Gerakan Sapu Maksiat mengeroyoknya atas dorongan Haji Ahmad. Dendam pun menghanguskan hatinya. Ketika Solihin, pemuda perlente yang telah beristri tapi memuja Salimah, meminta Salimah menari tanpa busana di hadapannya, Salimah mengajukan satu syarat: kepala Haji Ahmad.
Selain pengeroyokan dan pembunuhan, unsur kekerasan muncul dalam bahasa, yang tampak pada perbincangan para preman di gardu ronda. Percakapan mereka, dalam logat Betawi yang kental, banal dan membahas hal-hal yang terkait dengan seks, seperti "perempuan bahenol", "ramuan oles Mbak Retno", dan "satu lobang rame-rame".
Masjid dan panggung dangdut jadi pusat isu dan arena tempat Salimah dan Haji Ahmad. Secara simbolis, tim artistik Garasi, yang dipimpin perupa Yogyakarta, Agung Kurniawan dan Novi Kristinawati, membangun panggung dangdut menyatu dengan masjid. Menurut Naomi Srikandi, sutradara pertunjukan ini, panggung yang mereka bangun di Salihara agak berbeda dari pentas di Yogyakarta karena ada penyesuaian ruang. Satu-satunya bangunan yang mereka pertahankan adalah panggung dangdut dan masjid. "Saya suka itu, karena dua-duanya sama-sama performatif dan seduktif," katanya.
Drama ini diangkat dari cerita pendek Intan Paramaditha berjudul sama yang dimuat dalam buku kumpulan cerpen Kumpulan Budak Setan karya Intan, Eka Kurniawan, dan Ugoran Prasad, dalam upaya mereka menafsir kembali novel-novel horor Abdullah Harahap.
Dalam diskusi seusai pentas, Intan menyatakan novel Abdullah memang banyak menggambarkan bagaimana perempuan menjadi korban kekerasan, seperti diperkosa dan dibunuh, lalu ia muncul kembali sebagai hantu yang memburu dan membunuh para lelaki pelakunya satu per satu. Namun, Intan menegaskan, kekerasan itu tak hanya dialami perempuan, tapi juga kaum lesbian dan gay, misalnya. Dalam drama ini, ada satu adegan yang menggambarkan seorang waria pemuja Salimah dihajar Solihin.
Karya Intan juga merujuk pada masa kejayaan dangdut pada 1970 dan 1980-an serta kontroversi goyang Inul Daratista beberapa tahun lalu. "Saya mengolah isu seksualitas itu, yakni bagaimana tubuh dipandang," katanya.
Memang isu kekerasan terhadap dunia lesbian, gay, dan transgender serta kemudian korbannya menjadi hantu belum cukup dijamah dunia teater kita. Secara ide menarik, tapi secara bentuk pertunjukan ini biasa saja. Bagi yang sering menonton pertunjukan teater tradisional, seperti Miss Cicih, hantu-hantu di dunia pentas bukanlah barang baru. Trik-trik munculnya setan yang mendebarkan juga banyak terdapat di Miss Cicih. Menonton pertunjukan Goyang Penasaran seperti menyaksikan varian atau versi kontemporer dari drama-drama semacam Miss Cicih.
Hal ini berbeda jauh dari pentas Tubuh Ketiga: Pada Perayaan yang Berada di Antara oleh Teater Garasi pada 2010, yang mengangkat kehidupan tarling dangdut Indramayu. Saat itu mereka menawarkan bentuk-bentuk eksperimen dalam teater: penonton berada di tengah panggung, dialog minim, pemain lebih banyak bergerak, set bisa dibangun di mana pun, dan dramaturgi tidak dibangun secara linier. Menonton pertunjukan ini terasa ada daya kebaruannya.
Pada akhir cerita digambarkan Salimah dikeroyok. Massa menggeruduk, memukulinya tatkala ia menari telanjang sembari memegang kepala Haji Ahmad. Tatkala tubuhnya tersungkur bersimbah darah, di situ klimaks terjadi. Pertunjukan cukup bila berhenti di situ. Tapi Naomi Srikandi menginginkan struktur pentasnya agak seperti struktur film. Sering dalam akhir film ditampilkan adegan kilas ke depan atau ke belakang. Di panggung itu, kita melihat, dalam keremangan, tubuh Salimah masih tergeletak di jalan. Pada saat bersamaan, Salimah juga muncul di hadapan seorang ustad.
Banyak penonton yang tak memahami apakah itu maksudnya adegan beberapa tahun ke depan atau ke belakang. Apakah Salimah yang bertemu dengan ustad itu hantu atau bukan. "Bagian akhir memang masih problematis," kata Naomi.
Kurniawan, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo