Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Bila Han Mengenang Malang

Thomas Karsten diangkat menjadi penasihat Kota Malang sepanjang 1929–1935. Ia membuat desain baru, membuat Malang ”tempo doeloe” jadi sebuah kota taman yang cantik. Arsitek senior kita, Han Awal, mengenang masa kecilnya di Malang.

12 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jalan Ijen, Malang, 1940-an. Setiap sore, menjelang matahari tenggelam, banyak anak-anak bermain sepatu roda di boulevard itu. Ruas jalannya sangat lebar, anak-anak muda nyaman bersepatu roda, permainan yang saat itu lagi populer. Jalan Ijen adalah sebuah kawasan perumahan elite yang di depannya terdapat taman yang sangat panjang.

Sudut-sudut atap antarrumah dan lis plangnya ditata sama tinggi sehingga kelihatannya rapi. Di sepanjang trotoar di depan rumah-rumah itu terdapat jajaran pohon palem. ”Waktu itu sangat menyenangkan,” kata pria berambut putih menceritakan masa kecilnya.

Laki-laki yang kini berusia lebih dari 75 tahun lulusan arsitektur Universitas Delft ini adalah arsitek senior Indonesia. Ia Han Awal. Dengan pelan, seolah menikmati kembali masa kecilnya di Malang, ia bercerita panjang tentang Malang 60-an tahun silam. Kota Malang yang baru saja mengalami perluasan kota yang tata konsepnya dibuat oleh Herman Thomas Karsten.

Dalam menata Malang, Karsten melihat: pemandangan gunung di Malang harus dimaksimalisasi. Kota Malang dikelilingi gunung. Di sebelah barat terdapat Gunung Kawi, di sebelah timur Gunung Semeru, di sebelah barat daya Gunung Arjuna, serta lembah Brantas membelah kota. Karsten melihat Malang harus memiliki jaringan jalan dengan pemandangan terbuka, membuat setiap orang bisa melihat panorama gunung itu.

Jalan-jalannya memiliki jalur cukup besar dan diberi taman-taman pada titik persilangannya. Karsten melihat jaringan jalan itu harus mencerminkan tatanan keteraturan. Harus ada alur dan sumbu-sumbu klimaksnya. Karsten, misalnya, dari landmark kota Malang, Alun-alun bunder, yang ada tugunya itu, membuat sebuah jalan yang lurus panjang melewati Jalan Semeru, menembus Jalan Ijen. Klimaksnya, jalan ini menuju ke sebuah taman yang terbuka luas, Taman Indrokilo.

Han ingat masa SMA-nya kerap dihabiskan dengan main sepeda keliling Kota Malang. Han remaja mengayuh sepedanya dari Jalan Ijen yang sedikit di atas, lalu menuju ke bawah ke Jalan Semeru, lalu ke SMA St. Albertus yang dikenal juga dengan nama SMA Dempo, tempat ia bersekolah. Han ingat ke mana pun ia bergerak, pemandangan Gunung Kawi dan Gunung Arjuna tampak jelas.

Jalan Ijen adalah jalan elite, namun Han juga mengenang betapa kontras antara Jalan Ijen dan jalan-jalan yang menuju kampung-kampung kecil tidak terasa mencolok. Karsten memang sengaja menata jalan yang menghubungkan perumahan sederhana di Kota Malang dengan perumahan mewah dengan gradasi perpindahan yang halus. Karsten membagi daerah perumahan dalam beberapa bagian. Antara lain daerah kampung tertutup, daerah kampung terbuka, daerah perumahan kecil, dan perumahan besar. Ia mengubah pola perumahan pada kota di Hindia Belanda yang sebelumnya dibagi berdasarkan hunian orang Eropa, daerah Pecinan, kampung Arab, dan kampung pribumi. Karsten selanjutnya membuat standar mengenai profil masing-masing jalan dan lingkungannya. ”Makanya, pada zaman Karsten, kampung-kampung terlihat sangat rapi dan bersih,” kenang Han.

Han merasa apa yang dilakukan Karsten terhadap Kota Malang sangat merakyat. Karsten berkehendak semua lapisan masyarakat, ras, dan golongan merasakan lingkungan bersama yang serasi. Keharmonisan ini yang menurut Han merupakan pencapaian terbesar Karsten. Ia selalu membuat lahan yang luas bagi fasilitas publik. Makanya, di dekat Jalan Ijen yang elite justru oleh Karsten dibuat sebuah taman publik yang diperuntukkan masyarakat luas, yaitu Taman Indrokilo.

Penekanannya pada unsur publik ini juga direalisasi Karsten ketika membenahi alun-alun Kota Malang yang dikenal sebagai Alun-alun Bunder. Selama ini alun-alun identik dengan feodalisme. Maka, di depan alun-alun itu Karsten pun membangun kantor DPRD dan wali kota, sebuah kawasan yang bisa digunakan untuk layanan publik.

Sambil membuka-buka sebuah buku berbahasa Belanda tentang Kota Malang, mata Han berhenti pada sebuah foto kolam renang. Kolam ini terletak di lahan yang kini dekat dengan Stadion Gajayana. Kolam renang ini terbuka, berhadapan dengan hamparan pepohonan hijau. Terlihat berbagai aneka pohon besar. Trembesi, bungur yang rindang-rindang, dan lagi-lagi lanskapnya panorama dua gunung yang indah itu. ”Ini,” tunjuk Han sembari tertawa. ”Kalau habis berenang, saya suka makan pisang goreng untuk mengganjal perut.”

Han ingat saat kecil ia saat aktif di kegiatan Pramuka ia juga sering ke Sungai Brantas. Bantaran Sungai Brantas waktu itu adalah kawasan hijau yang indah. Hans bersama temannya kerap bermain perosotan. Menggunakan pelepah pisang, ia meluncur menuruni bantaran kali. Menurut dia, di bantaran ini juga sering berlangsung perkemahan Pramuka. ”Hal itu yang menyebabkan kita di Malang merasa senang karena memiliki fasilitas umum yang nyaman,” ujar Han.

Bagi Karsten, Kota Malang adalah salah satu aplikasi atas konsep Totalbeeld-nya. Ia menginginkan Malang menampilkan wajah yang mampu menyatukan dan menyerasikan berbagai golongan penduduk. Saat Karsten menata Malang pada 1935, jumlah warga Kota Malang hanya sekitar 96 ribu jiwa. Perencanaan Malang yang ditangani Karsten diorientasikannya untuk 25 tahun ke depan, artinya sampai 1960. Tapi kita tahu, kepadatan penduduk di Malang d iluar takaran. Apa boleh buat. Han melihat konsep kota taman yang diterapkan Karsten kini diterjang pertambahan penduduk dengan kecepatan tinggi.

Sebagaimana hawa kota Malang yang kini tak lagi dingin, sudut-sudut kota yang dahulu indah itu kini sirna. Taman Indrokilo kini menjadi perumahan mewah. Dulu, tiap sudut penting bangunannya oleh Karsten diberi landmark khusus. Memasuki Jalan Semeru, Karsten juga memberi dua buah gedung di samping kiri-kanan jalan dengan semacam tower sebagai penanda, layaknya pintu gerbang. Tower itu kini masih ada tapi terhalang oleh baliho-baliho atau papan sponsor.

Para perencana bangunan-bangunan baru di Malang pun, menurut Han Awal, seolah tidak tahu visi Kota Malang yang diidealkan Karsten. Banyak bangunan baru di Malang yang jelas menutup pandangan terbuka ke arah Gunung Kawi dan Gunung Arjuna. ”Seperti di dekat kolam renang Gajayana, di sampingnya telah dibangun mal,” kata Hans. Hal lain sebagaimana diamati Han adalah kini di Malang perbedaan kawasan elite dan kawasan sederhana terasa kontras benar . ”Terasa shocking perbedaannya.”

Dalam sejarahnya, Kota Malang sendiri pernah dibumihanguskan oleh pejuang Republik. Pada 29 juli 1947, Belanda melakukan aksi polisionil dan mulai menduduki Malang tepat pukul 09.30 WIB, 31 Juli 1947. Aksi bumi hangus ini membakar balai kota dan bangunan penting lainnya, termasuk rumah-rumah besar. Tak kurang dari seribu bangunan luluh-lantak diterjang api. Han mengalami periode itu. Mungkin Karsten akan menangis jika melihat itu. ”Waktu itu terjadi, Karsten telah meninggal, setelah menjadi tawanan Jepang,” ucap Han.

Terakhir, Han Awal mengunjungi Malang tiga bulan silam. Melihat kondisi Malang sekarang yang carut-marut, ia mengaku, kadang-kadang timbul rindu akan Malang ”tempo doeloe”. Menurut Han, hanya Jalan Ijen yang masih kuat menyisakan sentuhan gagasan Karsten. Hans pernah bertamasya ke Sunset Boulevard bagian barat Los Angeles, menyusuri jalanan-jalanan eksotis di Prancis. Toh, ia tetap tak bisa melupakan Jalan Ijen di Malang. ”Bagi saya, Jalan Ijen ’tempo doeloe’ itu tetap paling indah sedunia,” katanya mantap.

Andi Dewanto/SJS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus