PETER Sellers menyusup ke Indonesia sebagai Detektif Clouseau yang bloon. Tapi film serial Pink Panther justru yang tak ada dalam acara pekan film Peter Sellers di Taman Ismali Marzuki, pekan lalu. Tak apa, soalnya Sellers yang lain tetap saja mengocok perut penonton, mungkin lebih lucu ketimbang si Detektif Clouseau yang dulu kabarnya tak laku di Indonesia. Dan bila Anda juga tak menemukan kemiripan antara Sellers dalam Pink Panther dan Sellers dalam film yang lain, juga Anda tak perlu merasa bloon. Pribadi sang aktor sesungguhnya, demikian kata aktor terkemuka Inggris Peter Sellers, hilang tenggelam ditelan oleh pribadi tokoh yang tengah diperankannya. Itulah mengapa dalam enam film yang diputar pekan lalu ia tidak kelihatan sebagai Sellers, tapi sebagai tukang kebun yang lugu, penulis naskah TV, tukang memutar film di bioskop yang pemabuk, sutradara drama, atau penasihat khusus presiden. Peter Sellers mulai menjadi perhatian masyarakat ketika ia muncul dalam sejumlah sandiwara radio di Inggris. Ia memulai debut perfilmannya tahun 1951 dalam Penny Points to Paradise, tapi aktingnya dalam The Smallest Show on Earth yang mendapatkan perhatian pertama dari para kritikus film. Dalam film ini, Sellers berperan sebagai seorang tukang putar film yang tua dan pemabuk. Bandingkan tokoh pemabuk dalam film ini dengan tokoh pemabuk dalam film Lolita karya Stanley Kubrick. Keduanya diperankan oleh Peter Sellers. Tapi kita tidak melihat sedikit pun pengulangan peran dari satu film ke film lainnya. Dalam Lolita, Sellers berperan sebagai Clare Quilty, penulis naskah drama TV eksentrik, muncul begitu saja seperti bola yang menggelinding. Ini adalah film tentang seorang dosen sastra Perancis, Humbert Humbert (James Mason), yang mabuk kepayang kepada anak tirinya yang masih belia, blonda, dan jelita bernama Lolita (Shelley Winters). Ketika istrinya, Charlotte Haze (Sue Lyons), membaca buku harian Humbert tentang kenyataan itu, ia patah hati, berlari dan tertabrak mobil. Maka, Humbert segera menjemput Lolita ke asrama sekolahnya. Ketika Humbert dan Lolita masuk ke dalam sebuah hotel, Clare Quilty (Peter Sellers) muncul ''mengganggu'' di lobi hotel, memperhatikan sang gaek yang sudah kebelet ingin bercintaan dengan gadis usia 14 tahun itu. Berpura-pura menjadi seorang detektif, Quilty mengganggu Humbert dengan menanyakan hubungan macam apa yang terjadi antara Humbert dan ''anak tiri Anda yang begitu jelita dan bahenol itu''. Terakhir, Sellers muncul sebagai Clare Quilty, seniman yang dikagumi Lolita, kekasih Lolita sesungguhnya, pemabuk sial yang dicemburui Humbert. Film sepanjang lebih dari dua jam ini tokoh utama sebenarnya adalah Lolita dan Humbert. Namun, sosok Peter Sellers yang keluar-masuk layar putih dengan peran yang berganti-ganti malah mencuri segenap perhatian penonton. Sellers bukan hanya aktor yang komikal dan penuh improvisasi. Ia juga punya kemampuan melepaskan kepribadiannya secara total, sebuah kemampuan yang jarang dimiliki oleh para aktor. Lihat saja aktingnya dalam film Being There karya Hal Ashby, yang dianggap sebagai karya terbagus dari 54 film yang pernah dibin- tanginya. Film yang dibuat berdasarkan novel Jerzy Konsinsky ini mengisahkan tukang kebun bernama Chance, yang baru saja ditinggal mati tuannya. Selama itu, Chance hanyalah tahu bekerja di kebun tuannya dan menonton televisi. Chance tak mengetahui kehidupan di luar rumah tuannya, tak tahu tentang kejahatan, transaksi uang, wanita, politik pokoknya apa pun di dunia ini. Suatu hari, penguasa hukum tanah dari rumah tuannya mengusir Chance. Chance lantas pergi dan tertabrak sebuah limusin yang dikendarai Eve Rand (Shirley Maclaine), istri pengusaha kaya raya. Di rumah Rand itulah Chance, yang namanya kemudian menjadi Chance Gardener, berkenalan dengan presiden Amerika yang sedang menghadapi problem ekonomi negaranya. Ajaib, pernyataan-pernya- taan Chance tentang tumbuhan dipahami presiden itu sebagai simbol-simbol filsafat yang bisa diterapkan dalam pidato ekonominya. Ketika kata-kata Chance dikutip oleh presiden itulah, namanya mendadak terkenal dan ia diwawancarai berbagai media. Tapi Chance adalah Chance. Ia adalah seorang tukang kebun yang hanya senang menonton TV dan tidak menyadari apa yang sedang terjadi pada dirinya. Seorang sutradara pernah mengatakan, berperan sebagai ''orang biasa'' itu sulit. Chance bukan hanya ''orang biasa'' tapi orang yang ''terlalu biasa''. Ia hampir tanpa emosi dan keinginan. Dan untuk memerankan orang yang begitu itu, yang hanya mengerti tentang tumbuh-tumbuhan dan acara televisi, bukanlah main-main. Peter Sellers, salah seorang aktor yang sedikit, yang telah mencapai sebuah puncak kesenian akting yang paling tinggi. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini