Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Blak-blakan membicarakan seks

Pemain : james spader, andie mac dowell, peter gailagher, laura san giacomo. skenario/penyunting/ sutradara: steven soderbergh. produksi: miramax films. resensi oleh: putu wijaya.

14 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FILM murah ini memenangkan "Palme d'Or" -- dan aktor terbaik di Festival Cannes tahun lalu. Skenarionya konon dipersiapkan hanya dalam X hari. Sebuah prestasi yang hebat buat Steven Soderbergh. Cannes adalah salah satu festival yang paling bergengsi dewasa ini. Mendapat penghargaan di Cannes berarti mendapat pengakuan dunia. Festival itu sudah mengibarkan nama-nama besar. Apa yang membuat film yang nampak sederhana ini menang? Sex, Lies and Videotape memang terasa murah. Praktis hanya menyangkut empat pemain dengan ruang gerak dari satu kamar ke kamar yang lain. Tidak ada peristiwa yang spektakuler. Sangat verbal. Tetapi ini bukan film murahan. Semua celotehan di dalamnya mengajak kita mengorek-ngorek perilaku manusia. Ada persoalan yang intens. Tentang moral dan kejujuran. Diskusi perilaku seksual mengantarkan kita pada manusia-manusia yang telanjang. Film ini mengungkap tema yang universal. Kita melihat wanita bisa bicara blak-blakan tentang pengalaman seksualnya di depan videotape. Seorang lelaki mengaku impoten kalau berhadapan dengan wanita -- mungkin karena merasa betapa tak dapat dipercayanya wanita. Seorang istri tak mampu melayani kebutuhan suaminya dengan dalih ia tak bisa melakukan itu karena masih banyak manusia sengsara di dunia. Tetapi kemudian ia diam-diam mengkhayal melakukan hubungan jasmani dengan seorang yang baru dikenalnya. Lalu seorang wanita masa kini yang penuh kepercayaan diri sebagai penakluk. Ia memiliki ukuran moral yang berbeda sehingga berzina dengan suami kakaknya sendiri dianggap soal enteng. Soderbergh membalik-balik persoalan yang ada di balik tempat tidur mungkin hampir pada banyak rumah tangga. Ketika kebutuhan seksual salah satu pihak tak lagi terpuaskan, ketidaksetiaan dan kecemburuan muncul. Itu mungkin sudah klise, tetapi diungkap dengan cara yang sama sekali berbeda. Kita menikmati sebuah penuturan baru yang segar, unik, dan wajar. Dalam kesederhanaannya muncul keindahan yang kerap membuat senyum. Di tangan Soderbergh, film tidak lagi menjadi media yang penuh ketegangan dan gaduh. Persoalan-persoalan rumah tangga diredam sebatas lingkungannya, dalam dunia yang sepi. Tidak menjadi tontonan spektakuler seperti gaya film Hollywood. Toh daya pikatnya tetap tinggi, karena terasa jujur. Kita dikenalkan kepada Ann (Andie MacDowell), yang sedang dalam pengawasan konsultannya karena tak bisa lagi melayani kebutuhan seks suaminya, John (Peter Galagher). Sebaliknya Cynthia (Laura San Giacomo), adik Ann, diam-diam melayani kebutuhan jasmani John dengan menggebu-gebu di tempat tidur. Ia memperoleh puncak kepuasannya, ketika berhasil melakukan zina itu di atas tempat tidur kakaknya. Kemudian datang Graham (James Spader), teman John di masa lalu yang aneh tingkah lakunya. Graham, yang mengaku impoten, memiliki hobi yang unik. Ia memvideokan pengakuan cewek-cewek di sekitar pengalaman seksualnya. Cyntia, sang gadis penakluk, mencoba menundukkan Spader. Ia akhirnya setuju untuk direkam. Tapi Ann cemburu. Akhirnya, istri yang semula setia ini menyenangi Graham, yang ternyata tidak impoten. Sebuah tipu agar Graham dapat memancing para wanita bicara jujur di depan kamera video? Film ini bagaikan sebuah jalanan sepi dengan tiupan angin semilir. Tapi, di balik puisi itu, ada persoalan brutal yang dapat menghancurkan rumah tangga. Soderbergh berhasil menyampaikan persoalan itu dengan amat intim. Kamera sering dipajang lama mengamati pemain, seperti film dokumenter. Lalu keluarlah gerakan-gerakan kecil yang otentik ketika pemain mengucapkan dialog-dialog yang sangat personal. Mempesonakan. Graham dihadirkan oleh Spader dengan begitu cermat. Permainannya cantik sekali. Sedangkan MacDowell juga tak kalah bagusnya. Film ini juga lembut dan lucu karena humor-humor yang blak-blakan. Misalnya pengakuan Ann ketika pertama kali melihat alat kelamin pria. Seperti benda itu tak ada hubungan dengan orangnya," kata Ann. Kalau musik, ini santapan kamar. Konsumsi sejumlah penonton yang benar-benar ingin menikmati film sebagai ekspresi personal. Walhasil, sebuah produk elite" -- setidak-tidaknya untuk ukuran film Indonesia. Diseling dengan beberapa adegan ranjang yang hangat, penjelajahan moral Soderbergh setia pada format "intelektualnya" sampai selesai. Tapi ia tak memberikan jawaban, hanya menatap. Seks tak hadir sebagai sesuatu yang "kotor" kendati terasa sebagai salah satu persoalan manusia yang bisa "ganas". Buat saya, karya ini mengingatkan pada film-film "intelektual" Woody Allen, yang juga suka blak-blakan menganalisa seks. Tetapi Soderbergh tidak sebawel dan se-"edan" Allen. Ia polos dan lembut. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus