Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laki-laki asal Belanda itu diam mematung di depan pintu gerbang Pasar Gede Harjonagara, Solo. Dia seperti mencari sesuatu di antara tembok-tembok yang bercat kuning gading. Penampilannya necis, membuat para pedagang heran. Dia pun sesekali tersenyum kepada mbok-mbok penjual.
Mata cokelatnya menyiratkan ada sesuatu kala memandang bangunan itu. Mungkin rasa bangga. Charles Karsten, 40 tahun, laki-laki itu, Sabtu pertengahan Januari lalu, sedang menziarahi salah satu ”warisan” mendiang kakeknya, Herman Thomas Karsten (1884–1945). Meski sudah bukan bangunan asli karena dua kali terbakar, dua kali dibangun lagi, Pasar Gede yang terletak di jantung Kota Solo itu masih tetap mempertahankan bentuk aslinya.
Kehadiran Charles di Solo untuk menghadiri hari ulang tahun Pasar Gede ke-77. Pasar ini dibangun pada 12 Januari 1930 oleh kakeknya atas pesanan Pakubuwono X (1893–1939). Berdiri di depan Pasar Gede yang arsitekturnya merupakan perpaduan unsur Eropa dengan lokal Jawa membuat ia merenung: bagaimana sang kakek dahulu dikenal sebagai arsitek yang suka mengkritik keras pemindahan corak bangunan Nederland ke negeri Hindia Belanda.
Pintu masuk pasar itu memiliki kanopi cukup lebar bertulisan Pasar Gede. Hurufnya bergaya art nouveau. Masuk ke pasar, kemudian tersaji sebuah ruang terbuka. Los pasar membujur dari utara dan ke timur. Atap pasar berbentuk limas. Untuk kantor pasar, Karsten memilih jendela pipih vertikal. Tapi pada bagian atas bentuknya menjadi setengah lingkaran neoklasik dengan atap berbentuk joglo.
”Pasar Gede merupakan kelanjutan pasar yang dulunya sudah ada jauh sebelum Keraton Kartasura pindah ke Surakarta. Dulu disebut pasar candi karena memang ada bangunan candinya di tempat itu,” tutur Sudarmono, se-jarawan Universitas Negeri Sebelas Maret. Sebelum dibangun seperti sekarang ini, Pasar Gede memiliki latar depan rel kereta api. Kini rel tersebut tak berbekas.
Widya Wijayanti, Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Jawa Tengah, melihat ciri khas karya Karsten adalah nilai kemanusiaannya yang kental. ”Dia tidak pernah melupakan kepentingan orang-orang kecil, sesuatu yang jarang ditemui pada orang Belanda totok masa itu,” katanya. Mengetahui bagaimana beratnya pekerjaan buruh gendong, Karsten misalnya membuat lantai los pasar cukup tinggi agar si buruh tak perlu jongkok untuk mengangkat barang. Kini meski Pasar Gede sudah dua kali direnovasi, kuli gendong masih bisa merasakan kenyamanan desain tersebut.
Udara juga dapat mengalir dengan leluasa. Sirkulasi dan ventilasi membuat cahaya masuk di dalam ruangan secara tidak langsung, membuat udara tak panas. ”Bahkan Karsten juga memperhatikan perilaku burung kecil yang suka membuat sarang di bagian atap bangunan, agar nantinya bisa terhindar dari kotoran burung,” tutur Widya.
Sumbangsih Karsten dalam menata dan memberikan bangunan-bangunan ”penanda” bagi kota-kota kita sering dilupakan. Padahal perjalanan kearsitekannya tersebar di 19 kota besar di Jawa, dari Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, hingga Malang, Jawa Timur. Sedangkan di luar Jawa, dari Palembang hingga Banjarmasin.
Karsten datang dari keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang profesor sejarah Romawi. Karsten menempuh studi di Technische Hoogeschool Delf. Sejak di awal perkuliahannya ia sudah aktif di Social Technische Vereeniging Democratische Ingenieur en Architecten, sebuah organisasi mahasiswa beraliran sosialis. Atas undangan Henry Maclaine Pont (pendiri Institut Teknologi Bandung), kakak kelas dua tingkatnya di Technische Hoogeschool, yang mendirikan biro arsitek di Semarang pada 1914, Karsten datang ke Semarang. Kepergiannya dianggap aneh oleh keluarganya karena kesempatan untuk hidup mapan di Belanda terbuka baginya.
Karsten langsung menjadi kepala kantor biro pembangunan Mclaine Point (meskipun kemudian berpisah). Setiap hari dia berkelana dari satu daerah ke daerah lain. Pada 1921, Karsten mengawini Soembinah Mangoendirejo, seorang gadis desa yang berasal dari Pegunungan Dieng. Tidak biasa bagi seorang Belanda totok menjadikan gadis pribumi sebagai istri sah, karena pada saat itu perempuan inlander hanya akan menjadi seorang gundik, laiknya Nyi Ontosoroh dalam tetralogi Pramoedya. Karsten juga memilih menjadi seorang Islam dengan menikahi Soembinah di sebuah masjid di daerah Ungaran, Semarang.
”Ada sifat pemberontakan pada diri Karsten. Menikahi perempuan inlander salah satu bukti kalau dia tidak memiliki sifat-sifat kolonial. Bahkan di kemudian hari dia pernah membela para buruh bangunan di Batavia,” kata William A.J. Vroegop, seorang pengamat arsitek di Belanda. Karsten dikenal sebagai penentang arus. Ia, syahdan, tak pernah mengenakan dasi atau penutup leher tinggi seperti umumnya kalangan elite Belanda waktu itu. Ia juga tak pernah berpesta ke Societeit, tempat elite masyarakat Eropa bersenang-senang.
Karsten memiliki empat anak, dua laki-laki, dua perempuan. Simon, 81 tahun, anak keduanya, pensiunan arsitek, hidup di Belanda, mengenang masa kecilnya di Jawa. Meski tergolong orang kaya, mereka hidup sederhana. Ia ingat sehari-hari berkaki telanjang dan harus mencopot sepatunya bila tiba di rumah. Tiap minggu ia ingat ayahnya mengajak main badminton. Di samping mendengarkan Bach, ayahnya mewajibkan belajar gamelan.
”Kami sehari-hari berbicara Krama Inggil dan bila liburan kami pergi ke tempat si mbah di Dieng,” kenang Simon. Dieng baginya sampai sekarang masih sebuah lembah sakral. Seluruh keluarga dari garis ibunya dikuburkan di puncak bukit; dari sana ia dapat memandang seluruh Dieng. Pada 1992, Simon mengunjungi Indonesia. Dengan backpack ia naik bus umum serta Colt angkutan pedesaan menyusuri Bandung, Yogya, Solo, Semarang untuk menjenguk bangunan-bangunan karya bapaknya. Ia menyempatkan diri nyekar makam keluarganya di Dieng. ”Saya sangat kangen masa kecil saya. Bapak saya menginginkan kami dahulu menjadi orang Indonesia....”
Menurut Romo Adolph Heuken, SJ, pemerhati masalah pusaka budaya, Karsten yakin, Indonesia akan menjadi negara merdeka. ”Karena itu ia mempersiapkan keempat anaknya untuk bisa tinggal dan berbaur dengan orang pribumi,” kata Heuken kepada Faisal Assegaf dari Tempo. Menurut Charles, dari cerita ayahnya, Joris Karsten, anak ketiga Karsten-Soebimah, sang eyang putri (meninggal 1959) adalah inspirasi terbesar dari karya-karya kakeknya. Charles mengatakan, keluhan Soembinah mengenai keadaan para tetangganyalah yang dijadikan dasar kakeknya dalam membuat desain pasar. ”Maka dari itu, pasar selalu dibuat nyaman untuk rakyat kecil,” katanya.
”Penjual daging di Pasar Johar ditempatkan Karsten di lantai dua. Rupanya Karsten mempelajari kalau lalat tidak dapat terbang terlalu tinggi. Hingga kini bagian itu aman dari lalat,” ujar Widya.
Pasar Johar di Semarang adalah karya lain Karsten yang merakyat. Pasar dua lantai yang mampu menampung ribuan pedagang ini sampai sekarang masih dipertahankan sebagai pasar induk tradisional terbesar di Semarang. Lokasinya berhadapan dengan Masjid Agung Kauman.
Ciri khusus arsitektur Pasar Johar, menurut Andi Siswanto, arsitek dari Universitas Diponegoro, adalah atapnya yang berbentuk kolom-kolom yang menyerupai cendawan/jamur. Atap yang satu dan yang lain tidak menyatu, melainkan saling menaungi. Atap cendawan memungkinkan sirkulasi udara masuk dari segala penjuru. Meski tanpa mesin penyejuk ruangan, udara sepoi-sepoi bisa dinikmati pengunjung.
Kelebihan lainnya adalah, meski terdiri atas dua lantai, di tengah-tengah bangunan terdapat void (ruang kosong), sehingga ada komunikasi visual antara lantai satu dan lantai dua. Karsten sangat memperhatikan bahwa pasar dalam tradisi orang Asia tidak seperti tradisi orang Eropa. Bagi orang Asia, pasar tidak hanya terdiri atas sekatan-sekatan toko belaka, tapi juga terdapat ruang terbuka yang lebar, tempat menampung para pedagang nonpermanen yang berjualan pada acara tertentu. Misalnya, hanya pada hari pasaran atau pada saat digelar acara garebeg, sekatenan, dan dugderan.
Di Pasar Johar, Karsten memilih marmer berkualitas sebagai bahan pelapis permukaan dinding, meja utama serta sebagian lantainya. Akan halnya anak tangga, dengan batu andesit. Tampak bahwa pemilihan bahan bangunan pun dipilih dengan saksama untuk membuat pasar itu bertahan melintasi zaman. Menurut Widya, karya-karya Karsten dapat bertahan karena desainnya yang baik, dengan memaksimalkan apa yang disediakan oleh alam.
Menurut Widya, jejak Karsten di Semarang, selain di Pasar Johar, juga Pasar Jatingaleh. Pasar Jatingaleh disebut Widya kala itu menjadi semacam proyek percontohan pasar modern. Karsten membutuhkan waktu delapan tahun untuk membangunnya. Widya mencatat, kini nyaris tidak ada masalah dengan bangunan Pasar Johar dan Jatingaleh kecuali dengan atapnya. Namun, sumber masalahnya adalah pengelola kini hampir tidak pernah melakukan pembersihan atap. ”Hampir semua pasar Karsten, meski dibiarkan dalam kondisi minim perawatan, proses kerusakannya masih tergolong dapat diatasi,” ujar Widya.
Ancaman terhadap karya Karsten justru datang dari penggusuran. Widya mencatat, misalnya, Pasar 16 Ilir Palembang karya Karsten telah tergusur oleh bangunan baru. Di Palembang masih ada bangunan pasar buatan Karsten yang berdiri kukuh, meski kondisinya tak terawat, yakni Pasar Cinde Palembang.
Meski tak pernah ingin menjadi ambtenar atau pegawai pemerintah kolonial, Karsten tak bisa menampik saat pemerintah kota praja memintanya menjadi adviseur gemeente atau penasihat perencana kota. Selain menjabat sebagai penasihat tata kota pemerintah lokal Semarang, ia belakangan menangani tata kota sembilan kota praja: Palembang, Medan, Padang, Banjarmasin, Batavia, Bogor, Malang, Solo, kemudian Yogyakarta.
Di Solo, Karsten, misalnya, mendesain tata ruang Villa Park Banjarsari, yang menempatkan jalan-jalan diagonal dalam ruang terbuka, Stasiun Kereta Api Balapan, dan Lapangan Manahan yang memiliki bentuk oval. Di Magelang bahkan Karsten merancang perumahan murah Desa Kwarasan, sebuah desa kecil di barat daya Kota Magelang.
Akan halnya Kota Malang didesainnya sebagai kota taman. Sampai sekarang bila Anda menyusuri Jalan Ijen di Malang yang memiliki boulevard panjang dengan pohon-pohon palem di tepinya, terasa suasana masih elok. Akan halnya kawasan elite di Semarang yang ditangani Karsten adalah kawasan Candi Baru. Menurut Andy Sis-wanto, arsitek Universitas Diponegoro, dalam menyusun rencana induk Candi Baru, Karsten sangat mempertahankan kontur tanah, pepohonan, dan ruang publik. Jalan dibiarkan berkelok-kelok serta ada jarak yang longgar antara rumah satu dan rumah lainnya.
Berada pada perbatasan antara Semarang bawah dan Semarang atas menjadikan semua rumah di Candi Baru mempunyai panorama sangat indah: ke selatan menghadap ke Gunung Ungaran, ke utara menghadap birunya Laut Jawa. Konsep tersebut, menurut Andy, bertolak belakang dengan rencana induk kebanyakan perumahan modern, yang kawasan huniannya dibikin tak ubahnya seperti papan catur: tanah diratakan, dipetak-petak, berhadap-hadapan, serta tidak ada jarak antara bangunan satu dan lainnya. ”Pada konsep perumahan modern, nuansa asri yang alami hilang sama sekali.”
Menurut Andy, dalam membuat rencana induk kawasan hunian, aspek sosial juga menjadi pertimbangan utama Karsten. Dialah arsitek yang berhasil mengubah konsep hunian berdasarkan ras. Sebagaimana di kota-kota besar lainnya, di Semarang terdapat permukiman yang pengelompokannya berdasarkan ras, misalnya kawasan Pecinan yang dihuni etnis Cina, dan Pekojan tempat etnis Arab. Karsten melawan konsep rasisme tersebut dengan menciptakan kawasan hunian yang pengelompokannya berdasarkan kemampuan ekonomi. ”Apa pun suku dan rasnya, siapa pun boleh tinggal di Candi Baru,” tutur Andy.
Karsten, di samping itu, menciptakan gradasi jalan yang menghubungkan Candi Baru dengan perkampungan warga biasa. Jalan dari Candi Baru yang menuju Kampung Lasipin—perkampungan di sebelah selatan Candi Baru—dibuat perlahan-lahan menyempit. ”Tujuannya, meski terpisah dengan Candi Baru, tetap saja ada komunikasi serta perbedaannya tidak kontras.”
Candi Baru hanyalah satu di antara beberapa permukiman yang rencana induknya dirancang Karsten. Permukiman lainnya adalah Pekunden, Peterongan, Batan, dan Wonodri (1919), Sompok (1919), daerah Semarang Timur (1919), dan daerah Mlaten (1924). Semua kawasan itu pengelompokannya berdasarkan basis ekonomi, bukan ras, seraya memperhatikan keseimbangan alam seperti drainase dan taman kota yang juga berfungsi sebagai resapan air. Sayang, dari beberapa kawasan permukiman yang rencana induknya ditangani Karsten, hanya Candi Baru yang masih tersisa bagus.
Selain membuat rencana induk permukiman, Karsten juga merancang puluhan bangunan di Kota Semarang, di antaranya kompleks bangunan Van Deventer School (sekarang SMK Kartini di l Sultan Agung) (1923); Rumah Pemotongan Hewan Pandean Lamper Kabluk (1925); Kantor Joana Stoomtram Mij (sekarang kantor PT Kereta Api Indonesia Daops IV) (1930), dan seterusnya.
Minatnya pada kesenian Jawa membuatnya tergerak untuk membangun gedung Sobokarti. Pada gedung kesenian rakyat yang terletak di Jalan Dr Cipto ini kita bisa melihat betapa Karsten sangat menghormati arsitektur Jawa. Bangunan Sobokarti bergaya Joglo-Limasan dengan serambi yang luas. Satu-satunya sentuhan Barat hanya ada pada bentuk kursi di ruang pertunjukan yang melingkar dan bersaf-saf. ”Model kursi penonton yang melingkar seperti dalam gedung teater adalah gaya Eropa. Dulu orang Jawa kalau melihat pertunjukan dengan lesehan atau berdiri,” papar Andy.
Bangunan lain yang masih bisa dinikmati adalah Rumah Sakit Santo Elisabeth. Ciri kuat pada bangunan rumah sakit di atas lahan lima hektare itu adalah sebuah ruang kosong berupa courtyard. Jika kita masuk ke rumah sakit itu, kesan pertama justru tertuju pada ruang kosongnya. Taman tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan kebersihan udara. Hal itu penting karena bisa membantu kesembuhan pasien. Ruang kosong yang bisa dinikmati dari berbagai sudut bangunan menurut Andy memang ciri-ciri arsitektur Karsten yang beraliran pascamodernisme.
Di Jakarta, peninggalan Karsten adalah Kebayoran Lama. Ia mendirikan daerah permukiman bagi golongan pejabat tinggi, kalangan menengah ke atas, dan orang menengah ke bawah. Di Jakarta Karsten menganggap penting keberadaan taman-taman kota serta ruang terbuka, dua hal yang tampaknya saat ini mulai terabaikan. Di Bandung, Karsten pernah membuat rencana tata kota Bandung, termasuk membangun Gedung Sate, yang menjadi ciri Kota Kembang. ”Tapi semuanya tidak bisa dilaksanakan dengan baik lantaran perang,” kata Harastoeti, Ketua Bandung Heritage. Gedung Sate yang ada sekarang jauh berbeda dari hasil rancangan Karsten.
Orientasi kerakyatan Karsten membuat ia tak begitu disukai pemerintah Belanda. Menurut Simon, ayahnya saat itu bagai seorang dissident. Posisinya dipandang beberapa orang seperti Max Havelaar. ”Karsten ditolak menjadi guru besar ITB oleh pemerintah kolonial,” kata arsitek Hans Awal.
Hidup Karsten berakhir tragis. Dia ditangkap Jepang dan dimasukkan ke kamp interniran di Cimahi. Selama tiga tahun sejak 1942 dia hidup menderita. Menurut Hans Awal, di penjara Karsten bertemu dengan seorang arsitek muda Belanda bernama Thomas Nix. Karsten sering membicarakan prinsip-prinsip arsitekturnya kepada Thomas. Setelah Thomas bebas, ia membuat disertasi mengenai tata kota di Indonesia. Adapun Karsten, akibat kurang gizi, ia meninggal. Karsten dimakamkan di tempat pemakaman orang-orang Belanda di Cimahi.
Soembinah kemudian membawa empat anaknya ke Belanda dan tinggal di sana hingga akhir hayatnya pada 1959. Simon ingat ayahnya sering mengutip kata-kata religius sejumlah tokoh di buku notesnya. Salah satunya adalah seorang Quaker (gerakan kebebasan religius yang tidak terikat gereja Anglikan atau Roma) Amerika bernama Stephen Genet yang pada 1830 menulis demikian: ”Saya kini berada pada babakan terakhir hidup saya, tapi saya tetap berusaha setiap hari untuk mengerjakan yang terbaik sebab hidup ini demikian indah....”
Agaknya itu diresapi betul oleh Karsten sehingga dalam penderitaan pun ia ingin memberikan yang terbaik. Tentang perjuangan ayahnya, Simon dan adik-adiknya rajin menceritakannya kepada keluarga besar Karsten. Maka, ketika Charles berkesempatan ke Indonesia, ia nyekar ke kuburan Karsten di Cimahi. ”Saya berdoa untuknya,” katanya kepada Andi Dewanto dari Tempo. Ia bercerita bagaimana di depan makam sang kakek ia tercenung, terpekur, merenungkan jalan hidup sang kakek.
”Saya hanya bisa membayangkan bagaimana ia hidup di Indonesia dan memberikan sumbangan yang sangat berarti.…”
Seno Joko Suyono, Imron Rosyid, Sohirin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo