Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qaris Tajudin
Tahun lalu ada perampokan mobil Jaguar. Tentu saja berita ini menarik. Selain karena Jaguar adalah salah satu merek mobil paling mewah, berita itu memunculkan pertanyaan: mau dijual ke mana mobil yang amat jarang itu? Kemudian memang terbukti, pelaku adalah seorang amatir, keponakan si empunya mobil.
Tapi bukan soal kemewahan mobil itu yang penting, tentunya. Yang akan dibahas di sini adalah bagaimana sebuah situs berita menuliskan berita ini. Dalam berita yang tak terlalu panjang itu kita menemukan empat kata ”melakukan” dan dua kata ”dilakukan”.
Begini salah satu contohnya: ”Polisi memastikan otak perampokan dan pembunuhan adalah Fransiscus setelah melakukan pemeriksaan dan penggeledahan, serta ditemukannya barang-barang bukti. Hasilnya, pelaku utamanya adalah orang dekat korban. ’Setelah dilakukan cek dan ricek, ini merupakan perbuatan dia (Frans),’ ungkap Kapolres.”
Pemakaian kata ”melakukan” dalam berita itu sebenarnya bisa dihilangkan. ”Melakukan pemeriksaan dan penggeledahan” bisa diganti menjadi ”memeriksa dan menggeledah”. Demikian juga ”dilakukan cek” bisa diganti menjadi ”dicek”. Lebih efisien dan tidak membosankan karena harus mengulang-ulang kata yang sama.
Namun pemakaian kata ”melakukan” yang kemudian diikuti dengan kata benda yang diawali dengan ”pe” dan diakhiri dengan ”an” sudah begitu jamak dipakai oleh wartawan, terutama dalam menulis berita kriminal. Sumbernya dari mana lagi kalau bukan dari polisi. Penggunaan kata-kata yang tidak efisien oleh polisi itu kemudian ditularkan ke masyarakat lewat tulisan para wartawan.
Anehnya, budaya yang tidak efisien itu justru muncul dari polisi yang sering menyingkat banyak istilah, dari curanmor (pencurian kendaraan bermotor) hingga senpi (senjata api).
Jika ”melakukan” dipakai untuk kalimat aktif, untuk kalimat pasif, mereka memakai kata ”mengalami” yang juga disusul dengan kata yang berawalan ”pe” dan berakhiran ”an”.
Saat Halimah Trihatmodjo diperiksa oleh polisi, seorang wartawan menuliskan berita itu dengan beberapa kata ”mengalami” dalam satu tulisan. Salah satunya ini: ”Wajar saja ibu dan dua anak itu mengalami kelelahan. Pasalnya, ketiganya tidak pernah mengalami pemeriksaan maraton di kantor polisi.”
Kalau kita mau membuang kata ”mengalami”, berita itu tetap sehat wal afiat, seperti seseorang yang baru dipotong usus buntunya: ”Wajar saja ibu dan dua anak itu kelelahan. Pasalnya, ketiganya tidak pernah diperiksa maraton di kantor polisi.”
Selain kedua kata itu, tidak efisiennya penulisan berita terjadi karena pemakaian kata ”pihak”. Misalnya saat Koran Tempo menulis kesiapan rumah sakit menghadapi flu burung: ”Karena meningkatnya jumlah kasus virus avian influenza, pihak Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) di kawasan Jakarta Selatan mempersiapkan diri.” Di luar soal pemakaian kata avian influenza yang bisa diganti dengan flu burung, pemakaian kata ”pihak” juga mubazir. Kalau dibuang, justru lebih halal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo